Jakarta (parade.id)- Indonesia akan terkena dampak resesi ekonomi global. Tapi, kata ekonom Chatib Basri, resesi global terhadap Indonesia tidak akan seburuk dampaknya pada Singapura, atau negara yang berorientasi ekspor.
“Mengapa? Porsi ekspor Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) relatif kecil dibanding negara-negara yang berorientasi ekspor. Kita diuntungkan oleh kurang terintegrasinya kita pada ekonomi global –sesuatu yang sebetulnya tak kita inginkan,” kata dia, Rabu (12/10/2022).
“Tentu kita harus adil: integrasi yang terbatas pada ekonomi global membuat kita juga nantinya akan pulih lebih lambat, ketika ekonomi global pulih,” ia melanjutkan.
Dalam kondisi seperti ini pilihan kebijakan Bank Indonesia menurut dia tidak banyak: menaikkan bunga untuk mengendalikan inflasi serta menjaga kestabilan rupiah dan melakukan intervensi di pasar valuta untuk mencegah volatilitas rupiah.
“Dari jalur keuangan tampaknya dollar AS masih akan terus menguat karena pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih baik terhadap Eropa, terms of trade AS yang menguat dan dampak kenaikan bunga di AS yang lebih cepat dan lebih tinggi dibandingkan negara lain,” demikian dikutip akun Twitter-nya.
Selain itu, dampak dari Taper Tantrum 2.0 kali ini menurutnya tidak seberat 2013 karena share asing dalam obligasi pemerintah Indonesia menurun dari 32 persen di April 2020 jadi 14,6 persen September 2022. Ketergantungan terhadap pembiayaan eksternal yang relatif lebih rendah saat ini, kata dia membuat Indonesia relatif stabil.
Selain itu neraca transaksi berjalan juga mengalami surplus. Surplus terjadi karena Covid-19 telah mengakibatkan meningkatnya rasio tabungan/PDB—karena menurunnya konsumsi akibat pembatasan mobilitas.
“Penjelasan lain: kenaikan harga ekspor komoditas dan energi akibat perang Russia,” terangnya.
Namun, lanjutnya, ketika aktivitas ekonomi kembali normal, rasio tabungan/PDB akan menurun, defisi transaksi berjalan naik. Selain itu, resesi global, akan menurunkan harga komoditas dan energi (diluar batu bara), surplus neraca perdagangan akan menurun. Hal ini berpengaruh kepada nilai tukar.
“Pelemahan rupiah akan membuat beban utang dalam mata uang dollar AS akan meningkat. Selain itu, ada resiko ketaksesuaian mata uang (currency mismatch), jika sebagian besar investasi asing masuk ke sektor dalam negeri, bukan sektor yang berorientasi ekspor,” jelasnya.
“Covid-19 membuat aktivitas ekonomi terganggu. Dengan relaksasi restrukturisasi kredit, NPL terlihat rendah. Namun Loan at Risk (LaR) masih relatif tinggi,” sambungnya.
Jika relaksasi ini berakhir, ada resiko NPL akan meningkat. Bunga tinggi juga meningkatkan resiko perusahaan dengan utang tinggi.
“Apa yang bisa dilakukan? Pertumbuhan ekonomi melambat dan surplus transaksi berjalan Indonesia tahun depan menurun. Untuk menjaga internal dna extenrla balance dibutuhkan ekspansi ekspansi fiskal dan pengetatan moneter,” kata dia.
Masalahnya, kenyataan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia kata dia tidak semudah preskripsi itu. Preskripsi Dornbusch dan Swan sulit dilakukan, karena pada tahun 2023, defisit fiskal akan dijaga di bawah tiga persen.
Selain itu, penurunan harga komoditas dan energi (diluar batu bara) akan membuat penerimaan negara tahun 2023 tak akan setinggi tahun 2022. Kombinasi ini akan membuat fiskal menajdi kontraktif pada tahun 2023.
Di sisi lain, tekanan inflasi yang terjadi dan kenaikan bunga the Fed akan memaksa Bank Indonesia untuk menaikkan bunga. Bisa dibayangkan dampak kontraksi yang akan terjadi.
“BI dan pemerintah harus menerapkan policy mix. Pengetatan moneter dilakukan, tapi tidak berlebihan, pelemahan rupiah terjadi, tapi dijaga agar tak terlalu tajam fluktuasinya. Dari sisi fiskal, dengan defisit dibawah 3% tahun 2023, maka alokasi belanja harus semakin tajam,” dorongnya.
Program perlindungan sosial menjadi prioritas, selain itu belanja harus diarahkan kepada sektor yang memiliki dampak multiplier yang tinggi. Pemerintah harus memberikan prioritas pada “mana yang harus” dan bukan “mana yang ingin”.
“Perkiraan saya ekonomi Indonesia akan melambat, ketidakpastian tinggi, namun Indonesia tak akan mengalami resesi. Yg terjadi adalah perlambatan ekonomi. Namun tak ada ruang utk membuat kebijakan yg salah,” kata dia.
Kendati begitu, ekonomi Indonesia menurutnya memang masih relatif kuat tahun ini. Tapi, perlambatan akan terasa tahun depan.
“Inflasi di Jerman dan US, memaksa Bank Sentral menaikkan bunga. Kontraksi ekonomi di AS dan Eropa akan menurunkan permintaan ekspor global termasuk China. Ekspor Indonesia akan menurun. Situasi akan diperburuk dengan menurunnya harga komoditas, yg selama ini ‘menyelamatkan’ RI,” katanya.
Dari jalur perdagangan, resesi global, khususnya perlambatan ekonomi China, akan menurunkan ekspor Indonesia. Namun di siai lain, tensi geopolitik akibat perang Russia-Ukraina akan membuat harga batu bara relatif tinggi.
“Seberapa besar ekspor kita akan terpukul? Tergantung dari net effect (efek bersih) penurunan ekspor akibat resesi global dengan kenaikan harga batu bara akibat perang Russia,” pungkasnya.
(Rob/parade.id)