Jakarta (parade.id)- Dalam konferensi pers bertajuk “Rakyat Menggugat Pemerintah dan DPR” di Hotel Sofyan, Jakarta Pusat, Selasa (2/9/2025), koalisi Forum Purnawirawan Prajurit TNI, Petisi 100, dan Majelis Permusyawaratan Umat Islam (MPUI) melontarkan ultimatum keras kepada Presiden Prabowo Subianto: tangkap dan adili mantan Presiden Jokowi serta makzulkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, atau hadapi perlawanan rakyat yang lebih masif.
Seorang anggota dari Forum Purnawirawan TNI dengan tegas menyatakan bahwa “negara ini sudah hampir hancur” akibat 10 tahun kepemimpinan Jokowi. Lebih mengkhawatirkan, juru bicara Petisi 100, Itto, bahkan mengancam pemberlakuan “hukum perang” untuk menghadapi apa yang mereka sebut sebagai “dualisme kekuasaan.”
“Jika hukum perang belum bisa menyelesaikan masalah, terpaksa rakyat sendiri akan turun untuk mengatasi dualisme kekuasaan,” ancam Itto, mengisyaratkan potensi gejolak sosial yang lebih besar.
Ruslan Buton bahkan lebih eksplisit dengan menyerukan “revolusi jika diperlukan” untuk menyelamatkan negara, sembari memperingatkan pemerintahan Prabowo untuk tidak “melawan rakyat.”
Koalisi yang mengklaim mewakili seluruh rakyat Indonesia ini mengajukan 10 tuntutan kepada Prabowo, dengan dua poin utama yang paling kontroversial. Pertama, menangkap dan mengadili mantan Presiden Jokowi atas tuduhan mengkhianati negara dan merusak tatanan berbangsa-bernegara. Kedua, memproses pemakzulan Wakil Presiden Gibran karena dianggap cacat demokrasi, konstitusi, HAM, serta moral dan agama.
Tuntutan lainnya mencakup pemecatan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, reshuffle menteri-menteri “titipan Jokowi,” reformasi kepolisian, hingga penangkapan oligarki yang terlibat dalam apa yang mereka sebut “state corporate crime.”
Sementara itu, Refly Harun mengonfirmasi pembentukan Sekretariat Bersama “Adili Jokowi dan Makzulkan Gibran” pada 30 Agustus lalu, menunjukkan gerakan ini telah terorganisir secara sistematis.
Rizal Fadilah dari Petisi 100 mengeluarkan litani tuduhan terhadap Jokowi, mulai dari korupsi (mengutip laporan OCCRP yang memasukkan Jokowi dalam daftar tokoh terkorup dunia), pelanggaran HAM, penggunaan dokumen palsu, pengkhianatan negara, hingga nepotisme.
Ahmad bahkan menuntut pemberlakuan UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 “secara murni dan konsekuen,” seolah mengingkari reformasi 1998 dan amandemen konstitusi yang telah dilakukan secara demokratis.
Yang paling mengkhawatirkan adalah pernyataan moderator bahwa dukungan kepada Prabowo “bukanlah tanpa syarat.” Mereka secara terbuka mengancam akan memakzulkan Prabowo jika tidak memenuhi tuntutan mereka.
“Jika Prabowo jalan sama seperti sebelumnya, pantas juga untuk dimakzulkan,” tegas moderator, menunjukkan betapa rapuhnya legitimasi demokratis dalam pandangan koalisi ini.
Koalisi ini juga memanfaatkan tragedi kematian Affan Kurniawan dalam demonstrasi untuk memobilisasi sentimen anti-pemerintah. Mereka menuntut pengunduran diri atau pemberhentian “komandan kepolisian” sambil mempertanyakan tindakan kepolisian yang dianggap brutal.
Meri, yang mengaku mewakili masyarakat, menceritakan penangkapan anak iparnya yang berusia 26 tahun karena status Instagram, mencoba membangun narasi viktimisasi untuk melegitimasi gerakan mereka.
Meskipun mengklaim akan menempuh “jalur konstitusional,” retorika yang digunakan koalisi ini penuh dengan ancaman terselubung. Dari “hukum perang” hingga “revolusi,” bahasa yang dipilih menunjukkan potensi destabilisasi yang serius.
Bambang dari MPUI bahkan mengklaim organisasinya sebagai “transformasi dari aksi-aksi Bela Islam” untuk “merebut kemerdekaan kedua dari tangan oligarki jahat,” menggunakan narasi heroik untuk menyamarkan agenda politik yang kontroversial.*