Jakarta (parade.id)- Negara harus hadir menyelamatkan pengemudi ojek online (ojol) dari hubungan kerja menyesatkan disampaikan Ketua Presidium Koalisi Ojol Nasional (KON), Andi Kristiyanto. Andi mengatakan itu dalam keterangan tertulisnya kepada media, Ahad (27/10/2024).
Menurut Andi, untuk hal itu, maka Kementerian Komunikasi dan Digital Indonesia di era Kabinet Merah Putih yang dikomandoi oleh Meutya Hafid segera merevisi Perkominfo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Formula Tarif Layanan Pos Komersial dan membuat tarif batas bawah dan Batas atas untuk Pengantaran Paket Barang dan Makanan yang menggunakan aplikasi berbasis digital atau online, seperti apa yang menjadi poin tuntutan oleh para mitra pemgemudi ojol dan kurir online pada aksi 29 Agustus 2024 lalu di sekitar patung kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat.
Selain itu KON kata Andi, meminta agar Kementerian Perhubungan segera mengevaluasi KPKMenhub 1001 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Perhubungan nomor KP 667 Tahun 2022 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat yang dilakukan dengan aplikasi, yang di mana implentasi dari KP tersebut belum dilaksanakan dengan maksimal oleh perusahaan penyedia jada layanan aplikasi (aplikator).
“Dan KON meminta agar merevisi produk diskresi Kementerian Perhubungan dalam Permenhub No. 12 Tahun 2019 tentang Pelindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat, dinilai masih berpotensi memberikan celah kepada aplikator dan regulator untuk ‘bermain’, karena tidak adanya pasal sanksi untuk aplikator di dalam Permen tersebut,” papar Andi.
KON kata Andi menyatakan hal di atas untuk merespons pernyataan Kementerian Ketenagakerjaan yang disebutnya akan mengkaji status kemitraan antara penyedia platform dengan para pengemudi angkutan daring seperti ojek online (ojol) taksi online (taksol), dan kurir.
“Hal itu dikemukakan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer alias Noel. Bahkan kepada wartawan, beliau mengatakan bahwa kata ‘kemitraan’ ini adalah sebuah kesesatan yang merugikan ojek online,” ungkap Andi.
KON kata Andi, sangat mengapresiasi langkah Wakil Menaker yang menyebutkan status kemitraan ojol dengan aplikator yang menyesatkan karena bersifat semu. Itu karena status kemitraan merupakan sesuatu yang sangat fundamental bagi driver ojek online.
Seharusnya kata dia, penerapannya sesuai dengan esensi kata “kemitraan” dan jelas. Namun kata dia, kenyataannya dimanipulasi sehingga merugikan pihak ojol.
“Memang negara harus hadir di tengah-tengah perjanjian kemitraan antara ojol dengan aplikator. Menolak ojol diposisikan sebagai pekerja, karena ojol bukan bagian dari serikat pekerja/serikat buruh atau tidak terafiliasi dengan konfederasi atau federasi buruh,” tegas Andi.
“Dan saya tidak sependapat dengan Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) yang mengusulkan ojol sebagai pekerja tetap, karena ojol merupakan bagian dari pelaku usaha dan berstatus sebagai mitra ojol itu punya modal yakni motor/mobil dan HP. Kok dijadikan pekerja? Ya, enggak bisa begitu. Kami tolak keras usulan menjadikan ojol sebagai pekerja tetap,” Andi kembali menegaskan.
Dirinya mengaku sangat setuju bahwa pihak aplikator menyesatkan pihak ojol yang dibungkus dalam hubungan kerja kemitraan. “Bahkan bukan hanya menyesatkan, melainkan menjebak ojol ke dalam kubangan kerja rodi atau kerja romusha. Hal ini tampal pada implementasi asas proporsionalitas dalam perjanjian kemitraan dengan perusahaan aplikator sejak awal telah terabaikan,” kata dia.
“Hubungan ini seharusnya didasarkan pada prinsip kemitraan yang adil, namun perusahaan aplikator justru bertindak sebagai pihak dominan yang memegang kendali penuh atas seluruh perjanjian. Mekanisme suspend yang diterapkan tidak hanya gagal memberikan perlindungan yang memadai, tetapi justru perusahaan menetapkan aturan sepihak yang merugikan pengemudi ojek online,” imbuhnya.
Oleh karena itu menurut dia perlu adanya evaluasi besar terhadap sistem kemitraan di industri ride hailing ini. “Kami mencurigai sistem kemitraan yang didorong sepihak oleh aplikator ini adalah untuk menghindari tanggung jawabnya terhadap pengemudi ojol dan bukan hanya tangggungjawab terhadap pengemudi ojol tetapi jangan-jangan mereka menghindari kewajiban membayar pajak ke negara,” kecurigaan Andi.
“Dengan menerapkan system kemitraan tersebut maka pihak perusahaan aplikator menghindari kewajiban untuk membayar upah untuk pengemudi ojol. Selain itu pihak perusahaan aplikator juga menghindari kewajiban menyediakan armada bagi pengemudi ojol, serta menghindari kewajiban membayar pajak sehingga dengan menghindari kewajiban itu semua tersebut mereka bisa meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan mengekpolitasi tenaga pengemudi ojol,” ia melanjutkan.
Ia sepakat negara dalam hal ini adalah pemerintah & DPR RI harus hadir untuk segera merumuskan regulasi yang tepat dan tegas untuk menyelamatkan jutaan orang pengemudi ojol dari penyesatan hubungan kerja kemitraan oleh pihak perusahaan. “Tapi tetap menolak jika ojol di posisikan sebagai pekerja,” imbuhnya.
Kepada Pemerintahan baru, KON kata Andi, sangat berharap dapat membawa angin segar dan perubahan positif yang berdampak bagi nasib para pengemudi ojol, taksi online dan kurir online di Indonesia. “Khususnya kepada beberapa Kementerian yang terkait (disebutnya di atas) dengan nasib keberlangsungan hidup ojol di Indonesia,” pungkasnya.
(Rob/parade.id)