Jakarta (PARADE.ID)- Apanya yang prestasi? Jika kasus2 penegakan hukum di negeri ini baru diurus saat orang2 sudah ribut.
Persekongkolan pengacara, jaksa dan bintang satu polisi atas buronan Djoko Tjandra misalnya. Kalian percaya gitu, kalau kasus ini tidak diledakkan oleh aktivis anti korupsi, kasusnya bakal diurus? Kagak. Setelah medsos ramai, setelah media massa ramai, baru mereka tergerak untuk mengurusnya.
Kasus konser dangdutan saat pandemi di Tegal contoh berikutnya. Setelah semua ramai, medsos ramai, media massa ramai, baru mereka mengurusnya. Jadi tersangka itu pelaku. Coba kalau tidak ramai, diem-diem bae, lupakan.
Demo protes UU baru ditunggangi. Setelah orang2 ribut minta aparat serius nangkepin siapa penunggangnya, baru bergerak. Dodol. Elu harusnya sudah tangkap sebelum semua orang berisik. Sebelum pejabat ngoceh. Sekali itu provokasi whatsapp beredar, ada bukti, ada saksi, segera bekuk. Tidak ada jeda, cekatan. Karena penunggang demo ini adalah musuh bersama, pengkhianat. Mereka merusak esensi demo dari anak2 sekolah, mahasiswa, yang betulan pergi demo tanpa kepentingan berkuasa. Kelompok penunggang ini menjijikkan. Berlagak jadi pahlawan. Padahal mereka hanya mengincar jabatan.
Banyak sekali contoh di negeri ini, setelah ribut, viral, baru dibereskan. Terutama kasus2 penegakan hukum. Jika tidak ada yang berisik, itu kasus dilupakan, entah apa penyelesaiannya, masuk peti es. Kalian tahu istilah ‘dipetieskan’? Dari sinilah istilah itu berasal, masuk peti es. Lupakan.
Cobalah sesekali elu bikin kejutan. Bahkan sebelum orang ribut, sebelum orang tahu, itu koruptor kelas kakap sudah ditangkap. Kaget semua orang. Wah, hebat ini. Sebelum orang berisik di medsos, screenshot diposting, dll. Itu pemilik rekening gendut (entah jenderal, entah pejabat) telah memakai baju tahanan, karena tersangkut korupsi. Kaget dong semua orang. Wah, kok kami ketinggalan info.
Bukan sebaliknya.
Orang2 sudah berisik, protes, elu baru gerak. Dan lucunya, hal2 begini dijadikan ukuran ‘prestasi’ oleh fans pemerintah. Setelah semua ribut, setelah begitu banyak energi ditumpahkan, baru diurus. Apanya yang prestasi? Itu seharusnya memang dibereskan. Pemerintah menjadikan bintang satu polisis pembuat surat jalan Djoko Tjandra sebagai tersangka, itu prestasi? Ambyar.
Prestasi itu, kalau kasus ini tidak pakai ribut2 dulu, eh itu pengacara, jaksa, bintang satu sudah ditangkapi. Kaget deh rakyat. Ternyata aparat penegak hukum itu memang: kerja, kerja dan kerja. Meroket prestasinya.
Lagi2, ketahuilah, rakyat itu tidak semuanya cerewet, benci. Mereka itu duuh, berharap semua itu berjalan secara profesional, amanah, transparan, akuntabel. Dan harapan itu valid sekali, ada argumen pendukungnya. Satu, mereka sudah menunaikan kewajiban membayar pajak, dll. Dua, yang mau jadi pejabat, aparat penegak hukum itu kan kalian toh dulu? Berebut. Saling sikut. Dan kalian sudah digaji. Jika sakit hati, tidak terima dikritik, simpel: berhenti jadi aparat. Beres toh? Nah, kalau kalian masih mau gagah pakai itu seragam, bekerjalah gesit. Cekatan. Tanpa harus rakyat berisik dulu.
*Tere Liye, Penulis Novel ‘Negeri Para Bedebah’