Jakarta (PARADE.ID)- Indonesia hingga kini belum memiliki undang-undang atau peraturan yang secara khusus mengatur pelanggaran hukum berkaitan nama domain, seperti halnya cybersquatting.
Wakil Sekertaris Jenderal II Asosiasi Kekayaan Hak Intelektual Indonesia (AKHKI), Gunawan Bagaskoro, mengatakan, akan lebih baik jika Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan khusus nama domain seperti di Belgia.
“Belgia memiliki UU khusus mengenai pendaftaran nama domain yang menyimpang,” ujar Gunawan dalam sedaring “Pandi Meeting 11”, Kamis (27 Agustus 2020).
Menurut dia, di Belgia aturan hukum yang berlaku tidak hanya mengatur top level domain(TLD), seperti .com, .net, .org, dan lain-lain, tapi juga mengatur sengketa nama domain TLD kode negara (country code to-level domain/ccTLD), seperti .uk, .id, .be, .my, dan lain-lain.
Cybersquattingialah tindakan seseorang (cybersquatter) yang mendaftarkan nama domain sebuah merek yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau memiliki itikad tidak baik.
Menurut Gunawan, tidak adanya aturan di Indonesia terkait pelanggaran nama domain menyebabkan penyelesaian sengketa melalui dua jalur, yaitu negosiasi langsung dan Penyelesaian Perselisihan Nama Domain (PPND) yang dikeluarkan oleh Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI).
Jika merujuk pada PPND berarti kategori sengketa nama domain yang diakomodasi ialah domain ccTLD, yaitu .id, bukan TLD seperti .com, .net, dan lain-lain.
Menurut Gunawan, bila registrant (organisasi atau individu yang mendaftarkan nama domain) setuju melalui jalur PPND, artinya yang bersangkutan harus tunduk pada aturan pemerintah dan PANDI selaki registrar.
Meski PPND di bawah PANDI, kata dia, dalam PPND ada orang di luar PANDI atau disebut sebagai panelis yang ahli dalam hal nama domain. Gunawan mengatakan, dirinya juga salah satu contoh panelis PPND.
Dengan adanya orang di luar itu, kata dia, untuk menjaga independensi. Selain itu, PANDI juga bisa fokus mengelola nama domain, meningkatkan keamanan, serta memastikan akses berjalan dengan lancar.
Selain usulan UU terkait pelanggaran nama domain, Gunawan juga mengusulkan agar ada kerja sama dengan penyedia Uniform Domain Name Dispute Resolution Policy (UDRP) lain untuk bertukar informasi.
“Cybersquatterini semakin lama semakin canggih modusnya. Dengan adanya diskusi sesama panelis dari UDRP lain diharapkan para panelis itu bisa lebih update,” kata dia.
Ia juga mengusulkan agar ada pembukaan data WHOIS secara terbatas dengan nama registrant seharusnya diketahui umum.
Selama ini WHOIS ditutup sama sekali ini sehingga menimbulkan kesulitan oleh pemilik merek untuk mengetahui apakah nama domain yang dimiliki itu didaftarkan oleh entitasnya sendiri atau orang lain yang mendaftarkan tanpa seizinnya, kata Gunawan.
(Cyberthreat/PARADE.ID)