Jakarta (parade.id)- Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir memberikan sambutan di Pembukaan Muktamar ke-18 Pemuda Muhammadiyah di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (22/2/2023). Dalam sambutannya, banyak hal yang disampaikan Haedar.
Di awal sambutan, Haedar mengucapkan selamat atas acara pembukaan untuk Muktamar Pemuda Muhammadiyah di Balikpapan, Kalimantan Timur. Ia berharap muktamar berjalan baik, lancar, dan mengikuti muktamar Muhammadiyah, Aisyiah, dengan penuh martabat dan berkemajuan.
Kemudian, Haedar selaku Pimpinan Muhammadiyah, mengucapkan terima kasih kepada Presiden Jokowi bersama seluruh anggota kabinet Indonesia baru yang menaruh perhatian begitu rupa kepada angkatan muda Muhammadiyah, khususnya Pemuda Muhamadiyah pada hari ini. Haedar menyebut Presiden termasuk presiden yang paling sering menghadiri acara Muhammadiyah dan berkunjung ke Menteng Raya 62.
“Maka kami hanturkan terima kasih. Dan apresiasinya juga luar biasa pada Milad ke-108, beliau mengatakan bahwa Muhammadiyah anugragh Tuhan untuk bangsa Indonesia,” apresiasinya.
Ia juga mengucapkan terima kasih kepada Megawati Soekarnoputri yang juga hadir pada pembukaan muktamar. Haedar sebut kehadiran Megawati spesial.
“Bagi ananda sekalian, angkatan muda Muhammadiyah, Ibu Megawati bukan siapa-siapa, bukan orang lain—dari keluarga besar Muhammadiyah. Kalian tahu, ayahnya adalah, Bung Karno, ibunya Fatmawati. Bung Karno adalah anggota resmi Muhammadiyah dan tahun 38-42 sewaktu di Bengkulu, beliau resmi menjadi Pimpinan Majelis Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah,” ungkap Haedar.
Beliau juga (Soekarno), tahun 62 ketika menutup muktamaar setengah abad menyampaikan, “Makin lama, saya makin cinta Muhammadiyah.”
Bahkan kata Haedar Soekarno menyampaikan, “Yang saya sesalkan kenapa setelah saya jadi presiden, saya tidak pernah ditarik iuran anggota Muhammadiyah.”
Seokarno kata Haedar juga menyampaikan kesaksian, “Sudah lama saya, selain menjadi Anggota Muhammadiyah, saya ngintil (baca: menjadi murid Kiai Ahmad Dahlan).”
Kata Haedar, sejak Seokarno bertemu usia 18 tahun di Surabaya, di rumahnya Cokroaminoto. Kiai Dahlan-lah mengajarkan agama. Sampai Seokarno mengatakan, “Saya masuk Muhammadiyah, karena sesuai dengan alam pikiran saya, yakni Islam progresif. Islam berkemajuan.”
Pun kepada Fatmawati yang ia yakini tentu sangat kita tahu. Dia adalah putri Hasan Din, tokoh dan konsul Muhammadiyah Bengkulu. Fatmawati aktivis Nasyiatul Aisyiah. 4 Januari 1946, cerita Haedar, ketika Indonesia pindah ke Yogyakarta (Ibu Kota sementara), Bung Karno, mengudang tokoh-tokoh pimpinan Aisyiah ke istana gedung agung Yogya.
“Lalu beliau menyampaikan, ‘Bawalah, ajaklah Ibu Fatmawati ini untuk aktif kembali di Aisyiah’,” kutip Haedar.
Lalu kata Haedar, di situ diceritakan bahwa, Fatmawati menyampaikan, “Ketika saya menjahit bendera merah putih untuk proklamasi kemerdekaan, saya menyenandungkan lagu nasyiahku.”
“Itu jejak sejarah yang berlangsung hingga hari ini sebagai sebuah spirit buat anak-anakku sekalian, bahwa dua tokoh ini, juga Kiai Dahlan dan Nyai Dahlan adalah negarawan yang memiliki basis pemikiran selain nasionalisme, juga religiusitas keislaman Muhammadiyah. Maka ketika ini, Pemuda Muhammadiyah mengangkat tema Negarawan dan Harmoni Membangun Bangsa, ambillah spirit itu,” pesannya.
Negarawan, kenegarawanan menurut dia adalah satria atau kesatriaan (pemuda), yakni mereka yang mengutamakan kepentingan umum, kepentingan rakyat, kepentingan bangsa, kepentingan umat manusia selain dan di atas kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Maka ada tiga substansi yang menurutnya harus diambil oleh pemuda yang bermuktamar.
“Jika ingin menjadi negarawan berbasis, satu relijiusitas—yang melahirkan kesalehan, etika dan kebaikan hidup, termasuk jiwa jujur dan menjaga marwah. ‘Itulah pemuda yang diberi petunjuk Allah dan di dalamnya bersemi iman yang mencerahkan dirinya dan lingkungan’,” sampainya.
Juga punya kemandirian, pemuda itu—pemuda dan negarawan, lanjutnya, bukanlah mereka yang mengtakan, “Itulah, inilah, ayahku, dan tokoh idolaku. Tapi katakanlah: inilah aku.”
“Ia tidak pernah bersembunyi dan berada di balik ketokohan orang lain tetapi di dalam dirinya,” pesannya lagi.
Ketiga kata Haedar, pemuda harus punya sifat cerdas. Tak mengapa menurut Haedar misal mengambil seluruh pemikiran dari mana pun datangnya, termasuk dari yang berbeda agama, suku, golongan, dan pandangan politik. Tapi kata dia ambil yang terbaik.
“Dan gunakan pikiran itu untuk mencerahkan kehidupan. Juga harus punya sikap berkhidmat, mengurus urusan orang lain, urusan publik, urusan rakyat,” ia kembali berpesan.
(Rob/parade.id)