Yogyakarta (parade.id)- Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, melalui Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum (PSHK FH) UII mengeluarkan Sikap Akademik atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait penundaan tahapan Pemilu 2024, dengan nomor 21/SP/PSHK/III/2023. PSHK FH UII dalam sikapnya memberikan beberapa catatan atas putusan PN itu.
Pertama, bahwa putusan PN Jakarta Pusat hakikatnya merupakan sebuah cacat logika dan keliru dalam praktik penyelenggaraan hukum Indonesia. Ada dua hal yang merupakan kekeliruan yang dimaksud PSHK FH UII:
a. Substansi perkara ini pada hakikatnya bukan merupakan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) bidang keperdataan, melainkan perkara gugatan sengketa kepemiluan atas keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan oleh KPU, sehingga secara kompetensi absolut, PN Jakpus seharusnya tidak berwenang mengadili substansi perkara yang berkaitan dengan sengketa Pemilu.
b. PN Jakpus tidak berwenang memutus penundaan tahapan Pemilu, karena tahapan Pemilu tidak hanya menyangkut kepentingan hukum para pihak yang berperkara dalam sengketa keperdataan, sehingga meskipun putusan PN Jakpus pada aspek tertentu dinilai memulihkan kerugian Partai Prima, tetapi dengan menghukum KPU untuk menunda tahapan Pemilu justru merugikan kepentingan hukum yang lebih luas, misalnya Partai Politik yang sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 serta rakyat selaku pemilih akan kehilangan hak pilih pada Pemilu yang seharusnya diselenggarakan setiap 5 tahun.
Catatan selanjutnya, bahwa tidak ada sama sekali mekanisme Penundaan Pemilu di Konstitusi dan Undang- Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurut UU Pemilu, yang ada hanyalah penundaan pemungutan suara. Dan hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia atau secara nasional, sehingga pelaksanaan Pemilu setiap 5 tahun harus tetap dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan pada Tahun 2024 nanti.
Hal ini sejalan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”
Kemudian, bahwa problem yang ditimbulkan dari Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN. Jakarta Pusat mengindikasikan majelis hakim PN keliru dalam menerapkan hukum saat memutus perkara.
“Oleh karena itu, kami memandang perlu Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung memeriksa majelis hakim PN Jakpus yang mengadili perkara tersebut, dan apabila terbukti melanggar kode etik dan hukum maka harus diberikan sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi catatan itu dalam siaran pers pada 3 Maret 2023, ditandatangani Yunizar Riza Hakiki.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jakarta Pusat yang dibangun atas cacat logika hukum yakni kekeliruan kompetensi pengadilan negeri dalam memeriksa perkara kepemiluan, dan menyebabkan kerugian yang berdampak secara luas bahkan inkonstitusional maka hakikatnya putusan tersebut batal demi hukum (never existed).
Terhadap beberapa catatan tersebut, PSHK FH UII merekomendasikan: KPU tidak perlu melaksanakan putusan PN Jakpus terkait penundaan tahapan Pemilu, dan dapat mengupayakan upaya hukum banding agar putusan tersebut dikoreksi Pengadilan Tinggi.
Kepada Komisi Yudisial untuk memeriksa majelis hakim yang memutus perkara Nomor 757/Pdt.G/2022/PN. Jkt Pst. Kepada Badan Pengawasan Mahkamah Agung agar mengawasi dan memperingatkan hakim-hakim di lingkungan Mahkamah Agung agar taat kompetensi absolut dan relatif.
Kepada Presiden agar mengawal Pemilu sesuai amanat Konstitusi yakni dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Kepada masyarakat umum, agar memantau dan mengawal Pemilu agar tetap dilaksanakan pada tahun 2024 sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Perlu diketahui bahwa pada Kamis, 3 Maret 2023, PN Jakarta Pusat membacakan Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN. Jkt Pst yang berkaitan tentang perkara gugatan dari Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) yang intinya gugatan perbuatan melawan hukum (PMH).
(Rob/parade.id)