Jakarta (PARADE.ID)- Sejarawan JJ Rizal merespons penamaan Ibu Kota Negara (IKN) dengan nama Nusantara. Istilah penyebutan nama ini, kata Rizal, sebetulnya hidup timbul tenggelam di berbagai zaman.
“Pertanyaannya ketika pak jokowi mencomot untuk nama ibukota baru, maka nusantara zaman manakah yg tercernin, nusantara manakah yg bergema di nama ibukota baru?” tanyanya, Kamis (20/1/2022).
“cilakanya #Nusantara yg tercernin di ibukota baru justru nusantara yg ditolak para pendiri bangsa,” sambungnya.
Pasalnya, menurut dia, pada awal abad ke-20 para pendiri bangsa menghidupkan kembali istilah Nusantara yang sudah terkubur bersama kerajaan Majapahit, yang melahirkannya selama 500 tahun.
“buat apa? tujuan para pendiri bangsa menghidupkan kembali #Nusantara untuk jadi nama negara bangsa yg mereka bayangan, mereka menolak nama hindia belanda, mereka ingin nama sendiri, tetapi nusantara tdk lama hidupnya en segera ditinggalkan, nama Indonesia yg mencuat,” tertulis demikian di akun Twitter-nya.
Mengapa pendiri bangsa segera meninggalkan istilah Nusantara?
Alasan pendiri bangsa meninggalkan istilah itu, menurut Rizal karena mereka menemukan Nusantara itu sebangun dengan sistem negara kolonial yang konsentrik. Ada pusat sebagai pusat anutan dan daerah sebagai subordinasinya.
“di sini tumbuh sentralisasi sekaligus diskriminasi kpd yg di luar pusat.”
Di dalam Nusantara dan Hindi Belanda, ia meneruskan, para pendiri bangsa melihat ada kesamaan bahwa yang ada hanya—istilah bung Hatta—”daulat tuanku” tidak ada “daulat rakyat”. Ini artinya bertolok belakang dengan negara bangsa yang demokrastis, yang ingin mereka bangun.
“jika berefleksi pada pembangunan ibukota baru bukankah hampir semua prosesnya mencerminkan sesuatu yg sentralistik en kurang demokratik, istana dgn kroninya kaum aristokrasi uang en politik menjadi pusat anutan, semua harus manut, suara usul diabaikan, tiada dialog hanya monolog?”
Sebab itu Nusantara yang bergema dan tercernin di Ibu Kota baru adalah nusantara warisan negara konsentrik Majapahit lalu Mataram lantas ke negara kolonial Belanda dan akhirnya Orde Baru Soeharto.
“Loh kok orde baru juga? sebentar nanti akan sampe ke situ juga kok, sabar ya. tetapi apakah sejarah indonesia tdk punya contoh penggunaan nama #Nusantara yg dpt jadi acuan?”
Ada Nusantara di era Orde Baru(?)
Ada, kata Rizal. Yakni pada 1957. Saat deklarasi Juanda yang melahirkan wawasan nusantara. Ini dapat jadi acuan karena basis berangkatnya proyek ini adalah amanat Pancasila dan UUD 1945, artinya daulat rakyat.
Deklarasi Juanda lahir untuk mensahkan luas pasti wilayah NKRI yang masih kepentok ordonansi laut Belanda, sekaligus menjawab kritik keras pemerintahan yang sentralistik.
“Kekuasaan pusat mengabaikan daerah, banyak daerah marah lalu berontak, persatuan terancam.”
Para tokoh saat itu menjelaskan sebabnya, karena pemerintah RI masih mewarisi sistem negara kolonial yang diskriminatif dan melihat daerah sebagai subordinasi. Sentralisasi harus diganti desentralisasi.
Di sinilah menurut Rizal, Juanda dengan sengaja memilih istilah nusantara tapi diberi ruh Pancasila dan UUD 45.
“juanda memberi nusantara wawasan baru dgn meninggalkan artinya di masa lalu yg melihat laut sbg pemisah diganti jd penyatu, sampai di sini tiada lagi jawa luar jawa, dlm negara kesatuan semua setara, bahkan yg sebelumnya dianggap terluar jd yg terdepan, inilah #Nusantara juanda.”
Sejak itulah, kata Rizal, gagasan desentralisasi meluas tetapi prosesnya tersendat oleh perang dingin dan akhirnya dihabisi G30S 1965. Militer naik dan dengan segera bersama Soeharto mengembalikan konsep nusantara dalam wawasan Nusantara Juanda ke masa Majapahit, Mataram, sentralisme lagi.
“di zaman soeharto isu jawa luar jawa mencuat lagi, jawaisme merajalela, republik berubah jadi kerajaan cendana, semua ketentuan untuk indonesia berpusat di sana, tentara dikirim ke daerah2 yg nolak pusat sbg anutan, pusat adalah sumber kebenaran suara di luarnya tdk boleh ada.”
Dalam kilas balik sejarah kata Rizal dengan mudah dapat ditemukan Nusantara di Ibu Kota baru adalah nusantara yang tidak menyambung pada daulat rakyat tetapi daulat tuanku. Nusantara yang tidak mengikuti jalan yang telah dirintis perdana menteri Juanda, nusantara daulat rakyat sesuai amanat UUD 1945, kata sejarawan yang tinggal di Depok, Jawa Barat itu.
(Sur/PARADE.ID)