Jakarta (PARADE.ID)- Sejumlah perwakilan dari serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) bersama mahasiswa dan pelajar menggelar aksi simbolik dan penyerahan surat penolakan terhadap Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Penyampaian surat penolakan tersebut dilakukan di kantor Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker), dengan harapan mereka dapat bertemu dengan Menteri Ida Fauzyah.
Juru bicara pada aksi tersebut, Dian Septi mengungkapkan bahwa alasan penyerahan surat tersebut karena sedari awal kebijakan itu dianggap tidak transparan, tidak
partisipatif, cenderung dipaksakan dan merampas hak kaum buruh sebagai pemilik seutuhnya dana JHT.
“Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang memuat soal dana JHT baru bisa dicairkan setelah di usia 56 tahun merupakan kebijakan yang mendapatkan penolakan keras secara serentak oleh masyarakat di seluruh Indonesia,” kata dia, Selasa (15/2/2022).
Dian, lanjut dia, menyampaikan bahwa penolakan itu dimaksudkan agar pemerintah mencabut Permenaker tersebut. Ia pun meminta aturan soal JHT dikembalikan ke peraturan sebelumnya, yakni Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara Persyaratan Pembayaran Tunjangan Hari Tua.
Permintaan atau desakan itu menurut Dian agar juga jangan bermunculan asumsi dari masyarakat bahwa, apakah pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan sengaja membuat aturan baru tersebut, untuk terus mengakumulasi dana JHT yang telah terkumpul sebesar 555 triliun, agar dana tersebut bisa digunakan untuk pembiayaan pembangunan oleh pemerintahan Jokowi.
Dian dan yang lainnya juga menganggap bahwa Permenaker tersebut mengandung formula untuk menindas para buruh.
Oleh karena itu, kata dia, sikap mereka tegas menolak segala bentuk aturan yang menindas kaum buruh dan juga menilai Negara sudah benar-benar tidak peduli pada nasib buruh.
“Rasa-rasanya masih sangat jelas diingatan masyarakat Indonesia, beberapa waktu yang lalu pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat kebijakan yang banyak menuai kotroversi. Kebijakan tersebut kita kenal dengan Omnibus Law yang kemudian menjadi Undang-Undang Nonor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja,” jelas Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) itu.
(Aby/PARADE.ID)