Jakarta (parade.id)- Presiden ASPEK Indonesia Mirah Sumirat merespons adanya kabar buruh di-PHK yang mencapai belasan ribu orang di Jawa Barat. Di-PHK-nya pekerja dengan berbagai alasan.
Namun Mirah menduga, PHK itu adalah kesempatan dalam kesempitan yang dilakukan oleh oknum pengusaha, dengan menggunakan alasan atau isu-isu tertentu, seperti Covid-19 maupun isu resesi global.
“Sebenarnya kenyataan beberapa di lapangan, ada pengusaha-pengusaha itu yang nakal juga, memanfaatkan situasi, contohnya pada saat pandemi Covid-19 tahun 2020-2021, itu atas nama Covid-19, mereka mem-PHK pekerja buruhnya, dengan alasan rugi tetapi kenyataannya, (anak-anak) produksi jalan terus. Mereka masuk terus,” ungkapnya, kemarin kepada parade.id.
“Sepanjang pengetahuan ASPEK Indonesia, yang memiliki jaringan (anggota) ke pekerja sektor produksi, kalau yang staf-staf 1 memang WFH. Banyak yang dirumahkan tetapi tidak dibayar gajinya, tidak diberi upah. Terus, setelah pandemi mereda, tahun 2022, PHK massal makin menggila,” sambungnya.
Selidik punya selidik, kata Mirah, mereka mem-PHK, karyawan tetapnya dihabiskan, kemudian diganti, merekrut pekerja baru, dengan mencantumkan status karyawan baru ini daily worker (harian, outsourcing, atau kontrak), tiga bulan dan paling enam bulan, terus di-PHK lagi.
“Jadi begitu, mereka menggunakan kesempatan dalam kesempitan,” katanya.
Alasan PHK karena resesi diragukan oleh Mirah. Pasalnya, resesi belum ada (mulai), hanya isu di sini. Tapi, kata dia, alasan itu tetap dipakai oleh pengusaha, yang justru di balik itu mereka merekrut orang-orang baru dengan status pekerja harian.
“Jadi pekerja buruh yang tetap itu di-PHK. Dihabiskan, dengan alasan mungkin berat membayar upahnya (versi pengusaha), terlalu tinggi, belum bayar bonus, THR, dan sebagainya,” katanya.
Dengan merekrut status outsourcing pekerja harian, tentu pengusaha menurut Mirah tidak ada kewajiban membayar upah yang tinggi. Juga tidak ada kewajiban mereka membayarkan jaminan sosial, karena hanya pekerja harian, kontrak tiga atau enam bulan.
‘Giliran mau masuk Ramadan, mereka mem-PHK demi memberikan THR. Jadi saya melihat fenomena yang memang mengambil kesempatan dalam kesempitan itu (di tengah isu pandemi padahal sedang menuju endemi, resesi yang dikambinghitamkan, perang Ukraina-Rusia),” tekannya.
Namun ia tak menampik, kalau ada juga perusahaan yang misalnya banyak melakukan ekspor. Ketergantungan terhadap ekspor. Tapi kata dia sesungguhnya kalau bicara data, hitung-hitungan, kita ini masih dalam posisi aman negara Indonesia, karena SDA yang bagus, jika dibandingkan dengan lain sehingga lebih aman dan terjamin untuk menghadapi resesi global ini.
Namun tergantung bagaimana pemerintah untuk mengantisipasi, melindungi tiap-tiap warga negaranya mendapatkan kesejahteraanya, tidak tergerus, tidak terimbas dari resesi global.
“Ini kan mereka (negara/pemerintah) memiliki orang-orang yang jadi tenaga-tenaga ahli, orang-orang pintar di departemen-departemen, seperti di departemen keuangan, pendidikan, ESDM, dan lain sebagainya. Tentunya memiliki orang yang ahli dan pintar itu.
Nah, mereka yang telah digaji tingi rakyat itu harusnya mikir mencari solusi-solusi. Bukan justru ada yang ‘mengkambinghitamkan’ atau mengambil kesempatan dalam kesempitan terkait isu resesi global dan isu beratnya (posisi tersendatnya) ekspor yang dilakukan oleh mereka,” paparnya.
Sikap ASPEK Indonesia, menolak PHK hingga belasan ribu itu. Termasuk sekalipun habya satu orang yang di-PHK, jika menggunakan alasan-alasan yang dimaksudnya.
“Jadi tolong digarisbawahi bahwa ASPEK Indonesia menolak terhadap PHK massal, sekalipun itu satu orang, apalagi 11 ribu orang, karena belum ada urgensi yang cukup kuat melakukan PHK tersebut. Satu sisi nanti indikasinya mereka merekrut pekerja-pekerja baru dengan status kerja harian demi menghindari kewajibannya membayarkan upah sesuai dengan UMP, membayarkan jaminan sosial, atau membayarkan bonusnya–waktu dekat membayarkan THR-nya,” kata Mirah.
Adapun solusi agar PHK tidak terjadi, Mirah meminta supaya diaktifkan perundingan, duduk bersama antara pengusaha dan serikat pekerja atau tidak ada serikat pekerjanya, perwakilan pekerjanya, duduk bersama. Di situ sama-sama menyampaikan (pengusaha-pekerja).
“‘Kami (pengusaha), kalau kamu minta upah sekian (misal), kita gak sanggup. Sebab perusahaan kita kan sangat mengandalkan ekspor dan ekspornya sedang tersendat sehingga kami tak sanggup. Kalau kamu paksakan, kami akan melakukan efisiensi PHK.’
Itu sampaikan kepada pekerja. Saling terbuka, jujur, jangan ada yang ditutupi. Jangan sepihak, kemudian melakukan PHK. Perusahaan rugi. Jangan mentang-mentang UU Ciptakan Kerjanya Omnibus Law itu ‘membolehkan’ si pengusaha untuk mem-PHK kapan pun itu dan jangan serta merta kemudian langsung (PHK). Itu tidak boleh,” jelasnya.
Mirah menjelaskan hal karena diklaimnya bahwa itu adalah kenyataan. ASPEK Indonesia kata dia menghadapi, menemukan perusahaan itu, pekerjanya pagi bekerja, sore hari sudah di-PHK. Mereka kaget, tanpa pemberitahuan. Tanpa ada perundingan.
“Jangankan perundingan, pemberitahuan saja tidak ada. Itu sudah parah. Apalagi ada pemberitahuan (PHK) bukan ke pekerja langsung tetapi ke keluarga ke istrinya, via kurir ke rumahnya. Itu parah banget. Itu terjadi dan fakta,” ceritanya.
Jadi menurut ASPEK Indonesia, maksimalkan, segerakan untuk duduk bersama cari solusi, dengan syarat keterbukaan, transparan dan jujur. Itu syaratnya.
Kalau syarat itu dipakai, dan kalau misalnya kalau tidak nyaman pekerja dengan pengusaha berhadapan, bisa memanggil lembaga yang dipercaya, misalkan Disnaker (setempat). Dimana posisinya hanya sebagai penengah.
(Rob/parade.id)