Jakarta (parade.id)- Partai Buruh akan melakukan aksi besar-besaran, dengan diawali di akhir bulan Februari 2023. Rencana aksi ini terkait penolakan Partai Buruh dan serikat buruh terhadap pengesahan Perppu tentang Ciptaker yang akan menjadi UU.
“Aksi besar-besaran ini kata Iqbal akan dilakukan serempak di 34 provinsi, di lebih 460 kabupaten/kota: menolak Omnibus Law Ciptaker,” Iqbal menyampaikan, kemarin.
Aksi, kata Iqbal, akan diorganisir oleh Partai Buruh bersama organisasi serikat buruh, serikat petani, Jala PRT, buruh migran, urban-urban konsorsium, guru dan tenaga honorer, dan organisasi-organisasi lainnya.
Tuntutannya hanya satu: menolak Omnibus Law Ciptaker yang segera disahkan DPR.
“Tapi ada sembilan poin yang akan menjadi sorotan Partai Buruh dan serikat pekerja terhadap isi UU Omnibus Law Ciptaker yang telah disahkan dari Perppu tersebut,” ungkapnya.
Sembilan poin yang dikatakan Iqbal menjadi sorotan oleh Partai Buruh dan serikat pekerja terhadap isi UU Omnibus Law Ciptaker yang telah disahkan dari Perppu tersebut, di antaranya, isu upah minimum.
“Kembali kepada rezim upah murah dan tidak lazim dalam dunia usaha, karena di situ dikatakan upah minimum kabaten/kota atau UMK dapat ditetapkan oleh gubernur, di mana artinya itu bisa ditetapkan bisa tidak,” kata dia.
Hal lainnya masih soal isu kenaikan upah minimum adalah berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu. Menurut Iqbal, kata-kata indeks tertentu dalam upah minimum ini tidak dikenal di dalam konvensi ILO.
“ILO hanya mengenal berdasarkan konvensi 133 tentang upah minimum adalah kenaikan upah minimum berdasarkan dua hal: kebutuhan hidup layak dan makro ekonomi, yaitu kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Tidak ada indeks,” terangnya.
Pasal lain yang ditentang oleh Partai Buruh dan serikat buruh adalah hilangnya UMSK. Menurut dia, di dalam UU 13 Tahun 2003 ada pasal tentang UMSK, karena tidak mungkin misal, ada pabrik sandal jepit upah minimumnya sama dengan sektor industri mobil.
“Bagi Iqbal itu tidak adil. Ini ada di dalam konvensi ILO Nomor 133 tentang UMSK,” jelasnya.
Masih soal upah minimum, yang dikritisi Partai Buruh adalah, adanya pasal yang menganulir pasal sebelumnya, yaitu formula upah minimum bisa dibuat sesuai dengan keadaan ekonomi.
Menurut dia, tidak ada satu batang pun sebuah UU, satu pasal menganulir pasal di atasnya. Paling memungkinkan kata dia adalah penjelasan pasal, itu pun tidak boleh bertentangan dengan batang isi pasal tersebut.
Poin lainnya adalah outsorching. Di dalam Perppu yang akan disahkan—menjadi UU, dinilainya seumur hidup dari semua jenis pekerjaan. Iqbal pun menilai negara telah melegalkan perbudakan modern.
“Ini yang kita tentang. Di dalam hukum internasional, tidaka ada outsorching itu seumur hidup dan tidak ada pembatasan jenis pekerjaan,” katanya.
Hal lain adalah, soal tenaga kerja alih daya—perihal menempatkan negara menjadi agen outsorching, karena pasal-pasal oursorching tersebut menjelaskan bahwa yang boleh menentukan jenis pekerjaan outsorching atau tidak adalah negara, dalam hal ini pemerintah.
“Dengan demikian negara atau pemerintah ditempatkan sebagai agen outsorching. Apa ukurannya? Ini boleh outsorching, ini tidak boleh outsorching,” kata dia.
Padahal, di banyak negara menurut dia, pembatasan terhadap jenis pekerja yang boleh atau tidak outsorching itu disebutkan. Misalnya di UU Nomor 13 hanya lima jenis pekerjaan: katering, security, driver, clening service, dan penunjang perminyakan/pertambangan.
Semua negara kata Iqbal, tentang pemberlakukan outsorching ada pembatasan jenis pekerjaan tertuang dalam UU-nya, bukan negara menjadi agen outsorching.
Misal di Perancis, ada sekitar 60 jenis pekerjaan outsorching. Di Amerika ada ratusan jenis pekerjaan. Di Jepang pun demikian.
“Itu yang disorot—seumur hidup, berulang-ulang, tidak ada batas jenis pekerjaan. Kalau lah ada jenis pembatas pekerjaan, itu ditentukan oleh negara atau pemerintah, yang ditempatkan oleh UU atau Perppu—ini yang sudah disahkan dan segera jadi UU sebagai agen,” terangnya.
Isu lainnya yang disorot adalah soal pesangon. Pesangon yang ada di dalam Omnibus Law Ciptaker menurut Iqbal sangat rendah, yang selama ini berlaku menurut UU Nomor 13 itu sekurang-kurangnya satu akurasi, sesuai masa kerja.
Misal satu tahun masa kerja, satu bulan upah. Delapan tahun ke atas masa kerja, sembilan bulan upah. Dan di dalam UU Nomor 13 bisa dua kali, bisa tiga kalinya, tergantung negosiasinya.
“Kalau perusahaan merger, dua kali. Kalau perusahaan dibeli perusahaan lain maka pesangonnya dua kali,” ungkapnya.
Namun di dalam Perppu yang segera akan menjadi UU, pesangon itu menurut Iqbal dikunci. Hanya satu kali. Bahkan nilai pesangon dikurangi, yang sebenarnya bisa dinegosiasikan.
Makanya kata Iqbal, dengan menggunakan UU Ciptaker ini, PHK di mana-mana, karena pesangonnya murah. Setelah di-PHK, dipanggil lagi untuk menjadi karyawan outsorching.
“Sudahlah pesangonnya murah, dipanggil bekerja, dengan usia yang sulit untuk mencari pekerjaan, di-outsorching. Padahal awalnya karyawan tetap. Itu banyak, di industri tekstil, garmen, sepatu, elektronik, pertambangan, makanan dan minuman, semua sektor industri: pesangon murah,” ungkapnya lagi.
Poin selanjutnya, adalah isu PHK. Partai Buruh dan serikat buruh menolak keras kebijakan Menko Perekonomian dengan menggunakan easy hiring dan easy firing.
Iqbal pun mengatakan bahwa negara ini bukan miliknya Menko Perekonomian, melainkan milik semua orang, termasuk buruh.
Oleh karena itu buruh kata dia, punya hak dilindungi saat bekerja, yang kita kenal dengan job security atau kepastian kerja, kepastian pendapatan, dan kepastian jaminan sosial.
Iqbal menyebut bahwa easy hiring dan easy firing itu kapitalis liberal. Dimana orang mudah direkrut, orang mudah dipecat.
“Nah, dalam Perppu yang akan menjadi UU itu, orang mudah dipecat. Di mana negara? Ini terlalu kapitalistik liberalistik. Hanya melindungi pengusaha hitam,” kata Iqbal.
Pengusaha hitam yang dimaksud Iqbal adalah pengusaha yang meminta upah murah, outsorching sebebas-bebasnya, kontrak berulang-ulang, dan PHK dipermudah, yang dilindungi oleh Perppu yang akan menjadi UU.
Lainnya yang disorot adalah karyawa kontrak. Karyawan kontrak itu menurut Iqbal tidak ada periode. Berulang-ulang dikontrak.
Bisa hanya dua minggu kerja, di-PHK, kemudian dipanggil lagi. Kontrak lagi satu bulan, di-PHK. Hal demikian kata Iqbal, bisa seumur hidup dikontrak. Dan tidak ada pesangon.
Pun BPJS Kesehatan tidak didapat, karena habis kerja kemudian putus kontrak.
Lainnya adalah soal pengaturan cuti, di mana dihapusnya istirahat panjang—enam tahun bekerja, dua bulan cuti. Itu kata Iqbal dihapus.
Di samping itu, cuti haid dan melahirkan memang diberikan tetapi kata dia tidak ada kepastian pembayaran upah. Pasal kepastian upah itu dihapus.
“Di UU Nomor 13 Tahun 2003 ada kepastian hukum,” kata dia.
Lainnya, tentang pengaturan jam kerja. Disorot karena hanya mengatur cuti saty hari dalam sepekan (enam hari kerja). Tapi, cuti dua hari dalam sepekan tidak ada. Dihapus dari UU Nomor 13 Tahun 2003.
Selanjutnya tentang tenaga kerja asing. Di situ disebutkan, kata Iqbal, di dalam UU 13 Tahun 2003 bahwa tenaga kerja asing, dalam hal ini buruh kasar, belum bisa bekerja di Indonesia, sebelum ada izin tertulis.
“Kalau izin tertulis dari Menaker keluar, baru mereka masuk dan bekerja. Di dalam Perppy yang segera menjadi UU tidak perlu. Masuk dulu tenaga kerja asing, baru dilaporkan secara administrasi. Inilah yang terjadi di GNI,” paparnya.
Ini, menurut dia membahayakan kesempatan pekerja-pekerja lokal. Tenaga kerja buruh kasar tentu tidak masalah, karena kata Iqbal, itu telah terjadi pada tahun 70-an.
Hanya saja, dalam Ciptaker, tenaga kerja asing buruh kasar itu, masuk dahulu, baru dilaporkan atau dicatat. Tentu itu akan menjadi otomatis mereka masuk semua ke Indonesia.
Atas hal itu, Iqbal menilai pemerintah gagal melindungi tenaga kerja kita yang bersifat buruh kasar, dan pemerintah gagal menyediakan lapangan kerja dengan masuknya investasi, terutama dari China.
Terakhir, soal beberapa dihapusnya sanksi pidana dari UU Nomor 13 Tahun 2003 di Perppu yang akan segera menjadi UU itu.
(Rob/parade.id)