Jakarta (parade.id)- Dialog Petisi 100 hari ini, Rabu (29/11/2023), di Gedung Juang, Jakarta Pusat, mengangkat tema “Pulihkan Kedaulatan Rakyat: DPR Makzulkan Jokowi”. Dialog tersebut menghadirkan banyak pembicara. Mulai dari pengamat politik hingga purnawirawan TNI dari beberapa matra.
Mereka di antaranya Letjen TNI Marinir (Purn) Suharto, Letjen TNI (Purn) Yayat Sudradjat, Anthony Budiawan, Mayjen TNI (Purn) Deddy S Budiman, Rizal Fadillah, Dindin S Maolani, Tito Rusbandi, Syafril Sjofyan, Marwan Batubara, dan lainnya.
Pembicara pertama, yakni sambutan, oleh Letjen TNI Marinir (Purn) Suharto. Dalam sambutannya, ia menyinggung situasi saat ini, di mana menurutnya sudah sangat jauh dari semestinya menjalankan roda pemerintahan, termasuk yang dilakukan oleh DPR RI—sehingga ia ragu DPR akan berani memakzulkan Jokowi.
“DPR tidak memakzulkan karena DPR bukan milik rakyat, melainkan milik parpol. Dikuasai 9 parpol, di mana mereka tidak ada legal standing dari rakyat. Kalau masih judulnya (dialog) ini, enggak bakalan terjadi sampai kapan pun, karena DPR bukan milik rakyat. Ia milik parpol. Legal standing mereka hanya karena punya duit,” kata dia tegas.
Menurut dia, waktu ini adalah waktu tepat untuk mengambil tindakan tegas ke Jokowi. Sebab, kalau menunggu sampai dan atau selesai pemilu, maka Jokowi kata dia akan selamat.
“Kalau kita tidak gulingkan dia sekarang—setalah pemilu, maka ia akan selamat. Mari kita ingat semangat 98. Kalau sekarang mau Polri-TNI netral, tidak akan. Semua diambil dari Solo, bagaimana mau netral. Utang budi mereka semua itu. Selama pemilihan Polri dan TNI tidak sesuai dengan metokrasi. Tidak akan ada netral. Omong kosong,” ungkapnya.
“Saya yakin 100 persen (kita) kalah. Semua ada pada dia. Polri-TNI, Hukum, dan lainnya, ada pada dia semua. Omong kosong kalau netral. Kalau ingin kembalikan kedaulatan, maka ambil jalan seperti yang diinginkan (98),” ia melanjutkan.
Pembicara kedua, adalah Letjen TNI (Purn) Yayat Sudradjat. Ia merasakan sangat priahatin terhadap kondisi bangsa dan Negara saat ini.
“Sebenarnya, apa yang disampaikan Pak Suharto, itu sudah selesai. Kita sudah tahu bahwa situasi saat ini bobrok. Saya mau diapain, enggak apa-apa. itu konsekuensi. Begini karena sumpah prajurit. Bahwa saya akan setia pada NKRI, Pancasila, UUD 45 (asli)—maka saya hadir di sini. Sumpah saya hingga akhir hayat. Bukan pada pemerintah. Kalau pemerintah memegang seperti apa yang sumpah, saya akan jaga sampai mati,” kata dia tegas.
Ia juga mengaku prihatin dengan TNI saat ini. Dimana menurut dia seharusnya TNI itu memegang koridor, untuk mengingatkan, karena tujuan Negara saat ini sudah diacak-acak.
“Wilayah kita dijual (IKN)—190 tahun. BUMN, kalau tidak salah boleh dikelola oleh asing. Padahal itu entrepreneur untuk bangsa kita,” tambahnya.
Selanjutnya adalah pengamat ekonomi politik Anthony Budiawan. Terkait tema, menurut dia, secara konstitusi Jokowi sudah harus diberhentikan, dengan kondisi Negara sat ini.
“Kalau dibiarkan, maka bangsa akan makin hancur. Misal utang yang naiknya 5 ribu triliun—tetapi tidak netes ke rakyat bawah. Per September, kemiskinan naik. Utang naik 3 ribu triliun. Kesenjangan sosial sudah sampai tahap memprihatinkan,” paparnya.
“Kesenjangan pendapatan lebih dari 0,6 persen. Sudah lebih dari ini maka kesenjangan pendapatan ini antara orang kaya dan miskin sudah tahap buruk. Sudah bisa memicu konflik sosial. Ini tidak akan lama lagi,” ia menambahkan.
Sementara itu, Mayjen TNI (Purn) Deddy S Budiman menyinggung laku Jokowi, yang menurutnya mempunyai slogan kerja, kerja, kerja tetapi malah menghasilkan nirmiliter yang berimplikasi ke tugas TNI.
“dalam hal ini, yang bertanggung jawab adalah TNI, jika NKRI bubar. Makanya untuk itu teman-teman Aliansi Pejuang Purnawirawan (APP) TNI, memiliki tugas menyelamatkan NKRI, bangsa, dan keutuhan wilayah berdasarkan Pancasila dari ancaman neo-komunisme. Itu tugas TNI,” kata dia.
Memakzulkan Jokowi adalah wajib
Pengamat politik Rizal Fadillah menyatakan bahwa menurut agama memakzulkan Jokowi adalah wajib. Dasarnya, kata dia, ada di kaidah fikih. Bahkan kata dia, memakzulkan Jokowi wajib bagi umat Islam.
“Rezim ini rezim KKN. Sedangkan agama menegaskan kemungkaran harus diubah, dan untuk mengubah itu adalah jihad. Maka perlu difatwakan jihad untuk melawan rezim KKN di bawah pimpinan Jokowi,” kata dia tegas.
Soal korupsi menurut dia dalam poin penting tetapi bahwa rezim ini kata dia sudah nepotisme. Menurut dia itu merupakan tindakan kriminal.
“Jangan bawa nomenklatur politik dinasti. Penyelanggaran Negara bebas KKN, bahwa nepotisme adalah perbuatan kriminal dengan ancamana hukuman 2 tahun. maksimal 12 tahun. Apa yang sekarang terjadi soal nepotisme, bisa menjadi tindak pidana yang kita bawa ke ranah hukum,” terangnya.
Sumber nepotisme ini menurut dia adalah karena Jokowi. “Kita bawa ke hukum. Kita penjarakan sekalian. Itu dasar hukumnya. Jelas. Nepotismenya jelas,” tegasnya..
Putusan MK menggambarkan itu, sebagai contoh. Hakim pun harus mundur, kata dia.
“Kalau tidak mundur maka putusan tidak sah dan bisa dinberi sanksi administrasi maupun pidana. Itu UU Kehakiman. Anwar Usman yang memenangkan dan memberikan peluang Gibran maju, itu nepotisme. Tapi akarnya adalah istana. Istana itu adalah Jokowi. Menurut Tempo malah isterinya ikut-ikutan,” ia mengungkapnya.
Pembicara selanjutnya adalah Syafril Sjofyan. Ia mengatakan perlu Jokowi diajukan ke dugaan korupsi. Ia minta agar Jokowi juga dituntut pula dengan dugaan tindakan krimanal karena nepotisme.
“Jokowi saya lihat saat ini berkhianat. Misal UU Penjualan Pasir, sehingga Negara tetangga di luar melakukan reklamasi. Indikasi kedua soal masuknya TKA. Ini melanggar banyak UU, seperti mesti berbahasa Indonesia. Indikasi lainnya KCIC, yang merugikan keuangan Negara,” kata dia.
“Belum lagi soal izin HGU 190 tahun. ini satu muara, yakni: Tiongkok/China. Ini indikasi pengkhianata,:” imbuhnya.
(Rob/parade.id)