Jakarta (parade.id)- Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) minta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dibubarkan. Minta pembubaran imbas dari RUU Pilkada yang dianggap untuk anulir putusan MK terkait pencalonan kepala daerah.
GEBRAK melakukan aksi melawan rezim otoriter dengan dinasti politiknya pada 22 Agustus 2024 dengan titik kumpul aksi di area Gedung YLBHI.
Dalam aksi ini, GEBRAK menyoroti bahwa persoalan revisi Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang dilakukan oleh DPR yang bertentangan dengan Mahkamah Konstitusi bukanlah sekadar persoalan Pilkada, melainkan simbol diinjak-injaknya demokrasi di Indonesia demi melancarkan kepentingan pemilik modal.
Demi memuluskan kepentingannya; pemilik modal akan lebih ‘menggalakan’ lagi menggunakan segala macam cara untuk memastikan ‘penghisapan’ terhadap rakyat tertindas.
Bentrokan antara kepentingan pemilik modal untuk memperkaya dirinya dengan kepentingan rakyat tertindas untuk bertahan hidup- terjadi lebih keras lagi hampir di semua sisi.
Di pabrik, di kampung-kampung dan di desa-desa, di ruang- ruang belajar dalam universitas dan sekolah-sekolah, di media massa, hingga di pertarungan pembuatan kebijakan dan perebutan kekuasaan.
Pengesahan UU Cipta Kerja demi investasi dipaksakan melalui akrobatik politik dan hukum yang tidak ada preseden sebelumnya, begitu juga dengan skandal legislasi yang hari ini terjadi.
Protes terhadap kebijakan Pemerintah yang merugikan rakyat seperti biaya pendidikan mahal, upah murah & phk masal, perampasan lahan, kenaikan harga BBM, alih-alih didengarkan justru direspon dengan tindakan kooptasi luar biasa dengan diiringi represi aparat.
Upaya rakyat mempertahankan ruang hidup dari rakusnya Proyek-Proyek Strategis Nasional justru diancam kriminalisasi. Belum lagi perangkat kebijakan yang banyak dibuat untuk menjerat aktivitas demokratis rakyat; UU KUHP ‘New Colonial’ dan revisi UU ITE.
“Persoalan saat ini, bukan hanya persoalan Pilkada Jakarta atau Pilkada Dinasti Politik, melainkan terberangusnya demokrasi bagi masyarakat Indonesia,” ujar Sunarno, Ketua GEBRAK.
Situasi-situasi tersebut menandakan adanya pembajakan demokrasi di Indonesia. Marcus Mietzner, seorang akademisi, menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia sedang mengalami penyusutan melalui cara-cara terselubung yang dilakukan oleh elit-elit pemerintah.
Penurunan kualitas demokrasi tersebut akan berdampak pada kualitas hidup buruh, perempuan, petani, bahkan pekerja kampus dan mahasiswa.
Fakta hari ini partai politik borjuasi melalui elit politiknya dalam DPR (Baleg) tidak berfungsi sebagai perwakilan rakyat berdasar mandat konstitusi. Putusan MK diatas menjadi salah satu landasan konstitusional memberikan lapangan demokrasi.
Perlakuan DPR saat ini menghina mandat rakyat berdasar Konstitusi dengan melencengkan amanat Mahkamah Konstitusi demi kepentingan hegemoni politik, demi stabilitas politik atas nama Investasi.
Beberapa akademisi, seperti Nicole Curato dan Diego Fossati telah menyoroti persoalan ini sebagai inovasi otoritatif dimana para aktor politik melakukan agenda-agenda yang terlihat demokrasi padahal sangat otoritatif.
Jika dikaitkan dengan konteks Indonesia hal ini dapat dilihat dari legalisasi kecurangan politik dinasti, tata kelola pemerintah yang terlihat untuk kepentingan rakyat padahal bukan, teknologi surveillance, bahkan buzzer yang digunakan untuk mengendalikan suara-suara yang bertentangan dengan pemerintah meskipun terlihat seperti bagian dari kebebasan berpendapat.
Jikapun warga bisa terlihat bebas berpendapat, suara-suara warga ini pun kerap kali hanya diabaikan oleh pemerintah yang bebal.
Oleh karena itu, beberapa indikator demokrasi yang bisa diakali hanya untuk menunjukkan “demokrasi” hasil inovasi para otoritarian tidak dapat dijadikan acuan sepenuhnya untuk mengidentifikasi tingkat demokrasi.
Melalui beberapa kasus seperti omnibus, pilkada, UKT, konflik agraria dan pembungkaman jurnalis inilah kita bisa mengetahui demokrasi yang kita alami ini demokrasi asli atau demokrasi palsu hasil inovasi-inovasi para pimpinan otoriter.
Berkaca dari hal tersebut, GEBRAK mengajak semua serikat buruh maupun organisasi masyarakat sipil lainnya untuk membangun kembali kekuatan politik rakyat melawan politik dinasti-borjuasi.
“Gerakan ini merupakan gerakan politik rakyat yang perlu dijalankan dan diperluas sebagai perlawanan terhadap Rezim Dinasti Otoriter Jilid 2”, tambah Sunarno.
Oleh karenanya, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menegaskan beberapa tuntutan, yaitu:
1. Tolak Politik Dinasti di Indonesia
2. Bubarkan DPR, Bangun Dewan Rakyat.
3. Lawan Politik Dinasti-Borjuasi, Bangun Kekuatan Politik Persatuan Rakyat.
4. Cabut UU Cipta Kerja & PP Turunannya.
5. Cabut Permenaker No.5 Tahun 2023 Tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Upah.
6. Tolak Sistem Kerja Fleksibel; Magang, Outsourcing, Kontrak, Kemitraan.
7. Lawan PHK Masal & Tolak Upah Murah.
8. Hentikan Liberalisasi Pertanahan Lewat Bank Tanah dan Mafia Tanah.
9. Hentikan Proyek Strategis Nasional (PSN), IKN, dan Food Estate Perampas Tanah
Rakyat, Hutan Adat dan Merusak Ruang Hidup Rakyat.
10. Stop Kriminalisasi dan Represifitas Terhadap Gerakan Rakyat.
11. Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan, Hukum dan Adili Pelanggar HAM.
12. Hentikan Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan.
13. Cabut aturan dan UU Yang Anti Rakyat (KUHP, UU Minerba, UU IKN, UU Pertanian,
RUU Sisdiknas dan Revisi UU ITE).
14. Wujudkan Reforma Agraria Sejati dan Nasionalisasi Industri untuk Rakyat.
(Rob/parade.id)