Jakarta (parade.id)- Sejumlah aktivis ’98 yang tergabung dari berbagai elemen pergerakan menegaskan penolakan keras terhadap gagasan penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
Dalam sebuah Diskusi Publik bertajuk “Refleksi Reformasi 1998, Soeharto Pahlawan atau Pelanggar HAM” di salah satu hotel di Jakarta Selatan, mereka berpendapat bahwa rekam jejak pelanggaran HAM dan korupsi Orde Baru menjadi alasan fundamental penolakan tersebut.
Ubaidilah Badrun, perwakilan Aktivis ’98 yang juga akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menyatakan bahwa seluruh simpul gerakan reformasi, termasuk Pena ’98, FK ’98, Barikade ’98, Perhimpunan Aktivis ’98, Gerak ’98, hingga Repdem, sepakat menolak gagasan ini.
“Pelanggaran HAM masa lalu belum juga terselesaikan, pelanggaran HAM yang baru muncul lagi, dan yang paling miris pelakunya ada di istana, ada darah di tangannya, ada air mata di matanya, namun tidak pernah bisa diselesaikan masalah pelanggaran HAM di masa lalu,” kata Ubaidilah.
Ubaidilah Badrun menegaskan bahwa alasan pelanggaran HAM masa lalu dan masalah supremasi hukum menjadi argumen substantif untuk menolak Soeharto sebagai pahlawan.
“Dari jumlah pelanggaran HAM masa lalu kita bisa menyimpulkan argumen substantif bahwa Soeharto tidak layak dijadikan sebagai pahlawan. Bagaimana mungkin seorang penjahat yang juga seorang koruptor bahkan merugikan negara belasan triliun mau ditetapkan sebagai pahlawan?” tegas Ubaidilah.
Di akhir penyampaiannya, Ubaidilah Badrun kembali menekankan bahwa tidak ada alasan untuk menerima Soeharto sebagai pahlawan. “Demokrasi hari ini tidak lahir secara tiba-tiba. Ia lahir dari keringat, air mata, bahkan nyawa rakyat yang berjuang menumbangkan kekuasaan otoriter. Untuk itu tidak ada alasan apapun untuk menerima Soeharto sebagai pahlawan nasional,” imbuhnya.
Diskusi ini dihadiri oleh sejumlah tokoh aktivis ’98 lainnya, seperti Ray Rangkuti, Mustar Bonaventura, Bela Ulung Hapsara, Anis Hidayah, Jimly Fajar, dan Hengki Kurniawan.
(abd/parade.id)