Jakarta (parade.id)- Sejumlah orang yang mengatasnamakan Masyarakat Pengamat Pemerintahan dan Pungutan Liar (Mas Pamer Pungli) melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung Bappenas RI, Senin (17/7/2023).
Dalam aksinya, Mas Pamer Pungli meminta BAPPENAS segera memberlakukan one gate data Musrenbang secara tersistem dan periodik melalui setiap BAPPEDA di daerah.
“Agar mengifisiensi kinerja pemerintah pusat dalam menentukan hingga memantau perkembangan pembangunan di lokasi prioritas (Lokpri) pembangunan infrastruktur nasional,” demikian siaran pers atas nama Korlap Masyhur Borut, yang diterima media, Senin (17/7/2023).
BAPPENAS maupun kementerian/lembaga terkait juga diminta oleh Mas Pamer Pungli jangan membatasi kompetensi setiap Pemda dalam melakukan monitoring maupun evaluasi terhadap pembangunan infrastruktur di seputar Lokpri, termasuk melakukan pengusulan wilayah atau daerah sebagai Lokpri terbaru di daerah.
“BAPPENAS harus memperjelas porsi pembebanan anggaran dalam perencanaan, peninjauan/survei, pemilihan, penentuan, hingga pelaksanaan kegiatan program di Lokpri agar tidak ada indikasi permainan oknum terhadap anggaran, baik di tingkat pemerintah pusat maupun Pemda,” pintanya.
Satgas Saber Pungli dan KPK pun diminta oleh Mas Pamer Pungli untuk segera periksa oknum-oknum di dalam BAPPENAS yang diduga meminta ‘mahar’ dari Pemda-Pemda sebelum melakukan survei Lokpri di daerah-daerah.
“Meminta Kepala BAPPENAS, segera pecat pejabat BAPPENAS atas nama IH dan Z yang diduga terlibat kolusi dalam penentuan Lokpri di daerah-daerah,” pintanya.
Masyhur menjelaskkan, bahwa Komitmen pembangunan seperti infrastruktur telah ditunjukan Presiden Joko Widodo sejak era pemerintahan pertama melalui Program Nawacita yaitu, “Membangun Indonesia dari Pinggiran” yang diwujudkan dengan pembangunan di daerah pedalaman dan daerah perbatasan.
Keberlanjutan komitmen pemerintah tersebut salah satunya kemudian dituangkan dalam Perpres No. 118 Tahun 2022 tentang Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Tahun 2020-2024 atau disebut Renduk, berdasarkan usulan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Sebagai pedoman nasional, Renduk sendiri memuat beberapa unsur pokok, seperti wilayah pengelolaan dan program dan kegiatan pengelolaaan perbatasan yang menjadi acuan bagi kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan di pusat dan daerah.
Pedoman tersebut dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan secara terpadu untuk memperkuat kedaulatan negara serta mewujudkan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat tanpa terkecuali juga dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
BAPPENAS sepakat bahwa Indeks Pengelolaan Kawasan Perbatasan (IPKP) menjadi instrumen dalam mengukur sejauh mana perkembangan pengelolaan di kawasan perbatasan oleh pemerintah.
Lokasi pengelolaan perbatasan yang diprioritaskan adalah kecamatan- kecamatan terluar yang berbatasan langsung dengan negara lain. Lokasi pengelolaan yang dipilih disebut sebagai Lokpri.
Menurut Masyhur, bahwa pemilihan Lokpri pengelolaan perbatasan secara garis besar dilakukan berdasarkan pendekatan pertahanan dan keamanan (hankam) atau security approach dan pendekatan kesejahteraan masyarakat atau prosperity approach, serta aspek kelestarian lingkungan (environmental approach) dengan mempertimbangkan aspek ketataruangan dan regional kawasan-kawasan pusat kegiatan dan penyangga di sekitarnya.
Hal itu berdasarkan Perpres No. 118 Tahun 2022 yang mengacu pada pertimbangan keberadaan Koridor Pertumbuhan dan Pemerataan dalam RPJMN Tahun 2020-2024, jumlah Lokpri yang dikelola saat ini berjumlah 222 Lokpri yang terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu 176 berada di dalam Koridor Pertumbuhan dan Pemerataan, dan 46 Lokpri lainnya berada di luar Koridor Pertumbuhan dan Pemerataan.
“Meskipun belum diketahui secara pasti dari pihak bertanggung jawab mana saja sehingga Lokpri tersebut kemudian ditentukan. Adanya desentralisasi wewenang Pemda dalam pembangunan, memberikan manfaat bahwa tidak ada yang lebih mengetahui segala kondisi di daerah termasuk infrastruktur, melebihi Pemda itu sendiri,” katanya.
“Artinya pemerintah daerah merupakan pintu pertama sehingga dapat diketahui informasi tentang kondisi riil infrastruktur daerah sebelum sampai pada pemerintah pusat termasuk Lokpri. Meskipun secara regulasi penentuan Lokpri dilakukan dengan berdasarkan beberapa parameter yang dilaksanakan sepihak,” lanjutannya.
Dalam kaitannya dengan itu, akibat data Lokpri dalam regulasi tidak selalu mutakhir, menurut dia hal ini menjadi celah bagi beberapa oknum di lembaga pemerintah, yaitu BAPPENAS untuk “mengkondisikan” Pemda yang hendak mengusulkan pembangunan nasional di daerahnya dengan memanipulasi data Lokpri yang telah ada sebelumnya.
“Oknum di BAPPENAS ini berdalih bahwa pembangunan nasional tetap dapat dilakukan di luar Lokpri setelah Pemda pemohon memenuhi beberapa hal yang diperlukan, seperti survei oleh perwakilan kementerian/lembaga terkait ke Lokpri maupun daerah usulan pembangunan dengan penganggaran surveinya dibebankan pada Pemda. Padahal jelas dalam regulasi bahwa pendanaan bersumber dari pemerintah pusat lewat APBN maupun Pemda melalui APBD,” ungkapnya lagi.
“Artinya, tugas yang harusnya menjadi kewajiban pemerintah pusat, maka secara pengganggaran tidak menjadi tanggung jawab Pemda untuk memberikan pendanaan,” sambungnya.
Hal ini tentunya kata dia, selain melanggar ketentuan perundang-undangan, dan efisiensi kerja, juga mencederai komitmen Presiden Jokowi untuk memberantas segala macam pungutan yang bertentangan dengan tugas-tugas aparat pemerintah.
(Rob/parade.id)