Denpasar (PARADE.ID)- Puluhan orang yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Bali menggelar aksi damai dalam rangka menuntut ditegakannya keadilan dan melawan segala bentuk pelanggaran HAM di Papua. Di antaranya, Negara diminta pendemo bertanggung jawab atas tragedi biak berdarah 1998 yang telah menewaskan ratusan nyawa manusia dan rentetan pelanggaran HAM lainnya di Papua.
Selain itu, pendemo meminta agar ruang demokrasi dibuka seluas-luasnya dan mereka meminta hak agar bisa menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua.
Sebagai bagian dari stimulus, pendemo meminta pemerintah menarik TNI dan Polri dari seluruh tanah Papua. Juga meminta agar Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, dan perusahaan lainnya ditutup dengan segara di atas bumi Papua.
Aksi massa yang dipimpin oleh Jeeno Dogomo ini, yang awalnya damai kemudian berubah menjadi tak terkendali. Mereka berteriak ‘Papua Merdeka’. Aparat keamanan pun menyiram pendemo dengan water cannon karena dianggap tidak sesuai janji dalam menyampaikan aspirasi.
Aksi massa dilaksanakan di Parkir Timur lapangan Renon Dentim.
Pendemo sempat membacakan pernyataan sikap di sela-sela orasinya. Berikut pernyatan sikapnya:
1. Tindakan kolonisasi (sistim) Indonesia beserta tuannya Imperialis telah dan sedang menghancurkan alam serta manusia Papua Historis berdarah-darah pun tercatat sejak Papua di Aneksasi (1 Mei 1963), sejalan Pendudukan Indonesia dengan kekuatan- kekuatan Militeristik serta kepentingan Imperialis di West Papua. Pada 6 Juli 1998 terjadi pembantaian terhadap manusia Papua di kota Biak, yang disebut Peristiwa Biak Berdarah.
2. Peristiwa berdarah akibat tindakan aparat negara yang berlebihan terhadap rakyat yang mengibarkan bendera Bintang Kejora secara damai itu telah mengorbankan 230 orang. 8 orang meninggal; 8 orang hilang; 4 orang luka berat dan dievakuasi ke Makasar; 33 orang ditahan sewenang-wenang, 150 orang mengalami penyiksaan, dan 32 mayat misterius ditemukan hingga terdampar di perairan Papua New Guinewa (PNG).
3. Hari ini genap 22 tahun berlalu tanpa proses penyelesaian kasus dan pembiaran terhadap aparat Negara sebagai pelaku Pembantaian tersebut. Tindakan Pemeliharaan dan melindungi pelaku palanggar HAM, justru melanggengi kepentingan akses eksploitasian Sumber Daya Alam dan menjaga eksistensi mengkoloni Papua. Masifnya Perampasan tanah-tanah adat, serta meningkat represifitas aparat negara disertai dengan masifnya kebrutalan penangkapan aktivis Papua yang makin meningkat. Juga, militer, dibawah kontrol Negara, terus melakukan pelanggaran HAM, Pembunuhan, pemerkosaan, pengejaran dan penangkapan aktivis Papua, bahkan memenjarah hingga mengabisi nyawa.
4. Setelah Biak Berdarah, terjadi pula tragedi Wamewa Berdara (2000 dan 2003), Wasyor Berdarah (2001), Uncen Berdara (2006), Nabire Berdarah (2012), Paniai berdarah (2014), d peristiwa lainnya yang Negara pun tak menyelesaikan kasusnya
(Verry/PARADE.ID)