Jakarta (PARADE.ID)-
Anggota Komisi IV DPR RI Yohanis Fransiskus Lema mendesak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) agar bersikap transparan, adil, mempertimbangkan aspek kelestarian habitat laut dalam membuat kebijakan pemberian izin penggunaan alat tangkap cantrang.
Diketahui, izin penggunaan cantrang diberikan melalui Menteri KKP Nomor B.717/MEN-KP/11/2019 Tentang Kajian terhadap Peraturan Bidang Kelautan dan Perikanan. Ia meminta agar dalam izin cantrang, KKP perlu memastikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pelaku usaha sektor perikanan, memperhatikan kesejahteraan nelayan kecil, dan mengutamakan konservasi ekosistem laut.
“Kajian terhadap regulasi pemberian izin cantrang dari lembaga publik menemukan ada potensi perlakuan diskriminatif yang menguntungkan pelaku usaha tertentu, juga tidak berpihak pada kepentingan nelayan kecil dan konservasi ekosistem laut. Seharusnya izin menghindari monopoli karena akan bermuara pada munculnya ketidakadilan dan eksploitasi laut. Jika terbukti ada diskriminasi dan eksploitasi ekosistem laut, maka izin tersebut perlu dikaji ulang,” tegasnya dalam keterangan tertulis kepada Parlementaria, Jumat (19/6/2020).
Menurut Ansy, sapaan akrabnya, desain regulasi yang dikeluarkan KKP harus adil (fair), tidak diskriminatif agar tidak berpotensi membuka potensi unsur monopoli yang menguntungkan perusahaan-perusahaan cantrang. Karena itu, izin penggunaan cantrang perlu dilakukan secara transparan dan dapat diakses publik. Pemberian izin penggunaan cantrang tidak boleh dilakukan dalam ruang tertutup.
“KKP harus mendesain sistem perizinan yang transparan dan adil, agar publik bisa mengetahui sejauh mana kelayakan perusahaan-perusahaan tersebut, dan apakah mereka telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. KKP harus melibatkan partisipasi publik untuk memastikan tidak adanya monopoli dan atau eksploitasi ekosistem laut,” tegas Ansy.
Ia memahami bahwa izin penggunaan cantrang untuk memacu geliat ekonomi dan bisnis di sektor kelautan dan perikanan. Namun, KKP harus memastikan bahwa regulasi yang telah dikeluarkan harus selalu kembali pada semangat dasarnya, yakni keberpihakan pada nelayan kecil, konservasi ekosistem laut dan berkontribusi pada pendapatan negara.
KKP sudah merevisi peraturan perikanan tangkap, yang kembali mengizinkan kapal-kapal ikan yang memakai cantrang berukuran di atas 200 gross ton (GT), untuk kembali beroperasi dengan persentase skala usaha sebesar 22 persen. Kebijakan pemberian izin kepada kapal besar ini akan membuka potensi konflik dengan para nelayan tradisional dan nelayan skala kecil yang memiliki kapal berukuran di bawah 10 GT.
Ansy menambahkan, kebijakan ijin cantrang perlu mempertimbangkan rasa keadilan bagi nelayan kecil yang dilindungi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan Kecil. Apabila cantrang dioperasikan di laut lepas, tentu ikan ikan yang sifatnya bergerak tidak akan bergerak ke arah pantai dan teluk sebagai fishing ground atau daerah penangkapan bagi nelayan kecil.
Dia juga mewanti-wanti KKP untuk melakukan pengawasan ketat, karena perizinan kapal besar ini dapat menjadi pintu masuk praktik illegal fishing dan eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan besar-besaran di Indonesia. Dampaknya jelas, nelayan tradisional dan nelayan skala kecil akan kehilangan ruang perairannya. Mereka dipaksa kalah karena tidak dapat bersaing. Jika demikian, maka sesungguhnya yang terjadi adalah bentuk pemiskinan struktural terhadap nelayan tradisional dan skala kecil.
“Penggunaan cantrang juga berpotensi memunculkan penangkapan berlebihan (overfishing) karena sifat tangkapnya yang menyapu semua yang ada di dasar laut, termasuk hewan-hewan laut yang berukuran kecil. Rentan terjadi kehancuran terumbu karang yang secara alami menjadi rumah bagi reproduksi berbagai jenis ikan. Dampaknya, ekosistem laut bakal rusak dalam jangka panjang,” ungkap politisi Fraksi- PDI Perjuangan ini.
Selain itu, KKP harus mengintensifkan sistem pengendalian dan pengawasan untuk operasional cantrang, agar produksi perikanan tetap baik dan ekosistem laut tetap terjaga. Cadangan ikan di laut perlu tetap dijaga. KKP harus mengawasi agar penggunaannya tidak sampai ke dasar laut; harus diatur lebih detil hingga titik kedalaman alat tangkap tersebut boleh digunakan agar tidak merusak terumbu karang maupun perkembangbiakan ikan.
“Demi tercapainya rasa keadilan dan menghindari eksploitasi berlebihan, desain regulasi KKP harus secara tegas mengatur/membagi/membatasi wilayah tangkapan ikan agar memberikan kesempatan kepada para nelayan tradisional dengan kapasitas kapal kecil dan jaring tradisional. Jangan sampai kapal-kapal yang menggunakan cantrang juga menguasai wilayah perairan yang selama ini menjadi tempat nelayan kecil mencari ikan. Jika itu yang terjadi, maka sesungguhnya kebijakan ini adalah wujud pemiskinan struktural terhadap nelayan tradisional dan skala kecil,” pungkas anggota dapil NTT II itu.
(dpr.go.id/PARADE.ID)