Jakarta (PARADE.ID)- Dua tahun lalu, Haris Munandar dan saya menerbitkan buku berjudul “Kisah-kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa.” Dua puluh tiga tokoh bangsa kami kisahkan. Satu-satunya tokoh yang masih hidup kala itu adalah DR. Artidjo Alkostar. Sungguh hampir mustahil menemukan sosok pajabat tinggi sesederhana beliau. Kalimat terakhir kami dalam buku itu: “Panjang umur, Pak Hakim.” Ternyata Sang Khalik telah memanggilnya hari ini. Semoga amal bakti almarhum membawanya ke surga dan suri teladannya senantiasa menyinari perjalanan Bangsa ini.
***
Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Dr. Artidjo Alkostar, SH., LLM., memasuki masa pensiun pada 22 Mei 2018 lalu tepat pada usia 70 tahun. Menjadi hakim agung sejak tahun 2000, Artidjo telah memutus 19.708 berkas perkara. Dalam banyak perkara yang telah diputusnya itu, terdapat banyak kasus korupsi yang mengundang perhatian nasional di mana ia menjatuhkan hukuman maksimal tanpa keraguan. Ia pun menyandang predikat “malaikat maut”. Benteng kuat keadilan di Indonesia ini sudah pensiun. Sampai sekarang belum terlihat ada lagi “hakim gila” seperti Artidjo yang bisa menjadi tumpuan harapan bangsa bagi tegaknya hukum secara tegas.
Dr Artidjo Alkostar SH LLM lahir di Situbondo, 22 Mei 1948, dari orang tua yang berasal dari Sumenep, Madura. Ia menamatkan pendidikan SMA di Asem Bagus, Situbondo. Kemudian, masuk Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Tamat kuliah ia menjadi staf pengajar di almamaternya dan aktif sebagai pengacara di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) cabang Jogja.
Kasus besar yang pernah ia bela adalah Kasus Pembantaian di Santa Cruz, Dili, Timor Leste, 1992. Dikisahkan ia hampir kehilangan nyawa selama berada di Dili, dari mulai ke mana-mana diikuti oleh intel sampai diancam oleh supir taksi. Satu malam di hotel di Dili, seorang berpakaian ninja berniat menyatroni kamar hotelnya. Namun, ia keliru ke kamar sebelahnya yang digunakan oleh salah seorang staf Artidjo. Meski begitu, Artidjo bertahan sampai enam bulan di Dili untuk membela.
Di LBH Artidjo pernah membela orang yang disangka sebagai penembak misterius (petrus). Kala itu, tahun 1985, banyak orang yang dituduh sebagai gali atau residivis yang langsung ditembak di tempat. Kadang, tidak jelas apa alasan seseorang ditembak. Hal itu menjadi diskresi dari kodim setempat. Pernah seorang pria di Lumajang, Jawa Timur, dikejar-kejar tentara hendak dieksekusi, sehingga akhirnya ia bersembunyi selama empat bulan di kebun tebu. Ketika Artidjo bertanya pada Kodim, mengapa pria itu dikejar-kejar, mereka menyatakan bahwa pria itu keras kepala. Ternyata walau perkaranya kalah di MA, pria itu menolak untuk dilakukan eksekusi terhadap hartanya. Jadi ia bukan residivis? Bukan. Kesewenangan Orde Baru menjadikan praktek-praktek sok kuasa seperti itu sering terjadi.
Keluarga Artidjo sempat khawatir sewaktu Artidjo pulang ke Situbondo. Ada berita yang menyatakan sudah ada tim yang sudah mengincar Artidjo dan ia akan ditembak ketika kembali ke Yogyakarta. Saat itu, di Situbondo sudah tidak ada orang yang mau makan ikan. Sungai di desa itu airnya berwarna merah, karena menjadi tempat pembuangan orang yang ditembak. Banyak mayat mengambang di sungai, dan itu terjadi juga di daerah-daerah lain. Meski pernah mempunyai kantor pengacara di Yogyakarta, kekayaan Artidjo ketika menjadi hakim agung tidak mencolok. Maklum, Artidjo sering tidak tega menarik bayaran dari kliennya yang tidak mampu.
Kalau dihitung-hitung, penghasilan dari kantornya — setelah untuk membayar gaji tim pengacaranya dan membeli buku — tinggal pas-pasan. Hartanya cuma sebuah rumah kecil di Jogja. Sebagian besar penghasilan Artidjo habis untuk membeli buku, terutama literatur asing. Artidjo memimpin tim hukum yang menggugat kapolri dalam kasus pembunuhan Udin (Fuad M Syafruddin) wartawan media Bernas Jogja.
Sebagai pengacara, Artidjo menghadapi berbagai godaan. Salah satunya adalah tawaran pihak lawan agar Artidjo tidak bersungguh-sungguh membela kliennya di persidangan sambil ditawari segepok uang. Tawaran itu ditolak karena ia tidak mau menghianati hati nuraninya dan kliennya. Karena merasa tidak pernah menyogok hakim atau jaksa, Artidjo berani mengajukan protes pada hakim atau jaksa jika ia melihat ada yang tidak beres dalam persidangan. Itu pula sebabnya sebagai pengacara ia lebih sering kalah, sama seperti Yap Thiam Hien.
Demi mengurangi stress Artidjo mempunyai beberapa hobi, seperti memelihara ayam bekisar dari Madura, memelihara ikan koi, serta bonsai. Ketika diperiksa Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Artidjo pernah ditanya pemeriksa, berapa hektar kolam ikan yang dimilikinya. Tentu saja Artidjo tertawa, karena ikan koinya hanya beberapa ekor di aquarium.
Artidjo juga pernah bingung ketika sebuah majalah memberitakan kekayaannya sebesar Rp 5 miliar. Bukan apa-apa, ia merasa khawatir jika familinya di Madura membaca majalah itu, mereka semua akan ramai-ramai minta sumbangan darinya. Menurutnya, kekayaan hanya sementara dan tidak berguna ketika seseorang sudah mati. Ia sering melihat hakim atau penegak hukum yang semasa hidup tidak lurus, ketika meninggal tidak beres keadaannya. Harta yang diperoleh secara tidak halal pada akhirnya cuma akan bikin susah saja.
Selama periode 1983-1989 ia terpilih sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jogja. Artidjo pernah mengikuti pendidikan hukum khusus HAM di Columbia University. Ia juga pernah menjadi pengacara bagi Human Rights Watch Divisi Asia di New York selama dua tahun. Sepulang dari Amerika Serikat ia mendirikan kantor pengacara Artidjo Alkostar and Associates di Jogja. Kantor pengacara ini ia tutup ketika diangkat sebagai hakim agung di tahun 2000.
Kejujuran dan ketulusannya bekerja mendorong sejumlah tokoh hukum mengusulkannya menjadi hakim agung. Pertama menjadi hakim agung, Artidjo sempat terkaget-kaget. Penyebab pertama adalah perubahan gaya hidup dari seseorang yang biasa bebas menjadi pejabat negara yang terikat formalitas. Sampai pada sekitar bulan kedua setelah menjadi hakim agung, Artidjo pernah menempel tulisan di pintu ruang kerjanya. Tulisan itu berbunyi, “Tidak menerima tamu yang ingin membicarakan perkara”. Artidjo terpaksa memasang tulisan itu karena banyak tamu yang datang menawarkan uang dan tawaran-tawaran menggoda lainnya.
Ketika bermukim di AS
Salah satu peristiwa yang membuatnya kaget adalah ketika seorang pengusaha dari Surabaya datang menemuinya di ruang kerjanya dan menyatakan, “Pak Artidjo, ini uang, yang lain sudah”. Saya terkejut betul, kok vulgar betul. Karena terkejut, spontan Artidjo menjawab, ” Saya merasa sangat terhina dengan ucapan Anda. Itu ucapan yang tidak layak Anda ucapkan. Tolong saudara keluar saja sebelum saya marah. Anda orang Jawa Timur, saya juga orang Jawa Timur”. Merasa kaget, pengusaha itu segera meninggalkan ruangan. Motivasinya, bukan karena ia sok suci, tetapi justru karena ia merasa lemah. Godaan seperti itu, jika dituruti akan menjadi kebiasaan dan memperburuk tingkah laku sebagai hakim.
Sebagai pengacara, Artidjo mencari kawan sebanyak-banyaknya. Tapi sejak menjadi hakim agung, ia membatasi diri dan menjaga jarak. Saat ini, yang bisa bertamu ke kantornya hanya mahasiswanya, wartawan, dan kyai dari Madura. Selain itu, mereka dapat diterima, tapi di luar ruang kerja pribadi agar pembicaraan mereka dapat didengar para stafnya.
Artidjo pernah memutus perkara korupsi yayasan dengan terdakwa mantan presiden Soeharto bersama almarhum Syafiuddin. Waktu itu, Syafiuddin dan Sunu Wahadi menginginkan agar perkara itu dihentikan. Namun, Artidjo berbeda pendapat. Ia menginginkan agar perkara dilanjutkan. Karena tidak dicapai kesepakatan, akhirnya sebagai komprominya, disebutkan dalam putusan bahwa Soeharto dalam status tahanan dirawat dengan biaya negara sampai sembuh dan ketika sembuh harus dihadapkan ke pengadilan.
Perbedaan pendapat antara Artidjo dengan hakim agung lainnya dalam memutus perkara bukan hanya terjadi satu kali itu. Artidjo malah tercatat sebagai satu-satunya hakim yang memberikan dissenting opinion dalam putusannya. Hal ini ia lakukan ketika memutus perkara korupsi Bank Bali dengan terdakwa Joko Tjandra. Kedua koleganya dalam majelis sudah menyetujui untuk membebaskan Joko Tjandra. Artidjo menolak untuk membebaskan Joko bersikeras agar pendapatnya masuk ke dalam putusan, bukan hanya dilampirkan dalam putusan seperti lazimnya selama ini. Akhirnya, pendapat Artidjo yang berlainan dengan dua hakim lainnya itu dimasukkan dalam putusan.
Ada dua hal yang mencuatkan nama Artidjo. Yang pertama adalah ketegasannya dalam menjatuhkan hukuman maksimal dalam kasus-kasus korupsi. Kedua adalah kesederhanaan dan kejujurannya dalam menjalani jabatan sebagai hakim agung.
Selama 18 tahun menjadi hakim agung, Artidjo sudah memutus hampir 20.000 perkara. Namun ada kasus-kasus korupsi besar yang membuatnya terus dikenang. Yakni: 1. Anas Urbaningrum Tuntutan KPK: 15 tahun penjara Vonis Pengadilan Tipikor Jakarta: 8 tahun penjara Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta: 7 tahun penjara Vonis kasasi: 14 tahun penjara Majelis kasasi: Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap. 2. Akil Mochtar Tuntutan KPK: Penjara seumur hidup Vonis Pengadilan Tipikor Jakarta: Penjara seumur hidup Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta: Penjara seumur hidup Vonis kasasi: Penjara seumur. Majelis kasasi: Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap 3. Angelina Sondakh Tuntutan KPK: 12 tahun penjara Vonis Pengadilan Tipikor Jakarta: 4,5 tahun penjara Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta: 4,5 tahun penjara Vonis kasasi: 12 tahun penjara (sesuai tuntutan jaksa) Majelis kasasi: Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap Vonis PK: 10 tahun penjara 4. Luthfi Hasan Ishaaq Tuntutan KPK: 18 tahun penjara Vonis Pengadilan Tipikor Jakarta: 16 tahun penjara Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta:16 tahun penjara Vonis kasasi: 18 tahun penjara Majelis kasasi: Artidjo Alkostar, M Askin, dan MS Lumme 5. Irjen Djoko Susilo Tuntutan KPK: 18 tahun penjara Vonis Pengadilan Tipikor Jakarta: 10 tahun penjara Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta: 18 tahun penjara Vonis kasasi: 18 tahun penjara Majelis kasasi: Artidjo Alkostar, M Askin, dan MS Lumme 6. Prof Dr Ir Prawoto, M SAE Tuntutan jaksa: 6 tahun penjara Vonis Pengadilan Tipikor Jakarta: 18 bulan penjara Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta: 3 tahun penjara Vonis kasasi: 8 tahun penjara Majelis kasasi: Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Abbdul Latief 7. Sutan Bhatoegana Tuntutan jaksa KPK: 11 tahun penjara Vonis Pengadilan Tipikor Jakarta: 10 tahun penjara Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta: 10 tahun penjara Vonis kasasi: 12 tahun penjara Majelis kasasi: Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Abbdul Latief 8. Tunggul Parningotan Sihombing Tuntutan : 15 tahun penjara Vonis Pengadilan Tipikor Jakarta: 10 tahun penjara Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta: 10 tahun penjara Vonis kasasi: 18 tahun penjara Majelis kasasi: Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Abbdul Latief 9. Iskandar Rasyid Tuntutan: 9 tahun penjara Vonis Pengadilan Tipikor Jakarta: 6 tahun penjara Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta: 9 tahun penjara Vonis kasasi: 15 tahun penjara Majelis kasasi : Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Abdul Latief 10. Abdur Rouf Tuntutan: 4 tahun penjara Vonis Pengadilan Tipikor Jakarta: 2 tahun penjara Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta: 2 tahun penjara Vonis kasasi: 5 tahun penjara Majelis kasasi: Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Abdul Latief 11. Antonius Bambang Djatmiko Tuntutan: 3 tahun penjara Vonis Pengadilan Tipikor Jakarta: 2 tahun penjara Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta: 2 tahun penjara Vonis kasasi: 4 tahun penjara Majelis kasasi: Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Abdul Latief 12. Ade Nurhikmat Tuntutan: 4 tahun penjara Vonis Pengadilan Tipikor Jakarta: 3 tahun penjara Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta: 3 tahun penjara Vonis kasasi: 5 tahun penjara Majelis kasasi: Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap 13. OC Kaligis Tuntutan KPK: 10 tahun penjara Vonis Pengadilan Tipikor Jakarta: 5,5 tahun penjara Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta: 7 tahun penjara Vonis kasasi: 10 tahun penjara Majelis kasasi: Artidjo Alkostar, M Latief, dan Krisna Harahap Vonis PK: 7 tahun penjara 14. Budi Mulya Tuntutan: 17 tahun penjara Vonis Pengadilan Tipikor Jakarta: 10 tahun penjara Vonis Pengadilan Tinggi Jakarta: 12 tahun penjara Vonis kasasi: 15 tahun penjara Majelis kasasi: Artidjo Alkostar, MS Lumme dan M.Askin 15. Rina Iriani Ratnaningsih Tuntutan KPK: 10 tahun penjara Vonis Pengadilan Tipikor Semarang: 6 tahun penjara Vonis Pengadilan Tinggi Semarang: 6 tahun penjara Vonis kasasi: 12 tahun penjara Majelis kasasi: Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap Vonis PK: 9 tahun |
Reputasi mengerikan membuat nyali para terpidana kasus korupsi ciut. Dalam sejumlah kasus yang sudah diajukan PK, ditarik kembali, termasuk terpidana kasus korupsi mantan Kepala Dinas Perhubungan Udar Pristono. Sebaliknya, ketika Artidjo mengakhiri masa tugasnya, sejumlah terpidana ramai-marai mengajukan PK. Artidjo menyatakan semua vonisnya didasarkan pada pertimbangan hukum yang jelas, dan bisa diperiksa oleh ahli hukum mana pun. Artidjo juga keras dalam kasus-kasus yang melibatkan bandar narkoba kelas kakap. Ia dua kali peninjauan kembali terhukum mati kasus narkoba Michael Titus Igweh. Ia juga mengabulkan permohonan Kejaksaan Negeri Tangerang, untuk menghukum mati dua terdakwa perkara narkoba asal Taiwan, Chen Jia Wei dan Lo Chin Chen.
Kekaguman publik kepada Artidjo bertumpu pula pada kesederhanaannya. Karena tidak mendapat fasilitas kendaraan dinas, Artidjo selalu naik bajaj, ojek atau taksi dari rumahnya ke gedung Mahkamah Agung dan sebaliknya. Bahkan karena belum juga mendapat fasilitas rumah dinas dari MA, Artidjo mengontrak sebuah rumah kecil di perkampungan padat di Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, di belakang deretan bengkel las. Walaupun seharusnya mendapat rumah dinas dari MA, Artidjo terpaksa mengontrak rumah karena belum ada rumah dinas yang kosong. Penyebabnya, ada sebagian pejabat MA yang sudah pensiun, tetapi tidak mau pergi dari rumah dinasnya. Akhirnya, ia terpaksa mengeluarkan uang dari sakunya sendiri untuk mengontrak rumah.
Menjelang Purna Tugas
Sampai saat ini, walau telah menjadi hakim agung, Artidjo masih mengajar di kampus almamaternya. Artidjo mengajar setiap Sabtu, dari pagi sampai malam. Ia mengajar hukum acara pidana dan etika profesi serta mengajar mata kuliah HAM untuk S2. Artidjo biasa pulang ke Yogyakarta Jumat sore dan dijemput keponakannya di bandara dengan sepeda motor. Artidjo tidak memiliki mobil pribadi. Senin pukul enam pagi ia sudah terbang kembali ke Jakarta, dan langsung ke kantor.
Harta utamanya adalah sebuah rumah kecil yang tanahnya sekitar 50 meter persegi di Jogja. Rumah kecil namun cukup rapi ini disesaki buku-buku. Di Jakarta, Artidjo tinggal sendiri di rumah kontrakannya di Kramat Kwitang. Ia mengaku senang tinggal di situ, apalagi rumahnya tepat di depan musala. Ia juga mengaku akrab dengan jamaah musala di situ. Istri Artidjo, Sri Widyaningsih yang dinikahinya pada 1998 tinggal di Yogya, di rumah kecil yang menjadi satu-satunya harta Artidjo. Keduanya tidak dikaruniai keturunan.
Sosok sederhana, bersih dan jujur sekelas Artidjo ini betul-betul langka di zaman sekarang. Selepas purna tugas Artidjo mengaku tidak akan lagi berurusan dengan hukum dan memilih tinggal di kampung halamannya. Ia mengisi masa pensiunnya dengan beternak kambing kecil-kecilan dan dibantu para keponakannya mengelola kafe Madurama. Masih serba sederhana dan nampak sangat menikmati hidup. Panjang umur, Pak Hakim.
*Dikutp dari faisalbasri.com