Jakarta (PARADE.ID)- Dimulai dari kota Wuhan, China, COVID-19 yang sebelumnya belum dikenal oleh manusia secara cepat berubah menjadi pandemi global yang sangat menakutkan bagi seluruh umat manusia di dunia. Tidak butuh waktu lama, COVID-19 pun telah ditetapkan sebagai pandemi global oleh WHO (World Health Organization) sejak 11 Maret tahun 2020 yang lalu.
Hingga hari ini, COVID-19 masih menjadi momok yang menakutkan. Meskipun banyak di antara bangsa-bangsa di dunia yang telah beranjak keluar dari situasi ini, namun itu belum cukup mengubah situasi secara fundamental, terlebih di Indonesia, dampak COVID-19, terutama di bidang ekonomi yang sangat berat telah merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat dan negara.
Munculnya varian baru yang berasal dari India justru menambah masalah baru di tengah proses vaksinasi yang sedang dilancarkan oleh pemerintah. Hal ini telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu di antara negara-negara tersisa yang paling parah dihantam badai COVID-19. Meski kegiatan vaksinasi terus digalakkan, tetapi di saat yang sama, angka kematian terus bertambah.
Menjelang peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus nanti, Indonesia sedang dalam masa kedaruratan yang secara teknis dijalankan oleh pemerintah melalui pemberlakuan PPKM Darurat Level 4. Dua tahun ini menjadi tahun-tahun terberat yang harus dihadapi oleh bangsa ini, yaitu merayakan kemerdekaan ditengah-tengah ‘ketidakmerdekaan’ akibat ancaman pandemi.
Namun demikian, COVID-19 bukanlah satu-satunya ancaman di sektor kesehatan bagi bangsa ini.
Sebenarnya, bangsa ini telah sejak lama dihantui atau kalau boleh dikatakan; ‘dijajah’ oleh penyakit TBC (tuberculosis). Bahkan, tak jauh berbeda dengan COVID-19, peringkat Indonesia untuk kasus TBC juga termasuk yang paling tinggi di dunia.
Menurut data dari Global TB Report Tahun 2020, perkiraan orang yang jatuh sakit akibat TBC di Indonesia adalah 845.000, dengan angka kematian sebanyak 98.000 atau setara dengan 11 kematian perjam. Ini baru angka yang tercatat secara resmi, sebab secara kalkulatif, baru 67% yang ditemukan dan diobati, sisanya ada 283.000 pasien pengidap TBC yang belum diobati dan beresiko menularkan kepada yang lain.
Secara historis, penyakit TBC ditemukan pada tahun 1882, saat Robert Koch berhasil mengidentifikasi Mycobacterium Tuberculosis. Pada 1906 vaksin BCG berhasil di temukan, dan tidak lama setelah itu berhasil ditemukan obat anti Tuberkulosis (OAT).
Pada 1943 Streptomisin ditetapkan sebagai instrument anti TBC pertama yang efektif. Setelah itu ditemukan Thiacetazone dan asam para aminosalisilat (PAS). Pada 1951 ditemukan isoniazid (isonicotinic acid hydrazide; INH), di ikuti dengan penemuan Pirazinamid (1592) Cycloserine (1952), Ethinamide (1956), rifampin (1957), dan ethambutol (1962). Namun kemajuan dari pengobatan TBC mendapat tantangan dengan bermunculannya strain M. tuberculosis yang resisten terhadap obat anti tuberkulosis (OAT).
Semenjak ditemukan dan merebak ke seluruh penjuru dunia, penyakit TBC telah menginfeksi ratusan juta orang hingga hari ini. Data WHO pada tahun 2015 menyebutkan bahwa ada 10 juta orang di dunia yang menderita penyakit ini, di mana India menempati posisi teratas dengan 2,8 juta kasus disusul Indonesia di peringkat kedua dengan 1,02 juta kasus. Hingga tiba pada hari ini, ketika masalah TBC belum bisa teratasi secara maksimal, muncul pandemi COVID-19 yang memaksa perhatian sektor kesehatan harus tercurahkan pada masalah pandemi, sehingga penanggulangan masalah TBC mungkin harus berhenti sementara.
Pertanyaannya kemudian, kenapa TBC yang telah diketahui keberadaannya sejak ratusan tahun yang lalu belum mampu teratasi hingga hari ini?
Secara prinsipil, ada beberapa hal yang melatarbelakanginya. Selain tidak diterapkannya pola hidup sehat dan standar minimum kehidupan masyarakat, taraf ekonomi masyarakat yang masih berada di bawah bayang-bayang kemiskinan adalah salah satu penyebabnya.
Menurut Paul E. Farmer dalam artikelnya yang berjudul; “The Consumption of the poor: Tuberculosis in the 21st Century”, penyebab fundamental masih belum bebasnya masyarakat dari penyakit TBC adalah kemiskinan.
Ringkasnya, kemiskinan menyebabkan manusia tidak peduli pada penerapan pola hidup sehat, hal ini adalah kesinambungan dari masalah-masalah mendasar berupa tidak kuatnya struktur ekonomi dan Pendidikan bagi masyarakat itu sendiri.
Mengacu pada penyebab mendasarnya, maka membebaskan manusia Indonesia dari ancaman penyakit TBC sebenarnya adalah perpaduan dari tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu implikasi kemerdekaan dengan melindungi segenap bangsa Indonesia. Melalui pengentasan kemiskinan dan juga peningkatan kualitas sumber daya manusianya melalui pendidikan, maka dengan sendirinya akan mendorong masyarakat untuk sadar dan tahu pentingnya kesehatan mereka.
Dengan fakta bahwa Indonesia masih termasuk sebagai negara ‘unggulan’ penyakit TBC, maka secara kasat mata kita bisa mengukur posisi negara ini baik secara ekonomi maupun pendidikannya. Jika ditarik lebih jauh lagi maka pemerintah dalam hal ini belum mampu menjalankan amanat kemerdekaan dan cita-cita pendirian bangsa ini.
Di tengah-tengah pandemi COVID-19 yang sedang melanda, disertai dengan ancaman penyakit TBC, kita melihat urgensi dan keterkaitan yang berkelindan antara penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dan kebijakan peningkatan kualitas hidup serta perlindungan terhadap seluruh warga negara. Kebijakan itu haruslah dibuat dengan mempertimbangkan esensi utama, yaitu manusia Indonesia. Sebab bagaimanapun, tujuan kemerdekaan sebuah bangsa adalah membebaskan manusia-manusia yang ada di dalam bangsa tersebut dari cengkeraman dan ancaman, baik itu cengkeraman bangsa lain maupun juga cengkeraman penyakit.
Keharusan hidup merdeka bukan hanya terimplementasikan pada kebebasan menghirup nafas tanpa terjajah oleh bangsa lain, tetapi juga pada kebebasan untuk menghirup nafas yang murni, tanpa penyakit di negeri sendiri. Karena itulah, di momentum yang bertepatan dengan terjangan pandemi COVID-19, menyambut hari kemerdekaan 17 Agustus ini, diperlukan sebuah refleksi menyeluruh akan pentingnya keselamatan warga negara dan upaya membebaskan mereka dari berbagai ancaman penyakit.
Selain kebijakan pemerintah, masyarakat secara heteronomi juga harus menyadari segala ketidakwajaran mengenai risiko tersebut dengan menjalin hubungan yang sinergis dengan pemerintah. dan untuk menempuhnya, pemerintah harus berperan untuk memberikan pendidikan yang signifikan terhadap pelajar melalui setiap agenda sosialisasi yang intensif.
Model sosialisasi yang bersifat edukatif ini juga tidak diharapkan akan berputar pada metode yang konvensional, sebagaimana yang diterapkan di sekolah maupun di perguruan tinggi. Kondisi Indonesia yang majemuk, mengharapkan agar instrument pendidikan mengenai sebab-sebab di atas, bisa digodok dengan upaya dan langkah praktis yang berbeda. Yakni dengan langkah konvensional, tradisional, dan virtual. Sehingga dari langkah-langkah tersebut, bisa memacu terjadinya laju perubahan.
*Pemerhati Sosial dan Politik, Taupan Iksan Tuarita