Jakarta (PARADE.ID)- Pakar hukum tata Negara, Prof Yusril Ihza Mahendra memosting tulisan Ketua Umum Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), Eggy Sudjana Mastal yang menyoal kasus Edy Mulyadi menyinggung Kalimantan ‘tempat jin buang anak’.
Dalam tulisan Eggy tersebut, bahwa Edy Mulyadi itu tidak bisa dipidana, karena bukan SARA, rasis, dan bukan hoax, melainkan sudah membudaya di daerah seputar Jabodetabek.
Berikut tulisan lengkap Eggy yang diposting oleh Prof Yusril di akun IG dan fanspade FB-nya, Kamis (27/1/2022):
Oleh: Eggi Sudjana Mastal
Ketua Umum Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA)
Dalam diskusi Catatan Demokrasi, Selasa, 25 Januari 2022, di TVONE , sebagai salah satu narasumber penulis telah menegaskan bahwa ungkapan ‘Jin Buang Anak’ bukan pidana. Sebagai Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), penulis perlu sampaikan hal ini kepada publik, juga terkhusus kepada aparat penegak hukum agar tidak dituduh melakukan tindakan kriminalisasi kepada aktivis, yang kebetulan bersebrangan dengan pemerintah dalam isu Ibukota Negara (IKN).
Perumpamaan ‘jin buang anak’ merupakan logat yang umum dikenal oleh masyarakat Betawi, khususnya yang tersebar di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, hingga Bekasi (Jabodetabek). Depok saja dulu tempat jin buang anak, bahkan Bekasi juga begitu. Ungkapan ini sama sekali tidak bermasalah secara hukum. Dalam pendekatan AZAS LEGALITAS HUKUM PIDANA , BAHWA SESEORANG TIDAK DAPAT DIPIDANA , BILA TIDAK HUKUM YANG MENGATUR nya ( pasal 1 ayat 1 KUHP ) .
Kalau ungkapan ‘Jin Buang Anak’ dipersoalkan secara hukum, sudah pasti ada ratusan hingga ribuan orang masuk PENJARA karena menggunakan idiom ini juga nenek moyang kita siapa yg pertama ungkapan ” TJBA ” itu ??? Pasti sudah wafat , maka berdasar pasal 78 Kuhp , orang yg sudah mati , maka putus semua perkaranya ,jadi bgm mau dituntut ??..
Ungkapan Jin Buang Anak juga ditujukan pada lokasi IKN, menujukan Tempat yang JAUH SEKALI DARI JAKARTA . IKN ITU SANGAT BELUM DIFASILTASI SEBAGAI SUATU IBU KOTA SEPERTI JKT . Bahkan bagaimana layak IKN merupakan kawasan hutan, pertambangan batubara, yang penuh dengan lobang bekas tambang.jadi ungkapan TJBA itu Bukan ditujukan kepada Suku, Agama, Ras, Golongan, atau Etnis tertentu.
Baru kemudian penulis ketahui melalui buku kajian yang diterbitkan WALHI, lahan IKN tersebut mayoritas dikuasai oleh pengusaha dari Jakarta. Ada Sukanto Tanoto, Hasyim Jojohadikusumo, Reza Herwindo, Luhut Binsar Panjaitan hingga Yusril Ihza Mahendra , sudikiranya KPK perhatikan hal ini dan periksa atuh !
Kembali ke masalah Edy Mulyadi, ungkapan yang disampaikannya merupakan kritik sosial terhadap rencana pindah ibukota yang UU baru saja disahkan 18 Januari yang lalu. Terhadap UU ini, Dien Syamsuddin dan sejumlah tokoh lainnya berencana mengajukan JR ke MK, juga perlu dicermati zaman Soekarno sdh ada UU NO 10 THN 1964 TENTANG IBU KOTA YAITU DJAKATA .
*Ungkapan Jin Buang anak tidak dapat diproses dengan ketentuan pasal 28 ayat (2) jo pasal 45A ayat (2) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.* Mengingat, *ujaran yang disampaikan bukan ditujukan kepada suku, agama, ras atau golongan.* Ungkapan/idiom tersebut, ditujukan kepada masyarakat yang ada di Jakarta, untuk menggambarkan tempat lokasi IKN yang jauh, sepi bahkan seram (karena lokasi hutan dan tambang batubara yang meninggalkan banyak lubang).
Ungkapan Jin Buang anak tidak dapat diproses dengan dengan ketentuan pasal 14 atau 15 Tentang Tindak Pidana dari UU NO 1 THN 1946 . Sisi lainnya mengingat, lokasi IKN yang dijelaskan memang jauh dari Jakarta, dan dikuasai para taipan, lokasinya yang sepi adalah itulah FAKTA bukan kabar bohong or Hoax .
Ungkapan Jin Buang anak juga tidak dapat diproses dengan pasal 16 UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Mengingat, Edy Mulyadi tidak pernah menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis tertentu.
Edy Mulyadi dalam paparannya, mengajukan kritik atas lokasi IKN yang terdiri dari kawasan hutan, perkebunan, dan tambang yang dikuasai taipan di Jakarta, yang jauh, sepi dan angker. Lokasi ini menurut WALHI dikuasai oleh Sukanto Tanoto, Hasyim Jojohadikusumo, Reza Herwindo, Luhut Binsar Panjaitan hingga Yusril Ihza Mahendra.
Jadi, hemat penulis penyidik dapat berperan untuk memediasi agar perkara bisa selesai secara musyawarah dan mufakat, sebagai juga menerapkan SE KAPOLRI THN 2021 BULAN FEBRUARI TTG PELANGGARAN DARI UU ITE . Apalagi, Edy Mulyadi telah menunjukkan itikad baik dengan mengajukan permohonan maaf kepada masyarakat Kalimantan dengan berulang di acara tvone tsb .
Memaksa ungkapan ‘Jin Buang Anak’ ke ranah hukum, akan menurunkan kredibilitas POLRI. Maka wajar, jika nantinya akan muncul kesan terjadi kriminalisasi terhadap aktivis Islam yang kontra rezim.
Lebih-lebih ditengah tidak berdayanya Polri menegakkan hukum kepada Arteria Dahlan dari PDIP, yang jelas-jelas telah merendahkan bahasa Sunda juga plat no mbl nya lima sama semua pemberian dari Polri . Semoga, catatan kecil ini bisa menjadi pertimbangan Polri agar dapat bertindak presisi.
Respons Yusril
Sebab namanya disebut-sebut, Prof Yusril pun merespons tulisan Eggy. Yusril disebut menjadi salah satu orang yang mengusai lahan IKN selaim Sukanto Tanoto, Hasyim Jojohadikusumo, Reza Herwindo, dan Luhut Binsar Panjaitan.
Berikut respons Yusril, yang juga diposting di akun fanspage FB-nya, Kamis (27/1/2022):
Tanggapan Yusril Ihza Mahendra soal lahan “miliknya” di IKN
Izinkan saya memberikan tanggapan sebagai berikut: Saya mendapatkan saham 20 persen dan diangkat jadi komisaris perusahaan tsb (PT Mandiri Sejahtera Energindo) sebagai pembayaran jasa hukum mengangani kasusnya karena mereka dalam kesulitan membayar jasa hukum secara tunai. Tetapi belakangan sahamnya saya jual lagi karena tumpang tindih perizinan dan pinjam pakai kawasan hutan yg tak kunjung selesai sehingga tambang itu tidak pernah dapat dikerjakan oleh perusahaan tsb.
IUP tsb sudah ada belasan tahun yang lalu, jauh sebelum ada kabar daerah itu akan dijadikan IKN. Ketika akan dijadikan IKN, tidak pernah ada pembicaraan apapun dari maupun dengan Pemerintah mengenai nasib IUP di kawasan tsb setelah nantinya dijadikan ibu kota.
IUPnya di atas lahan 160 ha. Hal ini tidak pernah diungkap ke publik, sehingga orang bertanya2 ada berapa ribu atau puluhan ribu “lahan milik Yusril” di kawasan IKN seperti lahan HGU atau HTI. Apakah Yusril sudah jadi orang kaya baru sehingga mampu menandingi para konglomerat seperti Sukanto Tanoto, Hashim Djojohadikusumo dan lain2? IUP sejatinya bukan kepemikikan atas tanah, melainkan hanya izin menambang (IUP) di atas tanah yang bukan miliknya. Bisa tanah dikuasai negara, bisa juga tanah milik orang lain.
Karena itu jika akan mulai kerja, harus ada pinjam pakai dengan Kemhut LH kalau itu kawasan hutan, pembebasan lahan kalau lahan itu milik orang lain dsb. Sampaj hari inj, baik pinjam pakai hutan dengan Kemenhut LH maupun pembebasan lahan dengan penduduk setempat di lahan yg diterbitkan IUPnya itu belum selesai. Kalau begini urusannya, apakah perusahaan pemegang IUP yang dulu saya punya saham, adalah pemilik lahan 160 ha itu? Jelas tidak samasekali. Orang yang belajar hukum seperti aktivis WALHI dan Eggy Sudjana mestinya mengerti masalah ini. Lain halnya kalau mereka tidak pernah belajar hukum pertanahan, jadi hanya omong doang alias “omdo”, atau memang “kura2 dalam perahu, pura2 tidak tahu” untuk menyesatkan opini publik.
Jadi IUP tambang bukan berarti memiliki tanah seperti HGU untuk kebun, Hak Milik atau Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dsb.
Nah sekarang dengan kawasan itu diputuskan menjadi kawasan IKN, maka IUP sudah pasti akan dicabut atau didiamkan sampaj IUPnya berakhir, karena tidak mungkin ada kegiatan menambang di kawasan IKN. Lantas apakah pemegang IUP mendapat kompensasi atas lahan tambangnya karena dijadikan IKN? Tidak samasekali karena lahan itu bukan milik pemegang IUP.
Jadi keuntungan apa yang saya dapat dengan dijadikannya kawasan itu sebagai IKN? Tidak ada samasekali, malah rugi karena sudah capek ngurusin perkara IUPnya, ketika selesai, kawasan itu dijadikan IKN sehingga tidak bisa menambang di sana.
Jadi ada yang digembar-gemborkan WALHI dan dikutip Mulyadi, Eggy Sudjana dll itu cuma isapan jempol dan rumors yang tidak jelas juntrungannya. Saya maklum saja. Namanya juga orang cari perhatian publik, apa saja diumbar ke permukaan, apakah itu pembodohan atau tidak, yang penting sudah jadi berita menarik bagi mereka.
Data yg mereka ungkap bahwa saya menjadi pemegang saham dan komisaris perusahaan itu, adalah data lama tanpa melihat perubahannya. Padahal saham sudah saya jual dan saya bukan lagi komisaris pada perusahaan tsb. Silahkan anda check di database Dirjen AHU Kemenhumkan, apakah saya masih pemegang saham dan komisaris PT Mandiri Sejahtera Energindo yang disebut2 WALHI dan Eggy Sudjana itu..***
Jakarta 26 Januari 2022.
(Sur/PARADE.ID)