Jakarta (PARADE.ID)- Israel kembali melanggar kesepakatan internasional untuk menerapkan status quo di Yerusalem Timur, setelah melakukan aksi kekerasan terhadap ratusan jamaah Masjid al-Aqsa pada hari Jumat, 7 Mei 2021 kemarin.
Polisi Israel menembakan peluru karet dan granat kejut kepada ratusan jamaah menyusul aksi protes mereka atas penggusuran warga Palestina dari kawasan sekitar masjid untuk pemukiman Yahudi. Sedikitnya 205 warga Palestina diberitakan terluka setelah aksi brutal polisi Israel tsb.
Israel diketahui telah menduduki Tepi Barat sejak tahun 1967. Meskipun tidak diakui oleh mayoritas dunia internasional, Israel menganggap seluruh kota Yerusalem Timur sebagai ibukotanya.
Sejak saat itu mereka terus-menerus melakukan berbagai pelanggaran terhadap warga sipil Palestina. Saat ini, ada lebih dari 600 ribu orang Yahudi tinggal di permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur dalam posisi yang dianggap ilegal menurut hukum internasional.
Meski menghadapi tekanan internasional, nyatanya Israel tak berusaha untuk mengendalikan perluasan permukiman Yahudi dan menghentikan penggusuran terhadap warga Palestina. Tindakan semena-mena itulah yang telah memicu terjadinya bentrok di kompleks Masjid al-Aqsa kemarin.
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen @bksapdpr mengutuk keras aksi brutal yang dilakukan polisi Israel di kompleks Masjid al-Aqsa tersebut. Namun, kutukan dan kecaman terhadap Israel selama ini terbukti tidak menjadikan mereka jera.
Bukannya jera, Israel justru kian percaya diri bahwa dunia internasional tak akan melakukan tindakan konkret apapun untuk melawan mereka.
Itu sebabnya, dunia harus mengambil langkah baru yg nyata dan sungguh-sungguh untuk menghentikan arogansi Israel. Jika tidak, maka dunia internasional telah mempermalukan diri di hadapan rezim garis keras Israel.
Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah sudah mendesak agar semua pihak untuk menghormati status quo situs suci di Kota Tua Yerusalem demi kepentingan perdamaian dan stabilitas.
PBB dalam sikap resminya juga telah mengatakan bahwa Israel harus membatalkan setiap penggusuran dan menerapkan “pengendalian maksimum dalam penggunaan kekuatan” terhadap para pengunjuk rasa.
Sementara, Liga Arab juga telah meminta komunitas internasional untuk campur tangan guna mencegah penggusuran. Jadi, opini dunia internasional sebenarnya sama sekali tidak ada yang memihak Israel. Lantas, apa lagi yang kita tunggu?
Aksi kekerasan terbaru Israel di Masjid al-Aqsa bisa digunakan sebagai momentum untuk menegakkan hukum-hukum internasional terkait konflik Palestina-Israel, termasuk mengenai status hukum Yerusalem.
Jika kita ingin menciptakan ‘the rules-based international order’, dan bukannya hukum rimba, maka masyarakat internasional harus mendesak Dewan Keamanan PBB agar segera menerapkan resolusi-resolusinya terkait Yerusalem secara paksa.
Misalnya, Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242 tahun 1967, yang meminta Israel menarik pasukan militernya dari kawasan yang telah diduduki sejak perang 1967 itu.
Selain itu, juga ada Resolusi DK PBB Nomor 298 tahun 1971 yang menyatakan bahwa semua upaya yang diambil Israel untuk mengubah status Yerusalem, termasuk penyitaan lahan, adalah ilegal.
Intinya, perangkat hukumnya sebenarnya sudah tersedia. Dalam catatan saya, sedikitnya ada 15 Resolusi DK PBB terkait Yerusalem dan satu resolusi penting Majelis Umum PBB Nomor 181 tahun 1947 yang menetapkan Yerusalem sebagai wilayah yang berada di bawah kewenangan internasional dan diberikan status hukum dan politik yang terpisah.
Namun, lebih dari lima dekade, resolusi-resolusi tersebut dibiarkan tidak bertaji. Ketidaksanggupan PBB untuk mengambil tindakan konkret terhadap Israel dengan jelas menunjukkan organisasi internasional ini perlu untuk direformasi.
Adanya hak veto telah membuat organisasi ini tersandera oleh kepentingan sejumlah negara besar, dan tak pernah benar-benar berjalan di atas rel demokrasi. Inilah yang telah menghalangi kemerdekaan rakyat Palestina selama ini.
*Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon