Jakarta (parade.id)- Jelang satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, gelombang kritik keras datang dari berbagai elemen masyarakat sipil. Dalam diskusi bertajuk “Evaluasi 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran” di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta Pusat, Jumat (16/10/2025) para narasumber secara tegas menyebut demokrasi Indonesia telah “disandera oligarki” dan rakyat semakin jauh dari kesejahteraan.
Ekonomi Terpuruk, Ribuan Perusahaan Tutup
Romo Sulistyo Wibowo, akademisi yang hadir sebagai pembicara, mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa ribuan perusahaan telah gulung tikar selama setahun terakhir. “Investasi melarikan diri, PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di sana-sini sudah menjadi makanan sehari-hari,” ungkapnya.
Ia menambahkan, para pengusaha kini menghadapi tekanan berlapis—mulai dari premanisme, oknum aparat, hingga polisi. “Setiap orang bikin usaha lebih banyak persoalan yang parah. Diperas sama preman, diperas sama oknum aparat, diperas sama polisi,” kata Romo Sulistyo dengan nada prihatin.
Indeks Demokrasi Merosot Tajam
Ubedilah Badrun, akademisi lainnya, menyajikan data yang tak kalah mengkhawatirkan. Indeks demokrasi Indonesia anjlok dari 6,9 pada 2014 menjadi 6,5, menandai kemunduran signifikan. Indeks kebebasan pers juga turun drastis dari 0,8 pada 2014 menjadi 0,5 pada tahun ini. Pun termasuk kebebasan sipil yang menurun, dari 7,06 jadi 5,29. Dan itu kata terjadi dalam 10 tahun terakhir
“Dari data penangkapan, hampir 1.000 orang ditangkap. Bahkan ada sepuluh korban yang meninggal dalam aksi memperjuangkan kebebasan,” papar Ubedilah. Ia menekankan bahwa tidak ada satu pun narasi pemerintah yang menempatkan rakyat di posisi utama.
Buruh: 150.000 Pekerja Di-PHK
Sunarno, Ketua Umum Konfederasi KASBI mengungkap data mencengangkan dari BPS. Hingga Agustus 2024, lebih dari 150.000 buruh menjadi korban PHK, terutama di industri padat karya seperti garmen dan tekstil.
Kasus PT Sritex di Jawa Barat menjadi sorotan khusus. Perusahaan dengan lebih dari 10.000 karyawan ini dipailitkan, diduga sebagai bagian dari skenario kejahatan korporasi. “Proses kepailitan ternyata bagian dari skenario pihak perusahaan yang telah mendapat banyak stimulus dari pemerintah dan bank,” ungkap Sunarno.
Ia juga mengkritik Omnibus Law Cipta Kerja yang menurutnya menciptakan “informalisasi kaum buruh” dengan sistem easy hiring, easy firing. “Pekerja tetap kini bergeser menjadi pekerja kontrak, outsourcing, magang—mereka tidak memiliki jaminan kepastian bekerja,” jelasnya.
Petani: Perampasan Tanah hingga Titik Terakhir
Titi dari Gerakan Reforma Agraria melukiskan kondisi kelam kaum tani. Kebijakan Pemutakhiran Data Sosial (PSN) justru melegitimasi perampasan tanah, sementara program transisi energi dan konservasi merebut kebun-kebun rakyat.
“Tidak ada lagi rakyat yang bisa menguasai tanah dua hektar. Bahkan di perkotaan, tanah rumah mengalami penggusuran terus-menerus,” katanya.
Ia mengungkap ironi program ketahanan pangan di tengah perampasan tanah petani. Upah buruh tani sangat rendah—maksimal Rp80.000 per hari di perkebunan sawit, jauh di bawah upah buruh pabrik. Dengan biaya hidup mencapai Rp2,5-5 juta per bulan untuk keluarga dengan 2-3 anak, kaum tani terpaksa berhutang pada tengkulak atau mengirim anak-anak mereka menjadi buruh migran.
Suara Ibu: “Indonesia Baru Tanpa Mereka”
Luna dari Suara Ibu Indonesia (SII) menyuarakan kegelisahan kaum ibu yang turun ke jalan melindungi mahasiswa dari kekerasan aparat. Organisasi yang lahir spontan ini kini menginisiasi “Klik Rakyat”—arena terbuka untuk membangun solidaritas lintas sektoral.
“Indonesia baru adalah Indonesia tanpa mereka yang di puncak kekuasaan saat ini. Indonesia yang adil, sejahtera, dan berani mengadili mereka yang menyelewengkan rakyat,” tegasnya.
Tuntutan: Pencabutan hingga Pertanggungjawaban
Dari diskusi tersebut, muncul tiga tuntutan utama: pencabutan kebijakan yang merugikan rakyat (terutama Omnibus Law), gagasan “Indonesia Baru”, dan pertanggungjawaban pemerintah.
Para aktivis sepakat bahwa demokrasi prosedural sudah tidak cukup. “Kita harus mencari cara terbebas dari politik oligarki, bebas dari ketimpangan ekonomi dan sosial, bebas dari penderitaan,” tegas Luna.
Evaluasi keras ini menunjukkan bahwa satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran dinilai gagal memenuhi janji kesejahteraan, dengan masyarakat sipil yang kian terdesak di berbagai sektor—dari ekonomi, ketenagakerjaan, hingga agraria.
Diskusi dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat sipil, termasuk akademisi, serikat buruh, gerakan tani, aktivis perempuan, dan mahasiswa dari berbagai kampus.*