Jakarta (parade.id)- Ganjar Pranowo, calon presiden (capres) dengan nomor urut 3, menyampaikan pengalaman dan program di debat capres pertama. Pertama-pertama, ia menyampaikan bagaimana pengalaman kampanye awal, yang dibuka di timur dan barat Indonesia.
“Saya dan Pak Mahfud mulai memulai perjalanan saat pembukaan kampanye, dari ujung timur Indonesia dan barat, dari Sabang sampai Merauke, hanya ingin mendengarkan dan ingin meliihat secara langsung, apa yang disampaikan oleh rakyat. Apa yang dirasakan oleh rakyat, sehingga ketika kontestasi lima tahunan ini berlangsung harapan itu ada. Dan masuk dalam pikiran seorang pemimpin. Satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan. Ini sesungguhnya yang sangat penting,” ia mulai bercerita, saat menyampaikan visi misi debat pertama capres, kemarin malam.
“Di Merauke kami menemukan pendeta, namanya Pak Leo. Dia harus menolong seorang ibu yang ingin melahirkan karena tidak adanya fasilitsa kesehatan—dan ia hanya berlajar dari YouTube. Sesuatu hak kesehatan yang tidak bisa didapat. Maka kita sampaikan kepada pendeta Leo, ‘Kami akan bangunkan itu. Dan kami akan kerahkan seluruh Indonesia, bahwwa satu desa satu puskesmas dengan satu nakes yang ada’,” katanya kepada pendeta Leo.
Kemudian pengalaman lainnya, di mana oleh cawapresnya, Prof Mahfud MD, kata Ganjar, Menko Polhukam itu bertemu dengan para guru, termasuk guru agama.
“Di Sabang sana, ada guru agama di sana—kita ingin membangun Indonesia yang hebat dengan SDM yang unggul tetapi apakah kita sudah memperhatikan mereka? Tentu kemajuan yang selama ini ada, mesti kita lakukan jauh lebih cepat. Lebih sat set. Dan perhatian itu mesti diberikan dan itulah di sana kita memperhatikan nasib para guru, termasuk para guru agama—insentif untuk mereka kita berikan agar mereka bisa mengajarkan budi pekerti yang luhur dengan moderasi agama yang ada,” ungkapnya.
Namun kata Ganjar, cerita ini belum cukup. Ia kemudian bercerita ketika berjalan ke NTT. Di sana ia mengaku bertemu dengan masyarakat yang ada di sana, anak muda, yang mengeluhkan akses pekerjaan.
“‘Pak Ganjar, kenapa kami anak muda tidak mudah mendapat akes pekerjaan? Padahal itu hak kami? Kenapa kemudian kami mendapatkan kesulitan untuk akses internet, padahal kami butuh belajar? Tidak sama dengan yang di Jawa’,” Ganjar bercerita.
“Catatan ini lah yang mendorong pikiran kami, internet gratis untuk para siswa yang sedang bersekolah. Agar mereka punya kesamaan dengan kita semua yang di Jawa ini,” ia melanjutkan.
Ia kembali melanjutkan ceritanya ketika berada di NTB. Di sanna, ia mengaku bertemu penyandang disabilitas.
“Betapa bahagianya saya, ketemu dengan orang yang berjuang dengan keras. Agar dia bisa setara dan pemerintah mesti memperhatikan mereka untuk memberikan kesetaraan pada mereka itu,” ia mengingatkan.
Di Kalimantan ia menemukan masyarakat dayak, yang meminta agar dilibatkan agar mendapatkan akses sama
“Semua ini bisa berjalan kalau kemudian pemerintahnya bersih. Pemerintahannya bisa akomodatif dan kita sikat korupsi itu tidak dengan kata-kata—dengan keseriusan. Pak Mahfud adalah mitra saya, yang selama ini sebagai Menko mengeksekusi itu dengan baik. Kita akan lakukan itu. Kami mohon dukungan rakyat. Perintahkan kami untuk mengerjakan itu,” kata Ganjar.
Cerita lainnya, soal demokrasi dalam hal penyampaian pendapat dan apa yang dialami oleh mereka yang menyampaikan.
“Tapi Bapak/Ibu, saya mendengar ketika demokratitasi mesti berjalan dan demokrasi mesti kita jaga bersama, ada Ibu Sinta yang ketika menyampaikan pendapat harus berurusan dengan aparat keamanan. Ada Melky, Ketua BEM yang kemudian ibu harus diperiksa. Maka yang seperti ini harus usai. Dan mereka bisa mendapatkan kebaikan-kebaikan kalau government terjadi,” kata dia.
(Rob/parade.id)