Jakarta (parade.id)- Gerakan Aksi Umat Melawan Ketidakadilan (GAUM-K) memberikan ultimatum keras kepada Presiden Prabowo Subianto: bersihkan pemerintahan dari pengaruh mantan Presiden Joko Widodo dan “geng Solo”-nya sebelum 20 Oktober 2025, atau bersiap menghadapi gerakan rakyat ala Nepal.
Dalam konferensi pers yang berlangsung di Bandung, Sabtu (27/9/2025), dan dihadiri tokoh dari Jakarta, Yogyakarta, Solo, Surabaya, para aktivis dan akademisi menyampaikan 14 poin tuntutan dengan nada mengancam. Mereka menegaskan bahwa pengadilan terhadap Jokowi menjadi satu-satunya benchmark keseriusan Prabowo dalam memberantas korupsi.
Pakar hukum Refly Harun selaku juru bicara GAUM-K menyatakan tegas, “Adili Jokowi adalah benchmark dari keberhasilan pemberantasan korupsi di era pemerintahan Prabowo Subianto.” Ia memberikan batas waktu satu tahun kepada Prabowo untuk membersihkan pemerintahan dari pengaruh mantan presiden ketujuh RI.
Muhammad Said Didu dengan lantang menuduh terjadinya “surga koruptor” selama rezim Jokowi berkuasa. “Puncak korupsi terbesar terjadi di pemerintahan Jokowi dan hampir semua korupsi yang terungkap itu terafiliasi ke Jokowi,” ungkapnya.
Didu menyebut deretan kasus korupsi besar mulai dari Jiwasraya, Asabri, Taspen, Sritex, hingga kebangkrutan BUMN dengan kerugian “ribuan triliun rupiah” – bukan lagi ratusan triliun. Semua kasus ini, menurut Didu, dikuasai oleh “geng Solo.”
“Sangat susah dibantah bahwa orang-orang di sekitar Jokowi yang seakan-akan bebas melakukan korupsi. Mohon maaf, memang pelakunya dari sana,” kata Didu sambil tertawa sinis.
Marwan Batubara memberikan peringatan keras dengan menyebut potensi “nepalisasi” Indonesia jika Prabowo gagal menindak pusat korupsi. “Rakyat Indonesia sudah belajar dari generasi Z-nya Nepal dan pidato Presiden Kolombia. Kami butuh pemimpin yang keras seperti Presiden Kolombia saat pidato di PBB,” tegasnya.
Sementara Ubedillah Badrun menyatakan Indonesia berada dalam “situasi sangat terpuruk” akibat korupsi yang meraja lela. “Jangan salahkan publik, jangan salahkan rakyat, jangan salahkan generasi Z, jangan salahkan kaum cendekiawan jika kami menemukan cara sendiri menyelesaikan persoalan bangsa,” ancam Ubed, sapaan akrabnya.
Dalam poin paling ekstrem, Anthony Budiawan menyatakan kejahatan korupsi era Jokowi, terutama saat pandemi dan yang memfasilitasi judi online, “tidak bisa dimaafkan lagi.”
“Kalau ini semua terbukti bahwa Jokowi terlibat, maka saya rasa hukumannya hanya satu, yaitu hukuman mati,” ujar Anthony dengan tegas.
Pernyataan serupa diperkuat tokoh agama yang hadir, “Jangan bimbang dan ragu. Tegakkan hukum atas nama Allah, insyaallah akan diberikan perlindungan oleh Allah. Tetapi kalau takut ragu-ragu justru nanti akan dimurkai Allah.”
Dr. Tifa mengungkap akan menyusun “kompilasi daftar kejahatan” dalam bentuk buku saku PDF yang mencantumkan nama-nama pelaku, termasuk puluhan menteri yang masih dipertahankan Prabowo.
“Ada puluhan menteri yang terlibat yang sekarang masih dipertahankan oleh Prabowo yang seharusnya segera dipecat, dimutasikan atau di-reshuffle,” tegasnya.
Rizal Fadilah menuntut pemberhentian Kapolri Listyo Sigit Prabowo sebagai indikasi keseriusan pemerintah merespon pandangan dunia tentang Jokowi sebagai “kepala negara korup.”
GAUM-K juga menyoroti penanganan kasus Bobby Nasution, menantu Jokowi. “Hakim sudah memanggil Bobby, padahal seharusnya KPK yang memeriksanya terlebih dahulu. Ada indikasi besar dia terlibat tindak pidana korupsi di Sumatera Utara,” ungkap salah satu peserta.
Hatta Taliwang menuntut Prabowo melakukan “revolusi konstitusional” dengan menggunakan seluruh kewenangannya untuk perubahan radikal, termasuk reformasi kepolisian dan pencabutan Omnibus Law.
Taufik menegaskan perlunya tekanan kepada seluruh penegak hukum – Kejaksaan Agung, KPK, dan Polri. “Isu ini tidak akan bermakna kalau tidak ada tekanan,” jelasnya.
14 Poin Ultimatum
GAUM-K merangkum 14 poin tuntutan mereka:
- Deadline 20 Oktober 2025 untuk Prabowo tunjukkan keseriusan
- Mengadili Jokowi sebagai benchmark pemberantasan korupsi
- Fokus pada korupsi era Jokowi sebagai puncak kerusakan
- Kepercayaan bersyarat pada Prabowo
- Dokumentasi state corporate crimes Jokowi
- Edukasi publik untuk kesadaran “nepalisasi”
- Respons cepat KPK terhadap kejahatan rezim Jokowi
- Pemberhentian Kapolri Listyo Sigit
- Pencabutan Omnibus Law
- Revolusi konstitusional dan perubahan radikal
- Tekanan pada penegak hukum
- Hukuman mati untuk kejahatan masa pandemi dan judi online
- Penegakan hukum tanpa kompromi
- Proses hukum Bobby Nasution
Refly Harun menutup konferensi pers dengan pernyataan tegas: “Apabila Prabowo betul-betul mau memberantas korupsi, benchmark-nya adalah dia harus menyentuh, menangkap, dan mengadili Jokowi beserta keluarganya. Tanpa itu, pemberantasan korupsi Prabowo hanya omong-omong saja.”
“Apabila tidak diindahkan, jangan salahkan apabila rakyat Indonesia bergerak seperti yang terjadi di Nepal,” ancam Refly.
GAUM-K juga mengumumkan rencana aksi dukungan ke kantor KPK pada 2 Oktober mendatang, menandai eskalasi tekanan politik terhadap pemerintahan Prabowo yang baru berjalan kurang dari setahun.
Kemarahan rakyat sudah dahsyat, demikian penutup laporan dari lokasi yang menyiratkan potensi gejolak politik jika tuntutan tidak dipenuhi dalam deadline yang ditetapkan.*