Jakarta (parade.id)- Indonesia akan kembali menghadapi sorotan tajam dalam perundingan global tentang perjanjian plastik, khususnya pada sesi lanjutan Intergovernmental Negotiating Committee (INC 5.2) di Jenewa, Swiss, pada 5 Agustus 2025 mendatang. Jelang momen krusial tersebut, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menggelar media briefing bertajuk “Menyoroti Peran Indonesia di INC‐5.2: Menuju Perjanjian Plastik yang Kuat dan Adil” yang mengungkap kekhawatiran mendalam atas posisi dan sikap Indonesia yang dinilai masih belum optimal.
Para pakar lingkungan dan jurnalis senior yang menjadi pengamat dalam negosiasi ini menyoroti pentingnya Indonesia mengambil peran aktif dalam merumuskan perjanjian plastik yang komprehensif, mencakup seluruh siklus hidup plastik dari hulu hingga hilir. Isu transparansi bahan kimia beracun dalam plastik dan aspek kesehatan menjadi poin krusial yang ditegaskan harus menjadi prioritas.
Yuyun Ismawati, Senior Advisor AZWI, menyoroti lambatnya kemajuan dalam perumusan perjanjian global plastik. Ia menegaskan, idealnya isu kesehatan sudah menjadi bagian pembahasan sejak INC ketiga. Namun, strategi beberapa negara produsen, seperti Arab Saudi, yang lebih memilih fokus pada perubahan iklim, telah menunda diskusi vital ini hingga INC keempat.
“Idealnya, draf teks mengenai isu kesehatan sudah dimunculkan sejak INC ketiga. Tapi karena strategi beberapa negara produsen seperti Saudi Arabia yang lebih memilih fokus pada perubahan iklim, maka diskusi tentang kesehatan tertunda hingga INC keempat,” tegas Yuyun dalam keterangannya baru-baru ini.
Yuyun memprediksi tantangan serupa akan kembali terjadi di INC 5.2, terutama dengan adanya Ministerial Meeting tiga hari yang akan memotong waktu negosiasi. Pertemuan ini, menurut Yuyun, tidak akan banyak berpengaruh pada teks negosiasi dan bahkan tidak mengizinkan observer untuk hadir.
Lebih lanjut, Yuyun juga menekankan pentingnya mempertahankan substansi pada beberapa pasal kunci dalam Chair Text, seperti Pasal 5 (sektor prioritas bebas zat berbahaya), Pasal 6 (produk berkelanjutan), Pasal 7 (emisi dan pelepasan), dan Pasal 19 (aspek kesehatan), agar tidak kehilangan esensinya dalam dokumen akhir perjanjian.
Kekhawatiran akan sikap Indonesia juga disuarakan oleh Ibar Akbar, Zero Waste Campaigner dari Greenpeace Indonesia. Ibar menyoroti ketidakselarasan antara pernyataan pemerintah di dalam negeri yang terkesan vokal menyuarakan pengurangan produksi plastik, dengan sikap delegasi Indonesia di forum internasional seperti INC-5 di Busan dan UN Ocean Summit yang terlihat netral, bahkan pasif.
“Indonesia terlihat netral bahkan pasif dalam forum seperti INC-5 di Busan dan UN Ocean Summit. Padahal semangat Menteri LH di dalam negeri sangat kuat menyoroti pengurangan produksi plastik,” ungkap Ibar.
Ibar juga menyayangkan minimnya komitmen nyata Indonesia terhadap sistem Extended Producer Responsibility (EPR). Ia menilai, jika Indonesia serius menangani pengurangan plastik, peta jalan dan regulasi seharusnya lebih menyasar pengurangan dari sumber, bukan hanya daur ulang.
Rahyang Nusantara, Deputy Director Dietplastik Indonesia, menyoroti minimnya perhatian terhadap sistem guna ulang (reuse) dalam perundingan sebelumnya. Ia mengungkapkan, meskipun negara-negara seperti Filipina dan Bangladesh mulai mendorong isu ini, dukungan yang ada masih lemah.
Dietplastik, kata Rahyang, telah menyampaikan urgensi penguatan regulasi guna ulang kepada pemerintah. Ia berharap sistem guna ulang dapat diberlakukan di sektor bisnis lain seperti rumah tangga, kosmetik, hingga makanan. Rahyang optimis Indonesia bisa menjadi pelopor sistem reuse, mengingat sudah banyak startup lokal yang mengusung konsep ini dan telah bekerja sama dengan Dietplastik Indonesia, seperti Alner, Kecipir, dan BALIKIN.
Sebagai langkah konkret, Rahyang mengumumkan peluncuran Asosiasi Guna Ulang pada 25 Juli di Senayan. Ini adalah upaya untuk membangun ekosistem reuse yang lebih solid dan terkoordinasi. “Ekonomi bersih reuse harus didorong. Biaya eksternal akibat saset dan plastik sekali pakai, termasuk biaya kesehatan, bisa jauh lebih mahal,” jelas Rahyang.
Jurnalis Senior Kompas, Ahmad Arif, menyampaikan keprihatinannya terhadap minimnya liputan media nasional mengenai dampak struktural dan kebijakan soal plastik. Ia menilai, meskipun sudah banyak liputan tentang isu sampah plastik, narasi mengenai upaya penanganan dan pengurangan sampah masih jarang diberitakan.
Arif juga menyoroti ketidaksesuaian narasi media dengan realitas negosiasi di INC-5 Busan, Korea Selatan. Minimnya pemberitaan berimbang disebabkan oleh rendahnya keberpihakan media serta jumlah rilis dari organisasi masyarakat sipil yang masih kalah banyak dibandingkan pemerintah.
Kekecewaan ini bahkan mendorong Arif untuk merilis narasi berjudul “Pada Akhirnya Indonesia tidak memilih Planet, namun memilih plastik” di Kompas, yang menuai respons signifikan dari berbagai kalangan, termasuk pemerintah. Hal ini membuktikan peran penting media dalam mengawal dan mengkritisi posisi Indonesia dalam perundingan global.
Menjelang INC-5.2 di Jenewa, jaringan masyarakat sipil seperti AZWI diharapkan dapat berkolaborasi erat dengan jurnalis untuk memastikan informasi di lapangan tersampaikan secara akurat dan berimbang. Sikap Indonesia di perundingan nanti akan menjadi cerminan komitmen nyata dalam menghadapi krisis plastik global.*