Jakarta (parade.id)- Kala Polisi dan Militer Kembali ke Politik dikritisi termasuk tema diskusi publik yang diselenggarakan Nurani 98 pada hari ini, Kamis (19/2/2025), di Komunitas Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur. Ada lima narasumber pada diskusi itu.
Adapun narasumbernya yaitu: Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Kepala Divisi Impunitas Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jane Rosalina Rumpia, pengamat politik Ray Rangkuti, akademisi Ubedilah Badrun, dan pengamat militer Al Araf. Masing-masing memberi pandangannya atau komentar seputar tema yang diusung dalam diskusi.
Kesempatan pertama memberikan pandangan adalah Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Dalam pandangannya, dengan tema yang diusung, ia mengaku merasa seperti kembali ke memorial, kenangan masa silam yang kelam ketika militer masuk politik. Terjadi pada masa Orde Baru.
“Dimana sistem Pemerintahan Politik Indonesia dikendalikan oleh militer,” ujarnya.
“Rasa itu bisa dirasakan lewat banyak perspektif informasi tentang militer yang masuk politik,” imbuhnya.
Usman mengimbau agar hal itu (militer masuk politik) dicegah. Kecuali kata dia, posisi militer sesuai dengan pertahanan.
Hal yang hampir sama disuarakan Kepala Divisi Impunitas Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jane Rosalina Rumpia yang menyinggung gender.
Menurut dia, di militer (masuk politik), ke depan akan memperburuk gender. Didominasi pria. Akan dimunculkan maskulinitas.
“Gaya-gaya militer memperburuk ketimpangan sosial,” kata dia.
Pengamat politik Ray Rangkuti pun demikian. Ia mengingatkan tegas agat militer tidak masuk ke dalam politik.
Dalam peringatan itu, Ray menyinggung masa kelam sejarah 98. Kita ingatkan jangan bawa militer ke dunia politik. Ingat peristiwa 98 menjadi pelajaran ke militer dan polisi,” kata Ray.
“Tentara sudah cukup bagus image-nya di masyarakat belakangan ini. Itu karena tidak terlibat aktif dalam cawe politik. Jika sebaliknya maka akam terjadi crash,” tambahnya memperingatkan.
Akademisi Ubedilah Badrun tak ketinggalan. Ia juga mengingatkan agar polisi, juga militer tidak masuk ke dalam politik. “Tidak boleh keduanya dilibatkan pada posisi sipil. Itu penting. Kita sama seperti di ujung. Mundur ke belakang,” ia mengingatkan.
Ubed tolak militer (dan polisi) masuk politik karena secara historis negara akan rusak, demokrasi rusak, bahkan bisa membuat ribuan manusia terbunuh. Ia singgung soal kemanusiaan. Tidak ingin terulang lagi.
Menurut Ubed, yang pernah dialami adalh masa kelam. “Maka keduanya harus pada tempatnya sesuai UU yang ada,” tekannya.
“Kita tolak karena secara UU tidak dapat dibenarkan. Coba saja cek tentang tentara dan polisi. Pun UU ASN. Di sana menutup celah militer dan polisi sepenuhnya,” ungkapnya.
Namun menurut pengamat militer, Al Araf, narasi militer masuk ke dalam politik ada faktornya, seperti faktor geopolitik. Sampai-sampai ada yang menyebutnya sebagai tentara politik.
Ada beberala faktor yang menurutnya mempengaruhi militer masuk ke dalam politik. Pertama historis. “Indonesia belum keluar dari itu (tentara rakyat) sehingga tidak heran militer berpolitik,” katanya.
Kedua adalah doktrin buat militer masuk politik. Ketiga faktor ancaman. “Sepanjang ada ancaman maka tentara harus berpolitik,” terangnya
Keempat adalah otoritas sipil. Pertama kali di era Sukarno. Ada dewan nasional. Tapi semua itu kata dia berdampak ke profesional mereka. Terganggu. Padahal tentara dididik perang.
“Sementara mestinya seperti polisi melayani masyarakat. Ini malah sebaliknya. Dampak lainnya mengganggu birokrasi sipil. Terjadi di negara kekuasaan,” tandasnya.
(Rob/parade.id)