Jakarta (parade.id)- Kematian Aprikel Fisian Colling, pekerja Kru Electric Furnace-Produksi PT Karunia Permai Sentosa (KPS), membuka kembali persoalan laten keselamatan kerja di kawasan industri pertambangan nikel yang terafiliasi dengan Grup Harita. Insiden yang terjadi pada Kamis, 11 Desember 2025, di area material panas jalur konveyor, kini berbuntut somasi hukum dari Aliansi Pemuda Peduli Pekerja Lingkar Tambang (AP3LT) Indonesia.
Dalam dokumen somasi bernomor 001/AP3LT/SOM/K3/2025, AP3LT mengungkap adanya indikasi kuat kelalaian sistemik, mulai dari dugaan pelanggaran prosedur K3, ketidaksesuaian penggunaan tenaga kerja asing (TKA), hingga inkonsistensi informasi resmi yang disampaikan ke publik.
Identitas Korban dan Titik Masalah Tanggung Jawab
Hasil penelusuran AP3LT menunjukkan korban terdaftar secara resmi sebagai pekerja PT KPS, berdasarkan kartu identitas perusahaan. Namun, pernyataan publik yang dikeluarkan pihak Harita Nickel menyebutkan insiden terjadi di wilayah operasional mereka, tanpa penjelasan rinci mengenai hubungan kerja dan rantai tanggung jawab antara entitas dalam grup perusahaan.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar: siapa pihak yang bertanggung jawab langsung atas keselamatan korban saat kejadian?
“Ketidakjelasan ini berpotensi mengaburkan tanggung jawab hukum dan memperlambat keadilan bagi keluarga korban,” demikian keterangan tertulis Ketua AP3LT, Vikri kepada media, Senin (22/12/2025).
Kronologi yang Tidak Sinkron
Investigasi awal AP3LT menemukan adanya perbedaan waktu kejadian yang signifikan. Informasi lapangan menyebut insiden terjadi sekitar pukul 11.00 WIT, sementara pernyataan resmi Harita Nickel menyebut pukul 14.30 WIT. Lebih jauh, keluarga korban baru menerima pemberitahuan sekitar pukul 16.00 WIT.
Perbedaan kronologi ini menimbulkan dugaan adanya keterlambatan pelaporan kecelakaan kerja, yang secara hukum dapat melanggar ketentuan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2025.
Dugaan Pengoperasian Alat Bor oleh TKA
Salah satu temuan krusial dalam somasi AP3LT adalah dugaan pengoperasian alat bor oleh Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China yang tidak sesuai prosedur keselamatan. Dugaan ini diperkuat oleh laporan sumber internal dan pemberitaan media daring, yang menyebut adanya aktivitas pengeboran sebelum insiden terjadi.
Jika terbukti, hal ini tidak hanya menyangkut aspek K3, tetapi juga kepatuhan terhadap regulasi penempatan dan pengawasan TKA, termasuk keberadaan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) serta kewajiban alih teknologi dan pengawasan ketat.
Minim APD dan Zona Bahaya
Dokumentasi foto yang diklaim AP3LT memperlihatkan korban berada di zona material panas tanpa perlengkapan APD yang memadai. Area tersebut dikategorikan sebagai zona risiko tinggi, yang seharusnya menerapkan standar pengamanan berlapis.
Temuan ini memperkuat dugaan bahwa sistem pengawasan K3 tidak berjalan efektif, baik oleh perusahaan utama maupun subkontraktor yang terlibat.
Potensi Pelanggaran Berlapis
AP3LT mencatat dugaan pelanggaran terhadap sejumlah regulasi, antara lain:
- UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
- PP Nomor 82 Tahun 2019 tentang K3
- PP Nomor 44 Tahun 2015 tentang TKA
Jika kelalaian terbukti menyebabkan kematian, pihak-pihak terkait berpotensi dijerat Pasal 359 KUHP.
Desakan Audit Independen dan Penghentian Operasional
Dalam somasinya, AP3LT mendesak penghentian sementara aktivitas kerja di area kejadian hingga proses investigasi menyeluruh dilakukan. Mereka juga menuntut keterlibatan tim independen, yang terdiri dari Dinas Tenaga Kerja setempat, serikat pekerja, serta ahli K3 independen.
Selain itu, perusahaan diminta membuka dokumen penting, termasuk kontrak kerja sama, bukti pelatihan K3, RPTKA, serta laporan investigasi internal.
“Kami menunggu klarifikasi resmi dari PT Karunia Permai Sentosa dan Harita Nickel terkait dugaan kelalaian, perbedaan kronologi, serta status hukum para pihak yang terlibat,” tandas Vikri.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa keselamatan kerja di sektor pertambangan bukan sekadar formalitas, melainkan kewajiban hukum dan moral. Tanpa transparansi dan akuntabilitas, tragedi serupa berpotensi terus berulang.
Hingga berita ditayangkan, belum ada tanggapan dari PT Karunia Permai Sentosa dan Harita Nickel terkait dugaan yang dimaksud AP3LT. Keterbatasan redaksi juga membuat belum terklarifikasinya dugaan yang dimaksud AP3LT.***










