Jakarta (parade.id)- Ketua Presidium Koalisi Ojol Nasional (KON) Andi Kristiyanto menyebut kebijakan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada ojek online (ojol) rentan picu konflik.
“Kenapa demikian? Pasalnya, jika dipaksakan dan diterapkan maka mau tidak mau perusahaan aplikator juga akan menekan ojol dengan berbagai kebijakannya yang tentunya sangat menguntungkan perusahaan aplikasi untuk bisa menarik kembali dana yang telah dikeluarkan untuk THR ojol. Sedangkan di sisi lain, ojol akan menjadi korban eksploitasi Kembali dari ekosistem bisnis perusahaan aplikator, yang ingin modalnya Kembali karena di paksa memberikan THR kepada ojol,” kata Andi kepada media, Ahad.
“Kalau Kemenaker jadi membuat peraturan mengenai keharusan perusahaan aplikator memberikan THR kepada Ojol, apakah Kemenaker dapat bertanggung jawab terhadap dampak yang akan muncul di kemudian hari bagi para mitra ojol?” tanya Andi tambah.
Menurut Andi, jika memang belum siap alangkah baiknya keputusan dan pembahasaan mengenai THR dihentikan dan sebaiknya pemerintah bersama DPR RI fokus pada pembuatan UU.
Menyoal di atas kata dia, agar pengakuan negara terhadap status ojol dan juga sebagai pelaku usaha transportasi digital untuk melindungi kepentingan ojol sebagai warga negara yang secara konstitusi berhak mendapatkan perlindungan dari negara.
Andi menilai sangat aneh kalau ada pihak tertentu yang memanfaatkan ojol untuk mendesak pemerintah, agar pemerintah mendesak perusahaan aplikator memberikan THR kepada para ojol, dan tuntutan itu sama sekali di luar nalar, dan pasti ditolak oleh perusahaan aplikator.
“Namun jika bentuk Bantuan Hari Raya memang sudah diberikan oleh para aplikator dengan kebijakan atau metode yang berbeda-beda melalui program yang mereka buat,” ungkap Andi.
Sebelumnya Andi mengatakan rasanya sangat sulit bagi perusahaan berbasis e-commerce seperti Gojek, Grab, Maxim dan lainnya memenuhi tuntutan mitra driver ojol yang menginginkan THR—perusahaan e-commerce atau disebut aplikator, bisa memenuhi tuntutan itu jika mereka berstatus sebagai perusahaan transportasi.
“Jika kami sebagai mitra aplikator (driver) diperlakukan seperti pegawai, punya upah minimum, THR, dan jaminan lainnya, maka para aplikator itu harus jadi perusahaan transportasi, bukan lagi perusahaan yang berbasis e-commerce. Namun kenyataannya dari dulu para aplikator tidak mengakui bahwa bisnisnya bergerak dibidang transportasi,” kata Andi.
Menurut Andi, perusahaan aplikator dari awal sudah menyatakan sebagai perusahaan e-commerce dengan karakteristik utamanya adalah dikelola secara virtual dengan minimum pegawai tetapi jaringannya luas, serta memanfaatkan teknologi IT yang bebas pajak sehingga dengan izin sebagai perusahaan e-commerce, mereka tidak perlu menyediakan armada transportasi.
Tidak hanya itu, kata Andi, agar tidak ada tuntutan upah, mereka menerapkan sistem kemitraan yang bagi hasilnya bukan atas kesepakatan bersama, melainkan sudah di tetapkan dan dipaksakan untuk disetujui oleh para ojol yang bermitra dengan perusahaan aplikator tersebut.
(Rob/parade.id)