Jakarta (parade.id)- Panitia Khusus (Pansus) Penyelesaian Konflik Agraria yang dibentuk DPR RI pada 2 Oktober 2025 dinilai hanya menjadi “pajangan” tanpa kerja nyata. Pasca reses DPR pada 3 November, Pansus beranggotakan 30 orang dari 8 fraksi itu belum menunjukkan upaya serius menangani konflik agraria struktural yang telah berlangsung puluhan tahun.
“Sampai hari ini kita masih belum melihat ada upaya-upaya percepatan bagaimana Pansus ini akan mulai bekerja dalam konteks memanggil para pihak, terutama kementerian dan lembaga,” ujar Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam konferensi pers di Jakarta, Ahad (16/11/2025).
Dewi menegaskan, konflik agraria tidak bisa lagi ditangani dengan pendekatan case by case atau model “pemadam kebakaran” yang hanya bereaksi ketika sudah ada korban dan demonstrasi besar-besaran.
“Pendekatannya tidak bisa lagi kasuistik. Akar masalahnya tidak pernah diselesaikan. Rata-rata kasus konflik agraria baru selesai setelah 25-30 tahun,” katanya.
KPA mencatat, jika puluhan ribu kasus konflik agraria hanya diselesaikan case by case, dibutuhkan ribuan tahun untuk menuntaskannya. Sementara itu, konflik terus bertambah akibat proyek-proyek pembangunan yang masih berpihak pada korporasi skala besar.
Di Dairi, Sumatera Utara, puluhan masyarakat adat dan petani baru-baru ini ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan kampung mereka. Konflik dengan perusahaan Toba Pulp Lestari di Tano Batak juga tidak kunjung mendapat respons memadai dari pemerintah.
Rocky Pasaribu dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Sumut menambahkan, Sumatera Utara menjadi salah satu provinsi dengan konflik agraria terbanyak. “Belum selesai kasusnya Sorbatua, kemudian sudah muncul desa-desa lain yang mengalami kejadian serupa,” ujarnya.
Bahkan beberapa komunitas masyarakat adat yang sudah mendapat SK pengakuan ternyata belum bisa berdaulat atas wilayahnya karena terhambat peraturan turunan seperti pengukuhan dan penataan batas.
Pansus Penyelesaian Konflik Agraria sebenarnya lahir dari aspirasi petani saat Hari Tani Nasional 24 September 2025. KPA berharap Pansus bisa menjadi “jalan politik” untuk menyelesaikan akar persoalan secara menyeluruh, bukan sekadar mengulang pola lama yang tidak efektif.
“Pansus ini harus bekerja sebagai balancing power, mengawasi kinerja Presiden, kinerja eksekutif, dan kementerian-kementerian terkait,” tegas Dewi.
Namun hingga kini, tidak ada tanda-tanda Pansus memanggil dan mempertanyakan progres pelaksanaan reforma agraria kepada kementerian dan lembaga terkait. KPA mendesak Pansus segera bekerja dan tidak lagi menunda-nunda, mengingat konflik agraria sudah terakumulasi dari Aceh sampai Papua.







