Jakarta (parade.id)- Forum refleksi “Maju Mundur Tuntutan Reformasi 98” yang digelar Rumah Pulang Indonesia pada Rabu (26/11/2025) menampilkan kritik tajam dari para aktivis lintas generasi terhadap perjalanan reformasi Indonesia. Acara yang mempertemukan aktivis angkatan 78, 80, dan 98 dengan Generasi Z ini menyingkap kekecewaan mendalam atas gagalnya agenda reformasi mewujudkan cita-cita 1998.
Tren Mengerikan: Dari 20 Kota ke 173 Kota
Agung, aktivis 98, memaparkan data mengejutkan tentang eskalasi demonstrasi di Indonesia. “Tahun 98 terjadi 20 demonstrasi plus kerusuhan di 20 kota besar. Sekarang, kerusuhan Agustus 2025 terjadi di 173 kota menurut Lab 45 dan Media Monitoring Drone Emprit,” ungkapnya.
Data resmi Kementerian Dalam Negeri yang hanya mencatat 107 kota, menurut Agung, adalah “bohong”. Ia mencatat perkembangan mengkhawatirkan: reformasi dikorupsi 2019 di 22 kota, Gejayan Memanggil 2020 di 25 kota, tolak Presiden 3 Periode 2022 di 40 kota, hingga puncaknya kerusuhan Agustus 2025 di 173 kota.
“Bara api di bawah karpet sudah menjadi lautan. Sekali pantik, akan jadi letupan luar biasa. Dan bukan lagi reformasi yang akan terjadi,” tegasnya, menyinggung teriakan “revolusi” yang terus bergema dalam setiap aksi.
“Bencana Demografi”, Bukan Bonus
Jumhur Hidayat, Ketua Umum KSPSI dan aktivis 80, membantah narasi bonus demografi yang selama ini dikampanyekan pemerintah.
“Faktanya sekarang kita sedang mengalami bencana demografi. Gen Z ada 10 juta dalam keadaan NEET – Not in Employment, Education and Training. Artinya nganggur,” jelasnya.
Ia memperingatkan bahwa kondisi ini menciptakan potensi kemarahan tinggi. “Perut tidak bisa menunggu. Kawal ide-ide kerakyatan, antidemokrasi, yang bisa menyelamatkan Gen Z. Kalau salah diiluminasi dari pemerintahan ke pemerintahan, yang ada generasi emas jadi generasi hancur-hancuran.”
Jumhur bahkan memberikan skenario fiksi mengerikan tentang ancaman kedaulatan 20 tahun ke depan akibat kecerobohan pemimpin saat ini, menggambarkan Indonesia yang bisa dikontrol negara asing melalui ancaman nuklir yang diselundupkan lewat bandara yang tidak terintegrasi dengan sistem keamanan negara.
Manipulasi Digital: “Adili Soeharto” Jadi “Turunkan Soeharto”
Agung juga mengungkap temuan mengejutkan soal manipulasi sejarah digital. “Seminggu lalu, kalau kita searching di Google atau AI tentang Tuntutan Reformasi 1998, yang muncul adalah ‘Adili Soeharto’. Tapi seminggu kemudian, menjelang acara ini, yang muncul jadi ‘Turunkan Soeharto’,” ungkapnya.
Ia menduga perubahan ini dilakukan oleh “penguasa atau konglomerasi” terkait dengan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, meski ia menekankan perlunya sikap adil dengan menimbang “dosa dan jasa”.
Dwifungsi ABRI Kembali Menguat
Kritik tajam juga dilontarkan terhadap kebangkitan kembali peran militer dalam pos sipil. Agung mencatat pemerintah baru saja merevisi UU TNI yang menambah pos jabatan sipil yang bisa diduduki militer dari 10 menjadi 16 posisi, sekaligus menaikkan usia pensiun jenderal menjadi 63 tahun.
“Padahal menurut Kapuspen TNI, ada ratusan perwira tinggi yang tidak memiliki jabatan. Gen Z tidak usah bermimpi dapat kerja, karena pos-pos sipil makin didominasi militer dan polisi,” kritiknya.
Kekecewaan Sumiyati: Jenderal Polisi Jadi “Banking-Banking Tambang”
Sumiyati, aktivis 78 yang sudah berjuang sejak usia 14 tahun, mengungkapkan kekecewaannya terhadap hasil pemisahan Polri dari TNI yang pernah diperjuangkannya. “Ketika polisi sudah berpisah dari tentara, itu lebih tidak terpikir lagi, sudah luar biasa. Kami kecewa karena kami ikut ada di dalam gerakan untuk memisahkan itu,” katanya.
“Sekarang jenderal-jenderal polisi jadi banking-banking tambang, jadi komisaris, dan aktif tidak pensiun. Ini membuat kami kecewa. Ternyata itu lebih sadis,” tambahnya.
Perempuan yang pernah aktif bersama Ibu-Ibu Suara Peduli pada 1998 ini juga menekankan pentingnya Gen Z memiliki standar hidup layak sambil tetap berjuang. “Saya tidak mau aktivis itu miskin. Aktivis tetap harus punya standar hidup. Minimal punya rumah, punya mobil, walaupun bukan Lamborghini.”
Seruan Jim Lomen: “Mana Sertifikat Negara Ini?”
Jim Lomen Sihombing, aktivis 80, mengangkat isu fundamental tentang identitas bangsa. Ia mengkritik tidak adanya kesepakatan nasional tentang “akte kelahiran” Indonesia. “1928 itu adalah deklarasi Indonesia lahir. Kalau 1928 itu sertifikatnya tidak kita sepakati, maka persoalan kemerdekaan tidak akan selesai,” tegasnya.
“Yang paling mencemaskan adalah kita tidak punya akte kelahiran bangsa negara kita. Itu yang paling berbahaya. Dari pada Xi Jinping, dari pada Trump, itu yang paling berbahaya,” tambah Jim yang juga mengkritik perayaan nasional yang hanya fokus pada 1945, bukan 1928.
Ia menyerukan Gen Z untuk menagih sertifikat negara kepada MPR. “Kami bisa menjawab Indonesia Emas 2045 kalau kita punya sertifikat kapan kita lahir. Dari situ kita negosiasi ulang, mau kita apakan Indonesia ini.”
Kisman: 5.000 Triliun Mengalir ke Luar Negeri Setiap Tahun
Kisman, aktivis 80 dan wartawan senior, mengungkapkan data mengejutkan: “Prabowo pernah menyampaikan data, setiap tahun selama 10 tahun terakhir, ada kekayaan alam kita yang ke luar negeri 5.000 triliun. Ini kapitalisasi kalintar orang. Ini reformasi. Apakah ini yang dibuat reformasi? Saya bilang tidak.”
Ia menekankan perlunya Gen Z belajar kembali tentang budaya, jati diri bangsa, dan ideologi. “Filosofi berbangsa kita itu mendahulukan kepentingan orang lain dan kepentingan bersama.”
Reformasi: Mimpi Basah atau Dicuri?
Ultra, aktivis 80, menolak anggapan bahwa reformasi hanya “mimpi basah”. “Dalam reformasi kita melakukan perubahan mendasar. Terjadi perubahan total dan mendasar dalam pengundangan kita, dalam membangun konstitusi,” jelasnya.
Namun ia mengakui, “Saat dia maju ke depan, saat mulai mengimplementasikan sistem yang benar, itu dicopet. Banyak sekali pencopet terjalan. Banyak sekali orang yang tidak berhak masuk.”
Hanif Thufail: “Mari Kita Buat Sejarah Baru”
Ketua Rumah Pulang Indonesia, Hanif Thufail, dalam sambutannya menegaskan tujuan forum ini bukan mencari kesalahan antar generasi, melainkan belajar dari kesalahan masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik.
“Jika reformasi eranya sudah selesai, biarlah dia selesai. Bagaimana kita membicarakan masa depan dan sejarah baru yang akan kita buat. Jangan sampai sejarah baru yang kita buat terjadi kesalahan seperti yang sudah-sudah,” ujarnya.
“Masa depan yang akan datang itu akan dipegang oleh kami, pemilik masa depan,” tutup Hanif, mewakili suara Generasi Z yang kini mengambil tongkat estafet perjuangan.
Forum refleksi ini menunjukkan bahwa 27 tahun pasca-reformasi, tuntutan enam agenda reformasi 1998 masih jauh dari terwujud sepenuhnya, bahkan beberapa aspek mengalami kemunduran. Para aktivis lintas generasi sepakat bahwa tanpa perbaikan fundamental, Indonesia bisa menuju ke arah yang lebih berbahaya dari sekadar reformasi: revolusi.*








