Jakarta (PARADE.ID)- Puluhan orang yang mengatasnamakan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK)/Aksi Kamisan, hari ini, Kamis (23/6/2022), melakukan aksi damai di depan Istana Negara, Jakarta. Aksi mereka terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Mereka mengkritisinya—menolak adanya RKUHP tersebut. Hal itu sebagaimana yang disampaikan salah satu orator, Rozi, bahwa penolakan itu karena RKUHP itu berbahaya.
Ke depan, kata dia, siapa pun bisa dikriminalisasi jika RKUHP dilanggengkan. RKUHP ini menurutnya juga sebuah bentuk pengekangan demokrasi.
“Ini soal kebebasan kita. RKUHP ini berbahaya,” kata dia.
RKUHP ini kata dia juga berpotensi menjadi “penyesuai” atas hukuman bagi mereka yang melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
“Jika diberlakukan, maka pelanggar HAM berat akan disesuaikan dengan itu (RKUHP),” kata dia.
KRUHP ini kata dia juga tidak memenuhi atau sesuai standar internasional yang ada. Konsepnya salah.
Ia pun mengajak massa agar melawannya dengan kuat.
Sementara itu, menurut pria paruh baya Effendi Saleh, RKUHP ini tidak sesuai dengan amanat UUD 1945. Tidak ada keberpihakan kepada rakyat.
Ia menyebut pemerintah maupun DPR telah melanggar Undang-Undang (UU).
“Soal RKUHP, pembuat UU saat ini, taat kelola negara, di mana menganut paham parlementer— yang membuat UU, juga pemerintah, yang awal melanggar adalah keduanya,” kata dia.
Massa aksi yang datang tidak hanya dari pemuda atau massa yang umumnya aksi kamisan, melainkan juga ada mahasiswanya. Seperti mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Universitas Muhammadiyah, dan lain-lain. Demikian kata Effendi.
Dalam rilis yang mereka bagikan, ada empat tuntutan atau permintaan dari aksi tadi yang ditujukan kepada Presiden Jokowi. Pertama, menghapus pasal-pasa terkait pelanggaran HAM berat serta pasal-pasal yang menciderai kebebasan sipil dan HAM di dalam draf RKUHP.
Kedua, meminta kepada DPR RI untuk secara transparan menjelaskan proses pembahasan RKUHP dan membuka draf terbaru yang dapat diakses oleh publik. Ketiga, memerintahkan Jaksa Agung membentuk Tim Penyidik ad hoc untuk menindaklanjuto berkas perkara pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM sesuai mandat pasal 21 ayat (3) UU 26/2000 tentang pengadilan HAM.
Terakhir, membatalkn mekanisme penuntasan non-yudisial, termasuk tim terpadu yang berpotensi melanggengkan impunitas. Rilis ditandatangani Presidium JSKK: Suciwati, Sumarsih, dan Bedjo Untung.
(Rob/PARADE.ID)