Jakarta (parade.id)- Muh. Imran, Aktivis KAMMI dan Pemerhati Kebijakan Publik, mempertanyakan urgensi pembahasan mekanisme Pilkada lewat DPRD di saat ribuan warga Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sedang berjuang bertahan hidup akibat bencana alam. Menurutnya, wacana ini terasa tidak hanya elitis tetapi juga abai terhadap rasa keadilan publik.
“Di saat rakyat menangis, elite seharusnya bekerja, bukan berwacana demi kepentingannya sendiri,” tegasnya dalam keterangan yang diterima media, Rabu.
Imran menyoroti kontradiksi antara kondisi darurat bencana—di mana korban jiwa terus bertambah dan masyarakat kehilangan tempat tinggal serta akses dasar—dengan kesibukan partai politik membahas perubahan mekanisme Pilkada. Ia menilai negara belum hadir secara maksimal dalam penanganan bencana, bahkan publik disuguhi pernyataan pejabat yang tidak sesuai realitas lapangan, seperti klaim Menteri ESDM soal pemulihan listrik 93 persen di Aceh.
Aktivis ini mempertanyakan siapa sesungguhnya yang diuntungkan dari Pilkada lewat DPRD. Ia menilai mekanisme tersebut secara substansial membatasi hak demokrasi rakyat dengan mengalihkan kedaulatan memilih langsung ke ruang-ruang elite.
“Jika Pilkada diklaim demi efisiensi dan stabilitas, maka pertanyaannya: efisiensi untuk siapa? Stabilitas untuk rakyat, atau stabilitas kekuasaan partai?” tegas Imran.
Imran mendasarkan kritiknya pada survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis 27 Januari 2025. Data tersebut menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 69 persen, menempatkan DPR di peringkat ke-10 dari 11 lembaga negara. Sementara partai politik berada di posisi terbawah dengan kepercayaan hanya 62 persen.
“Dengan modal kepercayaan yang serendah itu, apakah pantas DPR dan partai diberi kewenangan lebih besar untuk menentukan kepala daerah tanpa mandat langsung dari rakyat?” kritik Imran.
Angka tersebut, menurutnya, bukan sekadar statistik melainkan cermin krisis representasi yang menunjukkan DPR dan partai politik masih jauh dari kata representatif terhadap kehendak rakyat.
Imran berpendapat sistem demokrasi langsung yang berlaku saat ini—meski memiliki banyak catatan—masih merupakan instrumen paling rasional untuk menjaga partisipasi dan kedaulatan rakyat dalam Pilkada. Ia menolak pemaksaan wacana Pilkada lewat DPRD tanpa pengujian demokratis dan jujur di ruang publik.
Yang perlu diperkuat saat ini, tegasnya, bukanlah mekanisme yang memusatkan kekuasaan di tangan elite, melainkan integritas partai politik, akuntabilitas DPR, dan kehadiran negara dalam krisis rakyat.
Imran menutup pernyataannya dengan peringatan: “Jika Pilkada lewat DPRD dipaksakan tanpa legitimasi publik, maka yang lahir bukan solusi, melainkan krisis kepercayaan yang lebih dalam. Demokrasi bukan milik partai. Demokrasi adalah hak rakyat.”







