Jakarta (PARADE.ID)- Wakil Ketua Umum DPP PKB Bidang Kaderisasi dan Ideologi, Hanif Dakhiri menyatakan bahwa membumisasikan “Islam Washatiyyah” atau “Islam Moderat” merupakan tanda rasa syukur kita sebagai anak bangsa. Alasannya, bahwa Indonesia merupakan negara bangsa yang dianugerahi oleh Allah SWT dengan berada di tengah-tengah dibanding dengan negara lain.
“Sebagaimana hadits, khairul umuri aushatuha (sebaik-baik perkara adalah yang tegah). Misalnya, kita punya panas tapi tidak terlalu panas, dan kita punya dingin tapi tidak terlalu dingin,” demikian katanya, Sabtu (20/6/2020), ketika menjadi keynote speaker dengan tajuk “Mengukuhkan Islam Washatiyyah dan Pancasila di Tengah Mewabahnya Virus Khilafah Saat Pandemi Covid-19”.
Kalaupun ada orang Indonesia yang memiliki pikiran ekstrim (baik kanan maupun kiri), menurutnya itu sebuah tandanya bahwa dia tidak bersyukur kepada Allah; tidak mengenal jati diri dan negaranya.
“Pancasila itu sudah Islami. Di mana tanahnya ditaruh atau di-daur dengan paham Ahlussunnah wal Jamaah. Seperti Bung Karno saat menggali ide-ide Pancasila, yang kemudian melahirkan sesuatu yang tengah-tengah,” katanya.
Sementara itu, Azyumardi Azra selaku Cendekiawan Muslim Indonesia tampaknya pun senada dengan Hanif. Beliau mengatakan bahwa Islam Washatiyyah dan Pancasila sudah tidak ada masalah.
“Sejak tahun 1984 dalam Muktamar NU di Cipasung bahwa Pancasila sudah final buat umat Islam,” katanya, sebagai salah satu narasumber.
Islam Washatiyyah itu, kata dia, yang berpegangan pada tasammuh, tawazun, i’tidal dan muwhatanah. Di tengah-tengah itu yang membuat NKRI tetap jaya; tidak menjadikan Islam sebagai asas dan juga agama resmi. “
“Menampung segala sesuatunya yang terkristal di Pancasila. Inilah yang membedakan dengan negara-negara lain.”
Tanpa akomodatif-inklusif dan penerapan Islam Washatiyyah, maka Indonesia tidak mungkin bisa mewujudkan negara yang damai. Para penyeru Khilafah yang selalu menyandarkan pada Qur’an, menurut dia sesungguhnya tidak ditemukan.
“Yang ada hanya khalifah yang terkait dengan penciptaan manusia; inni ja’ilun fil ardi khalifah. Dan tidak ada khalifah dalam konteks penguasa politik dan institusi pemerintahan (politik). Kalau acuannya lagi kepada Turki Ustmani, itu bukan khilafah, tapi mamlakah (kerajaan) dan itu bentuk catatan hitam tentang penguasa despotik,” katanya.
Menyerukan dan membicarakan khilafah tidak lagi relevan untuk Indonesia. Sebab mustahil menyatukan dunia dan menerapkan khilafah. Di Arab saja tidak bisa bersatu.
Menurut KH. Nurul Huda, Pancasila secara literatur dan agama sudah sangat pas. Pancasila tidak akan melawan Islam dan Pancasila tidak akan menggantikan posisi agama Islam.
“Kurikulum studi Islam harus digalakkan di setiap jenjang. Pemerintah sudah harus terlibat dalam mengonsepkan kurikulum berbasis Islam Washatiyyah yang terfokus pada ‘doktrin (ajaran), values dan karakter’ harus digalakkan untuk menanamkan jati diri ke anak bangsa.”
Misalnya, lanjutnya, dengan adanya LDK dan Rohis di SMA dan sederajat sangat menonjol. “Ini merupakan tantangan utama untuk kelompok moderat untuk mengisi pos-pos strategis dan membumisasikan Islam Washatiyyah.”
Islam Washatiyyah itu menurut Sekretaris Jenderal PP ISNU, Kholid adalah sesuatu yang tertanam dalam jati diri bangsa Indonesia. Sehingga apa pun yang datang ke bangsa Indonesia itu dengan sendirinya akan tertolak manakala tidak sesuatu dengan nilai-nilai keindonesiaan.
“Paham-paham menjorok ke kanan dan ke kiri akan tertolak dengan sendirinya.”
Pancasila itu, kata dia, merupakan aktualisasi dari Islam Washatiyyah. Sekalipun mayoritas kita adalah Muslim, tapi kita mengedepankan kebersamaan dan mencari titik temu antar agama.
“RUU HIP itu bisa menjadi pintu untuk menegasikan moderasi Islam dan memunculkan radikalisme di Indonesia. Sebab, Pancasila itu sudah final dan aktualisasi yang kemudian membuat umat Islam menyepakatinya.
Jika diubah dan diperas kembali, ini berpotensi untuk melahirkan radikalisme, seperti gejolak yang telah kita ketahui semuanya. Contoh-contoh gerakan yang tidak sesuai dengan Pancasila dan keindonesiaan akan bisa kita lihat dari dua sisi: soft landing atau hard landing.
“Seperti Darul Islam itu hard landing (dengan pendekatan militer). Sedangkan yang soft landing itu HTI.”
Kelompok-kelompok ektsrim akan tetap tumbuh. Dan ini sejak zaman Rasulullah. Seperti HTI dan variannya akan tetap ada. Sekarang bagaimana kita mengatasinya; baik secara soft landing atau hard landing.
“Pancasila harus dijadikan ideologi operasional. Dimana undang-undangnya terpatrikan gagasan moderasi. Misalnya washatiyyah dalam bidang ekonomi, berarti manifestasinya adalah pasal 33. Dan ini harus menyeluruh agar Pancasila terbumisasikan dengan sempurna.”
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia, Ali Rif’an menyampaikan data tren orang yang mengaku HTI ada peningkatan. Data tahun 2019, misalnya, responden yang mengaku sebagai HTI 0,3 persen, di tahun 2020 naik 0,1 persen menjadi 0,4 persen.
“Tepat kiranya acara ini disebut adanya ‘virus khilafah’. Virus ini kebanyakan melalui media sosial. Bisa jadi bapaknya NU tapi anaknya tidak. Karena anaknya terinfiltrasi melalui media sosial. Sebab itu, kita perlu menyemarakkan diskusi sejenis,” katanya.
Menurut dia, kita perlu melakukan Islam Washatiyyah ke kelompok milenial secara sistematis, masif dan terstruktur.
Acara yang bertajuk “Mengukuhkan Islam Washatiyyah dan Pancasila di Tengah Mewabahnya Virus Khilafah Saat Pandemi Covid-19” dilaksanakan secara webinar melalui aplikasi Zoom. Webinar dimoderatori oleh Sri Astia Wahyuni (Duta Parawisata Kabupaten Garut).
Webinar ini bisa pula dinikmati melalui Youtube NU Channel. Berikut link-nya: Berikut linknya: https://youtu.be/_vgImv1MEAc
(Robi/PARADE.ID)