Jakarta (parade.id)– Tiga bulan berlalu sejak Presiden Prabowo Subianto dilantik dengan janji akan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Namun hingga kini, janji itu hanya tinggal janji. Yang terjadi justru sebaliknya: RUU yang sudah mencapai tahap final malah diganjal dengan alasan “perlu kajian ulang”. Sementara itu, DPR lebih memilih memprioritaskan pengesahan UU BUMN.
Dalam konferensi pers daring bertajuk “Koalisi Sipil untuk UU PPRT” yang digelar via Zoom pada Rabu (29/10/1026), para aktivis perempuan dan pekerja rumah tangga menyuarakan kekecewaan dan kemarahan mereka. Pesan yang disampaikan tegas: negara telah gagal melindungi warganya sendiri.
Dari Tahap Final ke “Kajian Ulang”: Bentuk Penghalangan Sistematis
Lita Anggraini, koordinator Jala PRT, mengungkap fakta yang mencengangkan. “RUU PPRT kembali dibahas DPR sejak Juli 2025. Proses penyaringan aspirasi selesai, dan awal September sudah mencapai tahap final. Tinggal diumumkan sebagai RUU inisiatif DPR, tiba-tiba diganjal dengan alasan ‘perlu kajian kembali’. Ini bentuk penghalangan sistematis,” ungkapnya dengan nada frustasi.
Lita menegaskan bahwa RUU ini bukan dokumen baru yang butuh kajian mendalam. “Sudah 21 tahun dibahas, puluhan kali direvisi, berbagai pihak menyatakan layak disahkan. Lalu kenapa tiga bulan setelah Prabowo berjanji, malah mundur?” tanyanya retoris.
Pertanyaan yang sama dilontarkan kepada Ketua DPR. “Kami butuh ketegasan. Sementara politisi sibuk mengurus kepentingan mereka, korban kekerasan terus berjatuhan, perbudakan modern berlanjut, dan jutaan PRT tak punya perlindungan hukum.”
Janji Politik atau Sekadar Retorika Kampanye?
Fiona Putri dari Konde.co, selaku moderator, membuka acara dengan pertanyaan menohok: “Pak Prabowo telah berjanji, tapi tiga bulan berlalu tanpa kejelasan. Bahkan DPR lebih dulu mengesahkan UU BUMN ketimbang memenuhi janji kepada jutaan pekerja rumah tangga. Hari ini, kami menagih komitmen yang mereka ucapkan sendiri.”
Prioritas legislasi yang terbalik ini menjadi sorotan tajam. Sementara perlindungan untuk jutaan PRT yang mayoritas perempuan diabaikan, undang-undang yang menguntungkan korporasi justru dipercepat. Bagi para aktivis, ini adalah bukti nyata bahwa janji politik kepada rakyat kecil hanyalah lip service.
Bukan Sekadar Isu Perempuan, Ini Soal Penghargaan pada Buruh
Vivi Widyawati dari Jakarta Feminist menegaskan bahwa isu ini melampaui batas gender. “Mayoritas PRT memang perempuan, tapi dampaknya luas. Kekerasan fisik, seksual, hingga penyiksaan oleh majikan kerap terjadi karena tak ada kontrak kerja yang jelas, tak ada standar upah, dan tak ada mekanisme perlindungan.”
“Pengesahan RUU PPRT bukan sekadar untuk perempuan, tapi momentum besar bagi negara untuk menghargai buruh. Janji politik sudah hampir 21 tahun diabaikan. Sampai kapan?” tanya Vivi.
Syahar Banu dari Jaga Pengasuhan menambahkan dengan analogi yang menohok: “BPJS untuk PRT harganya tak sebanding secangkir kopi di kafe. Ini bukan untuk kelompok tertentu, tapi keadilan sosial dan penyelamatan ekonomi keluarga pekerja.”
Tragedi di Luar Negeri, Ketiadaan Perlindungan di Dalam Negeri
Zaki dari Indonesia Matters membawa perspektif global yang menyayat. “Banyak kasus penyiksaan PRT Indonesia oleh majikan di Arab Saudi karena tak ada payung hukum yang kuat. Ironisnya, di Indonesia sendiri, RUU PPRT belum disahkan. PRT bekerja keras demi menghidupi keluarga, tapi negara tak melindungi mereka.”
Kasus-kasus penyiksaan PRT migran Indonesia di luar negeri yang sering menjadi headline berita ternyata mencerminkan problem yang sama di dalam negeri: ketiadaan perlindungan hukum yang memadai.
21 Tahun, Dua Periode Puan Maharani: “Apa Fungsinya?”
Kritik paling tajam datang dari Eka, perwakilan Koalisi Perempuan Indonesia. “Kami tak akan berhenti mengawal. Apa lagi yang ditunggu? RUU ini berlaku untuk PRT perempuan dan laki-laki. DPR sudah membahas 21 tahun, Puan Maharani sudah dua periode menjabat – apa fungsinya?”
Dila dari Kalyanamitra bahkan secara eksplisit menyatakan: “Sudah 21 tahun RUU ini tak kunjung disahkan, padahal puluhan kali direvisi. Urgensinya nyata: korban kekerasan terus bertambah, tak ada jaminan kesehatan atau keselamatan. Sampai hari ini, kami nyatakan: negara gagal melindungi warganya.”
Janji Politik yang Tak Boleh Diabaikan
Ajeng dari Perempuan Mahardika menutup konferensi pers dengan pernyataan keras: “Ini bukan janji biasa, tapi janji politik kepada jutaan PRT. Setiap hari upah rendah, setiap hari risiko kekerasan. DPR diam, padahal saatnya buktikan komitmen. Kami bukan minta belas kasihan – ini hak kami. Selama janji diabaikan, kami akan terus menuntut.”
Koalisi sipil menyatakan akan terus mengawal proses ini, termasuk merencanakan aksi lanjutan jika dalam sebulan ke depan tidak ada kemajuan signifikan.
Pertanyaan yang Harus Dijawab
Beberapa pertanyaan kritis mengemuka dari pertemuan ini:
- Mengapa RUU yang sudah final tiba-tiba “perlu kajian ulang”? Apakah ini taktik penundaan terselubung?
- Apakah ada tekanan atau lobi dari kelompok tertentu yang tidak menginginkan perlindungan bagi PRT?
- Janji Prabowo pasca-pelantikan: apakah hanya retorika kampanye untuk meraih suara, atau komitmen yang akan direalisasikan?
Sementara perdebatan politik terus berlangsung, korban kekerasan terhadap PRT terus bertambah. Perbudakan modern berlanjut di rumah-rumah tangga Indonesia. Jutaan pekerja yang menyangga kehidupan keluarga-keluarga Indonesia tetap bekerja tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Negara tak boleh lagi menutup mata. 21 tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk sekadar menunggu keadilan.*







