Jakarta (PARADE.ID)- Ketua DPP PKS, Mardani Alo Sera mengingatkan pemerintah, dalam hal ini Kemendagri untuk memperbaiki kebijakan penentuan penjabat kepala daerah, yakni dengan merumuskan aturan teknis sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah kegaduhan.
“Ini imbas sikap pemerintah yg abai pertimbangan MK (menerbitkan aturan teknis pengisian penjabat kepala daerah scr transparan). Prinsip demokrasi jelas dihiraukan, seperti usulan penjabat tidak diumumkan ke publik serta tidak diketahui jg penentuannya,” kata Mardani, Senin (23/5/2022).
Jika tetap memaksakan melantik tanpa mengikuti putusan MK, maka kata Mardani bisa terjadi cacat hukum dan publik dapat mengajukan uji materi terhadap aturan yang dijadikan dasar penunjukan pejabat tersebut.
“Jalannya pemerintahan pun bisa terganggu,” tertulis demikian di akun Twitter-nya, ketika mengomentari berita di salah satu media dengan judul: “Daerah Tolak Penjabat Bupati di Luar Usulan”.
Dan kehati-hatian perlu diterapkan sejak awal dalam penentuan penjabat, kata Mardani.
“Memulihkan kondisi ekonomi dan menjaga stabilitas di daerah menjadi bagian dari tantangan yang harus dihadapi para penjabat. Terkait hal itu, mereka tidak hanya dituntut memiliki waktu, pengetahuan, dan integritas, tetapi juga mesti diterima secara politik di daerahnya.”
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan perkara nomor 15/PUU-XX/2022 terkait uji materi Pasal 201 ayat 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah. Kendati demikian, MK memberikan beberapa panduan kepada pemerintah dalam pengisian penjabat kepala daerah.
Dalam pertimbangan MK, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan, pengisian penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional 2024 merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR. Penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya, sementara penjabat bupati/wali kota berasal dari pejabat pimpinan tinggi pratama.
Sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah. Namun, Enny menegaskan, pengisian jabatan pimpinan tinggi dari prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif. Demikian dikutip republika.co.id.
Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang diangkat menjadi gubernur dan bupati/wali kota harus dapat menjalankan fungsi yang diamanatkan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam lingkup jabatannya maupun ketika diangkat sebagai penjabat kepala daerah. Hal ini agar roda penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Enny menuturkan, penjabat gubernur, bupati, dan wali kota sebagai bagian dari jabatan ASN terikat pada asas-asas ASN dalam menjalankan fungsinya yang salah satunya adalah asas netralitas. Artinya, setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun, kepentingan siapapun, dan menjadi tanggung jawab penjabat kepala daerah menjamin terjaganya netralitas ASN.
“Bahwa dari semua hal tersebut diatas hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam pengangkatan penjabat kepala daerah yang akan mengisi kekosongan posisi gubernur bupati wali kota adalah tidak boleh mengangkat penjabat yang tidak memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemahaman terhadap politik nasional yang baik,” ujar Enny dalam sidang pengucapan putusan yang disiarkan daring, Rabu (20/4/2022).
(Rob/PARADE.ID)