Jakarta (PARADE.ID)- Partai Buruh dan organisasi buruh kembali akan melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR/MPR RI, Jakarta, hari Rabu (15/6/2022).
Ada lima tuntutan terkait rencana aksi di tanggal 15 Juni 2022. Pertama, soal penolakan Revisi UU PPP, yang sebelumnya telah disahkan oleh DPR RI.
Menurut Iqbal, penolakannya ini karena pertama, seperti kejar tayang. Tidak melibatkan partisipasi publik. Terbukti, kata dia, revisi UU PPP terjadi hanya 10 hari saja. Padahal, UU PPP ini adalah “ibu” dari UU.
Alasan lain mengapa ia menolak itu karena cacat hukum. Iqbal menyebut ini hanya akal-akalan saja, karena bukan seperti kebutuhan hukum, agar metode Omnibus Law dibenarkan dari sebuah proses pembentukan UU.
“Harusnya diperdebatkan. Misalkan sistem hukum Indonesia ini menganut hukum apa? Apakah tribuanal atau kontinental? Apa keduanya ini boleh mengadopsi Omnibus Law?” kata dia, Senin (13/6/2022), saat konferensi pers secara virtual.
“Kalau Omnibus Law yang senafas itu sudah ada. Misal UU Pemilu, UU terkait Pemilu, UU proses Pemilu, itu di-Omnibus Law-kan. Senafas. Tapi kalau Omnibus Law yang merangkum UU yang tidak senafas, itu tidak dikenal dalam sistem hukum di Indonesia. Sehingga cacat hukum: formil dan materil. Akal-akalan,” sambungnya menjelaskan.
Alasan lainnya, kata Iqbal, ia menduga bahwa revisi ini tidak lagi melibatkan lagi partsipasi publik luas. Hanya partisipasi publik yang diartikan hanya cukup di kampus.
“Kalau ini terjadi, maka bukan Omnibus Law tetapi semua produk UU membahayakan rakyat, karena masyarakat tidak diberi ruang. Adapun langkah-langkah yang akan kami ambil terkait itu: pertama, dalam waktu dekat setelah keluarnya nomor UU PPP, satu hari partai buruh akan Judicial Review (JR),” katanya lagi.
“Kita akan JR formil dan JR meteril. Kedua melakukan kampanye, siapa parpol (partai politik) yang bermain. Rakyat tidak boleh beli kucing dalam karung. Kampanyee ini pun akan kami sertakan untuk keterbukaan informasi: mengapa revisi UU PPP dilakukan?“ kembali ia menyambung.
Soal isu kedua, Iqbal menegaskan bahwa Partai Buruh menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker) kembali dibahas, karena dari awal ia mengaku telah menolaknya, termasuk UU PPP itu.
Alasannya penolakannya karena menurut dia secara formil telah dinyatakan cacat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan cacat formil dengan penegasan ‘Inkonstitusional Bersyarat’.
“MK tidak pernah meminta revisi UU PPP. Formil dalam artian UU Ciptaker dinyatakan cacat oleh MK, ya, proses Ciptaker-nya sendiri, yang tidak melibatkan partisipasi publik. Diam-diam. Tidak ada kaitannya perintah dengan boleh Omnibus Law atau tidak boleh Omnibus Law,” kata dia.
Dimaksud dengan cacat formil, ia karena ‘Inkonstitusional Bersyarat’ itu diubah UU PPP-nya. Padahal, kata dia, proses pembuatan UU Ciptaker sendiri sebagaimana diatur di UU PPP tidak bertemu.
“Maka saya katakan kejar tayang. Itu yang harus diperbaiki. Kalau mau bahas lagi, mulai dari nol lagi. Alasanya lainnya materil Omnibus Law UU Ciptaker sampai hari ini kami tidak punya, khususnya kluster ketenagakerjaan,” paparnya.
Kalau memang mau digunakan, kata dia, maka gunakan yang sudah ada pada sebelumnya.
“Jangan main kucing-kucingan lagi. Jadi partisipasi publik ingin dikangkangi lagi. Alasan lainnya, isi meteri UU Coptaker, khususnya kluster ketenagakerjaan merugikan buruh. Misal outsourching seumur hidup, upah murah, phk mudah, soal cuti (khusus perempuan yg haid), karyawan kontrak tanpa ada periode—100 kali kontrak, inilah menjadi alasan partai buruh dan lainnya menolak,” jelasnya.
Adapun langkah-langkahnya yang akan diambil soal di atas adalah dengan JR secara formil dan materil di MK. Pun termasuk akan aksi di tanggal 15 Juni 2022. Aksi kata Iqbal akan besar. Sampai Omnibus Law tidak dibahas lagi.
“Di tahun politik ini harusnya pemerintah dan dpr menjaga ketenangan. Sebab apa saja bisa terjadi ketika aksi-aksi makin marak. Selanjutnya kalau tidak didengar dan disahkan Omnibus Law, kami mogok nasional. 5 juta buruh akan terlibat. Keluar dari pabrik.
Selanjutnya kami lakukan kampanye internasional (Omnibus Law). Ini sudah masuk. ITUC, sudah menyatakan kampanyekan melawan pemerintahan indonesia terhadap indonesia. Jadi sebaiknya dihentikan,” katanya.
Isu lain soal penolakan masa kampanye yang hanya 75 hari yang sudah disepakati antara KPU, pemerintah, dan atau DPR, kata Iqbal, telah terjadi pelanggaran serius. Pasalnya, dalam UU Pemilu jelas, sejak daftar calon tetap maka beberapa hari kemudian mulailah masa kampanye.
Jadi, katanya, kalau ditarik 14 Februari 2024, ia menghitung itu adalah 9 bulan untuk kampanye.
“Dengan ini telah terjadi pelanggaran serius oleh KPU sebagai penyelenggara. Apa pelanggarannya, karena KPU adalah lembga independent yang dibentuk oleh UUD 1945. Tidak boleh KPU itu membuat kesepakatan dengan DPR dan pemerintah.
Sebab DPR itu parpol yang menjadi peserta pemilu. Masak peserta membuat dengan penyelenggara pemilu,” kata dia.
Dal UU menurut Iqbal, yang boleh adalah konsultasi, bukan kesepakatan. Konsultasi dengan pemerintah dan KPU. Setelah itu, baru putuskan independen.
“Dari itu maka kami akan datang ke bawaslu jam 3 hari ini. Kami akan laporkan KPU karena telah melanggar UU Pemilu. Ini berbahaya,” katanya.
Alasannya lainnya Partai Buruh menolak itu karena tidak cukup waktu sebagai partai baru untuk kampanye. Iqbal pun menyebut KPU melanggar jujur dan adil.
“Maka akan laporkan KPU kepada Bawasalu. Cabut itu kesepakatan. Aksi di tanggal 15 ini kami angkat isu ini. Kembalikan masa kampanye selama 9 bulan. Kami juga akan lapor ke DKPP. Kita akan aksi di depan KPU, sampai KPU ikuti UU. Kami yakin KOU ingin pemilu bersih dan jurdil,” jelasnya.
Soal tuntutan lain, yakni minta disahkannya RUU PRT menjadi UU, Iqbal beralasan karena RUU ini sudah berusia 17 tahun.
“Sebab mungkin dari kasak-kusuknya teman-teman gak ada uangnya. Bisa jadi. Sebab sudah 17 tahun. Kalau Omnibus Law, menyangkut kompani dan buruh, kejar tayang,” kata dia.
Terakhir soal penolakan liberalisasi lewat World Trade Organization (WTO) yang akan dibawa pada aksi tanggal 15 Juni 2022, Iqbal beralasan karena mengancam daya beli petani. Selain itu, tidak akan menguntungkan petani Indonesia.
“Lawan liberalisai pertanian melalui WTO. Kita menolak Indonesia terlibat di proses-proses liberalisasi pertanian melalui WTO,” pungkasnya.
(Rob/PARADE.ID)