Jakarta (parade.id)- Sejumlah lembaga dan individu dalam pernyataan bersama mengecam pernyataan yang disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra selaku Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.
“Berdasarkan pemberitaan di media yang kami dapatkan, terdapat dua pernyataan bermasalah yang disampaikannya. Pada 20 Oktober 2024, ia menyampaikan bahwa ia tengah menunggu arahan dari Presiden dalam kaitannya dengan penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu,” demikian pernyataan bersama (KontraS, IKOHI, dan YPKP65/Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/66), Selasa (22/10/2024).
“Ia menambahkan bahwa penyelesaian tersebut sulit untuk dilakukan sebab sudah terjadi sangat lama sehingga kita tidak perlu lagi melihat ke masa lalu. Kemudian, pada 21 Oktober 2024, Yusril kembali menyampaikan bahwa peristiwa tragedi Mei 1998 bukanlah merupakan pelanggaran berat terhadap HAM,” lanjutan pernyataa bersama.
Menurutnya (Yusril), pelanggaran berat HAM terdiri dari genosida (genocide) dan pembersihan etnis (ethnic cleansing) sehingga tragedi Mei 1998 bukan merupakan pelanggaran berat HAM.
“Kami memandang pernyataan tersebut tidak lain merupakan upaya Negara untuk memutihkan pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa Negara berusaha lari dari tanggung jawabnya untuk melindungi, memajukan, menegakan, dan memenuhi hak asasi manusia yang termaktub dalam Pasal 28I Ayat (4) Undang-undang Dasar (UUD) 1945.”
Pasalnya, wewenang untuk menetapkan suatu peristiwa sebagai pelanggaran berat HAM ada di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). “Proses hukum pun sudah berjalan sejak dimulainya penyelidikan oleh Komnas HAM, yang kini tengah tersandera oleh proses penyidikan yang seharusnya dilanjutkan oleh Jaksa Agung selaku penyidik peristiwa pelanggaran berat HAM.”
“Dalam hal ini, Yusril dan Presiden merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif, alih-alih aparat penegak hukum, sehingga mereka tidak berwenang untuk menentukan langkah hukum seperti apa yang harus dilakukan.”
Menurut mereka, Yusril juga tidak memiliki wewenang untuk menyatakan bahwa peristiwa tragedi Mei 1998 bukanlah pelanggaran berat HAM. Sebab faktanya, tragedi Mei 1998 sendiri sudah dinyatakan sebagai pelanggaran berat HAM berupa kejahatan terhadap kemanusiaan oleh Komnas HAM, serta telah diakui dalam pidato pernyataan oleh mantan Presiden Joko Widodo pada 11 Januari 2023.
Pernyataan Yusril mengenai bentuk pelanggaran berat HAM juga disebut keliru dan tidak memperhatikan konstruksi pelanggaran berat HAM seperti yang tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. “Dalam Undang-undang tersebut, yang masuk dalam klasifikasi sebagai pelanggaran berat HAM adalah kejahatan genosida (pasal 8) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 9).”
“Peristiwa pelanggaran berat HAM sejatinya adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime), dan hal ini pun diakui dalam bagian Penjelasan dalam Undang-undang Pengadilan HAM. Sebagai kejahatan luar biasa, pelanggaran berat HAM pun memiliki kekhususan, sehingga Penjelasan UU tersebut mengamanatkan penanganan khusus dalam proses hukum penyelesaiannya.”
Tentu pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa lalu memerlukan adanya penanganan khusus, terutama dalam menyikapi waktu kejadian peristiwa yang sudah lama. Akan tetapi, kondisi ini tidak lantas meniadakan proses hukum dan pertanggungjawaban pidana dari para pelaku.
“Negara masih memiliki beban tanggung jawab untuk menuntaskan kasus tersebut, termasuk secara hukum, dan memberi keadilan bagi korban. Terlebih lagi, Penjelasan UU Pengadilan HAM menyebutkan bahwa pelanggaran berat HAM tidak memiliki masa kadaluarsa.”
Menurut merek, pernyataan Yusril di atas sangat jelas bertentangan dengan prinsip HAM dan tanggung jawab Negara sebagai duty-bearer (pemangku tanggung jawab) HAM. Terlebih lagi, dalam konteks pelanggaran berat HAM, Negara memiliki 4 tanggung jawab, yaitu pengungkapan kebenaran, penuntutan pertanggungjawaban pidana, pemulihan korban, dan jaminan ketidak berulangan.
Pernyataan Yusril kata mereka, justru menunjukkan kecenderungan dari Negara untuk mengabaikan tanggung jawab tersebut dan semakin memberi ketidakpastian bagi korban. Hal ini pun tampak dari pernyataannya bahwa pelanggaran berat HAM tidak terjadi di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir.
Namun faktanya, Komnas HAM telah menetapkan terjadinya 17 peristiwa pelanggaran berat HAM yang terjadi di Indonesia dan telah disampaikan oleh Presiden sebelumnya dalam pidato kenegaraan.
“Visi, Misi, dan Program Prabowo-Gibran yang tertuang dalam 8 program Astacita pun tidak mencantumkan penuntasan pelanggaran berat HAM dalam rencana penegakan HAM. Hal ini menunjukkan tidak adanya kemauan Negara untuk menuntaskan pelanggaran berat HAM, termasuk yang terjadi di masa lalu, dan semakin dikuatkan oleh dua pernyataan Yusril Ihza Mahendra di atas.”
(Rob/parade.id)