Oleh: Dr. Ing. H. Ridho Ramhadi, M.Sc.
Ketua Umum (Ketum) Partai Ummat
Sebelum memulai pidato saya, ini sebuah tradisi baru bagi Partai Ummat, kita mengapresiasi kerja panitia yang luar biasa. Kalau tasyakuran kemarin, belum lama ini, kita beri nilai panitia A+. Maka panitia, baik SC maupun OC, Rakernas Perdana Partai Ummat, insya Allah nilainya A 24 karat.
Tanggal 5 Februari yang lalu, majalah Tempo merilis beberapa artikel, yang isinya menghentakkan kesadaran kita. Jadi ternyata wacana tunda pemilu 2024, tidak hanya dihidupkan kembali, namun telah dikaji dan bahkan telah diupayakan jalannya lewat berbagai macam cara. Mereka berusaha memperpanjang masa jabatan presiden dan Anggota DPR hingga lima tahun berikutnya, setelah 2024.
Berbagai upaya tengah mereka lakukan untuk mewujudkan wacana tersebut.
Pertama, mereka berupaya melakukan amandemen UUD 1945, dengan berbagai macam dalih ini adalah masa pemulihan ekonomi pascapandemi. Dalih yang lain, kita harus hidupkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN). Amandemen, di situ lah kemudian mengubah, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, tujuan akhir mereka adalah mengubah pasal 7 UUD 1945, yaitu yang mengatur masa jabatan presiden yang maksimal dua perioden.
Kedua, ada skenario lainnya yang didesain sedemikian rupa sehingga pada saatnya nanti, KPU akan mengatakan, “Mohon maaf, kami tidak siap, karena waktu yang relatif pendek, untuk mempersiapkan perubahan aturan dalam rangka merespons perubahan sistem (seumpama, dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup).”
Ketiga, gerakan-gerakan siluman telah dilakukan pendekatan-pendekatan ke ormas-ormas, ke kalangan kampus, yang bertujuna untuk mengondisikan, dalam artian meninakbobokan mereka agar menyetujui rencana penundaan pemilu 2024 dan bahkan ada delegasi yang dikirim kepada kiai-kiai di berbagai macam di wilayah Indonesia.
Siapa mereka-mereka ini? siapa gerangan mereka di balik semua ini? Siapa mereka yang berani melawan konstitusi UUD 1945? Di antara mereka ini ada yang berkata, kira-kira begini, “Saya tidak berminat atau ini ide dari siapa?” Katanya begitu.
Kemudian yang lain di antara mereka berkata, “Kita tidak bisa menghalangi Ketua Partai atau kelompok masyarakat tertentu berwacana soal perpanjangan.”
Lainnya dari mereka berkata lagi, “Secara konstitusi semua bisa terjadi.”
Mereka yang mengatakan ini lupa atau pura-pura lupa. Mereka ini pejabat pemerintah, ketua-ketua partai, relawan-relawan yang lahir dari rahim reformasi tetapi malah mengapa mereka kemudian durhaka terhadap konstitusi? Sebab telah jelas membatasi masa jabatan presiden hanya dua kali. Mereka seharusnya berada di garda terdepan. Pendekatan konstitusi. Tapi malah mengendap-endap di belakang.
Sadarlah yang di sana. Mengutip ayat yang ada di Qlquran, mereka telah membuat tipu daya, mereka membuat makar, dan Allah membalas tipu daya makar mereka tersebut. Dan Allah sebaik-baiknya pembalas tipu daya.
Sejarah telah mengajarkan kepada kita, kekuasaan yang terlalu lama bercokol, karena sirkulasi kepemimpinan yang ditunda-tunda, akan melahirkan tirani-tirani baru, akan menjadi bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu. Menimbulkan ledakan krisis sosial, krisis ekonomi dan lainnya itu. Bahkan di beberapa negara lain, tirani-tirani lahir begitu cepat. Kurang dari satu dekade saja, mereka sudah merajalela.
Lalu di Indonesia ini, mengapa pemilu mau ditunda? Kita sudah lihat dengan mata kepala kita sendiri, bagaimana tirani politik telah merusak demokrasi yang susah payah kita perjuangkan sejak reformasi hingga hari ini. Tirani politik membawa kita kembali ke zaman kegelapan otokrasi. Sekarang cengkraman oligarki hampir ada di semua lini. Politik pecah belah atas bangsa sendiri. Kebebasan diamputasi. Sedikit kritik bisa ditangkap Pak Polisi.
Reputasinya memang bertambah, namun dalam hal korupsi. Mengutip ayat Alquran dalam surat Al-Baqarah ayat 49: Ia mengingatkan kita, bagaimana seorang tirani, sebuah tirani itu demi menjaga kekuatannya, demi menjaga kekuasaannya, takut diambil secuil saja, itu tega melakukan apa pun, termasuk menyembelih, membunuh anak-anak laki pada zamannya waktu itu. Inilah yang kita lihat sekarang. Wakil rakyat pun tak lewat dikooptasi hingga mereka lupa fungsi. Lupa siapa yang diwakili. Lupa apa yang harus diawasi. Singkat kata, mereka yang terhormat itu lupa diri.
Politik nasional saat ini, telah sukses menciptakan kehidupan nasional yang hobbesian. Dimana manusia dikatakan akan menjadi srigala bagi manusia lainnya dan manusia akan memerangi manusia lain, yang kuat menindas yang lemah, yang dominan memaksa yang lain untuk menyerah, yang pinta memintari yang tak sekolah.
Tirani tak peduli demokrasi. Bagi mereka itu adalah kepentingannya sendiri. Lalu mengapa pemilu mau ditunda? Kita sudah melihat dengan mata kepada kita sendiri, bagaimana tirani hukum mengatur putusan peradilan. Diringankan sesuai pesanan. Diberatkan sesuai titipan. Bahkan ditembakan timas panas ke tubuh 16 laskar muda yang semuanya berumur 22 tahun. Puluhan gas air mata dilontarkan ke penonton Kanjuruhan. Bergelimpangan 135 orang meregang nyawa, 43 di antaranya masih anak-anak. Tapi mereka bukan sekadar angka. Mereka bukan sekadar daftar nama. Mereka adalah cita-cita dan kebanggan orang tua. Mereka dilahirkan dan disuapi, diajari untuk menyambung hidup, dan kehormatan keluarga. Mereka adalah masa depan dan harapan Indonesia.
Siapa yang membunuh seseorang bukan karena orang yang dibunuh itu telah membunuh orang lain atau karena telah membuat kerusakan di bumi maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia, kata Allah.
Tirani sekali lagi, tidak peduli dengan rakyatnya sendiri, apalagi hanya anak buahnya sendiri. Lantas apa alasan pemilu mau ditunda.
Kita telah lihat bagaimana tirani ekonomi membuah 1 persen orang kaya Indonesia mengusai lebih dari 50 persen aset nasional. Sedangkan 99 persen sisanya, termasuk seluruh kita yang hadir di ruangan ini, berebut sisanya (dari 50 aset nasional tersebut).
Bayangkan, adil atau tidak? Adil atau zalim? Kalau zalim kita lawan, dengan cara-cara yang beradab, yang adiluhur.
Kita lihat, 26 juta penduduk Indonesia, hidup di garis kemiskinan. Berapa garis kemiskinan itu? Garis kemiskinan itu setara Rp500 ribu. Setiap bulannya, untuk kebutuhan: sandang, pangan, papan. Satu orang, bayangkan. 500 ribu untuk sandang, pangan, papan. Ini bukan garis kemiskinan. Rp500 ribu itu, untuk sebulan itu adalah garis kemusnahan.
Kita juga lihat bagaimana tirani ekonomi membentangkan karpet merah yang empuk. Bukan untuk ekonomi dalam negeri, sayangnya untuk ekonomi asing. Indonesia menjadi komprador. Istilah sekarangnya asong. Membuka pintu bagi imprealisme modern, sehingga 90 persen produk yang dijual, di platform belanja online di Indonesia adalah produk asing.
Padahal lebih dari Rp400 triliun nilai belanja online pada tahun 2021. Hanya 10 persen produk dalam negeri.
Tirani, lagi-lagi tidak pernah peduli, sekalipun rakyatnya melarat ataupun sekara. Lalu mengapa pemilu mau ditunda? Apa perlu kita tunda pemilu?
Kita lihat bagaimana tirani sumber daya alam telah melakukan destruksi ekologi. Dilubangi 44 persen daratan Indonesia, dipangkas bukit Jayawijaya di Papua sana, digunduli 100 ribu hektare lebih hutan-hutan di nusantara, diambil macam-macam mineralnya, batubaranya, nikelnya, emasnya, uraniumnya, minyaknya, gasnya, kayunya, dan semuanya, jadi bancakan segelintir orang yang serakah yang berkongsi dengan asing dan aseng. Dan habis manis, sepah pun dibuang. Ditinggalkan begitu saja tanpa pemulihan lingkungan. Menyisakan lubang-lubang asam yang beracun, menyisakan tanah-tanah gundul dan air yang tercemar, dan ditambah dampak perubahan iklim, kerusakannya pun semakin masif. Tirani sekali lagi, tidak peduli ekologi sama sekali, yang penting kepentingan dirinya sendiri.
Di negeri ini masih banyak tirani-tirani lainnya: tirani pendidikan, tirani kesehatan, tirani kebudayaan dan lain sebagainya. Maka pertanyaan, mengapa pemilu mau ditunda? Jawabannya tidak ada yang akan ditunda. Sirkulasi kekuasaan kepada anak bangsa yang punya kapasitas dan kapabilitas adalah sebuah keharusan demi lahirnya keadilan-keadilan multidimensional yang sekaligus membasmi tirani-tirani tersebut. Dan ini lah demokrasi yang merupakkan cita-cita dan amanah reformasi, yatitu demokrasi konstitusional yang menjami peralihan kekuasaan secara proporsional. Maka itu reformasi menjadi sebuah agenda bangsa yang mendesak untuk dilanjutkan, yang justru tidak boleh ditunda.
Partai Ummat untuk itu akan menambah perjuangannya dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, Partai Ummat akan menggalakan pengkaderan untuk mencetak kader-kader ideologis yang memiliki kecerdasan teoritis maupun praktis dengan mental manusia tauhid yang merdeka seutuhnya, yang bebasa dari rasa inperior dan superior, yang bebas merasa takut ke selain Allah, dan siap memperjuangkan tegakan keadilan dan lawan kezaliman demi menggapai rida Allah semata. Katakanlah, kita ini semua, katakanlah, sesungguhnya salatku, sesungguhnya ibadahku, sesungguhnya hidupku, matiku, hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
Kedua, Partai Ummat akan membangun struktur organisasi yang berstandar modern, yang efektif dan efisien tata kelolanya, yang terintegrasi dengan kemajuan digitalisasi serta diisi dengan kolaborasi dan koordinasi antar kader yang solid dan konsisten.
Ketiga, Partai Ummat secara khusus akan melawan dengan cara beradab dan elegan terhadap narasi latah yang kosong dan menyesatkan, yaitu politik identitas. Kita akan secara lantang mengatakan, “ Ya! Kami, Partai Ummat, ya, kami adalah politik identitas!”
Kita akan jelaskan. Tanpa moralitas agama, politik akan kehilangan arah dan akan terjebak dalam moralitas yang relatif dalam etika yang situasional. Ini adalah proyek besar sekularisme yang menghendaki agama tercerabut, dipisah dari semua sendi kehidupan, termasuk politik. Dengan demikian perlu dipahami bahwa sesungguhnya justru politik identitas adalah politik yang pancasilais.
“Siapakah yang lebih baik perkataannya, dari orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan kebajikan dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim yang berserah diri’.”
Dalam semangat yang sama, Partai Ummat juga akan membangun perjuangan dari masjid sebagaiman Rasulullah s.a.w melakukan setelah hijrah. Bagi umat Islam, selain tempat ibadah, masjid seharusnya menjadi pusat inkubasi ide dan juga etalase gagasan, menjadi ruang pertemuan pikiran, untuk menyusun rencana dan strategi keumatan dan menjadi titik nol sebuah perjuangan, termasuk di dalamnya jihad politik. Dilarang di masjid seharusnya bukan politik gagasan, tapi politik provokasi. Keduanya sangatlah berbeda, yang seharusnya dilarang bukanlah politik persatuan tetapi politik segregasi. Politik pecah belah. Sekali lagi, keduanya sangatlah berbeda.
Keempat, sebagaiman kata-kata bijak, “1000 teman terlalu sedikit, 1 musuh terlalu banyak.”
Partai Ummat dengan ini mengajak segenap anak bangsa lainnya, ormas-ormas, kalangan kampus dan partai politik lainnya untuk berkolaborasi dan berlomba-lomba untuk membangun Indonesia.
“Bagi setiap umat ada kiblat yang dia menghadap ke arahnya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam berbagai kebajikan.”
Kelima, dalam hal pilpres, pileg, maupun pilkada, Partai Ummat akan memeras isi pikirannya memberikan gagasan-gagasan terbaiknya, merumuskan rencana dan strategi baiknya, menugaskan kader-kader terbaiknya, insya Allah untuk memenangkan pemilu 2024.
Keenam, insya Allah pada saatnya nanti, Allah mengizinkan Partai Ummat, untuk memegang setangkup kekuasaan. Partai Ummat akan menegakkan keadilan-keadilan multidimensional, keadilan-keadilan komprehensif, keadilan-keadilan distributif, lewat rancangan, lewat perbaikan, penegakan UU serta peraturan, lewat upaya-upaya konkret yang responsif atas dasar platform perjuangan dan yang jelas tidak akan pernah berkompromi dengan bentuk kezaliman.
Akhir kata, kader-kader Partai Ummat, siapkan dirimu semua. Kita sambut bersama badai perjuangan di depan sana. Kita ini pejuang, bukan pecundang, maka kepada kata menyerah, kita katakan pantang. Rayakan perjuangan ini. Allah bersam kita semua. Allahu akbar.