Jakarta (PARADE.ID)- Terhadap deraan tho’un CoronaVirusDisease-19 yang saya pergunakan dan jalani sehari-hari adalah Protokol Taqwa. Sebelum taqwa ada Iman, sesudah taqwa ada ilmu dan tawakkal.
Iman adalah keyakinan terhadap Maha Subjek Tunggal yang berkuasa, menentukan dan mengendalikan segala sesuatu dalam kehidupan manusia dan jagat raya. Ilmu adalah hasil manusia meng-akal-i (memperlakukan dengan atau secara akal). Tawakkaladalah cara manusia menghadapi wilayah kehidupan yang akalnya tidak sanggup mengaksesnya. Taqwa adalah kesadaran, kepekaan, kejelian, kelembutan dan kewaspadaan atas Iman, Ilmu dan Tawakkal.
Tanpa kewaspadaan itu, Iman bisa membabi-buta dan over-subjektif. Tanpa kewaspadaan, Tawakkal bisa menjadi takabbur. Kewaspadaan atau taqwa itu pula yang membuat manusia bisa menjernihkan pandangannya terhadap manfaat atau mudharat ilmu, kelebihan dan kekurangan ilmu, kesejatian dan kepalsuan ilmu, juga kesementaraan atau keabadian, serta relativitas dan kemutlakan sesuatu yang disimpulkan oleh Ilmu.
Protokol Taqwa itu yang menjadi sumber kewaspadaan manusia terhadap (perilaku, logika, amr, iradat, qadar, takdir, nasib dan musibah) (dari atau oleh) Tuhan beserta apapun saja ciptaan-Nya, termasuk izin-Nya atas keberlakuan penyakit. Sehingga saya mewajibkan diri saya untuk selalu waspada. Dan salah satu pengejawantahan atau perwujudan sikap waspada saya adalah mengapresiasi semua pengetahuan dan ilmu tentang penyakit tersebut, termasuk dengan kehati-hatian dan sikap kritis.
Sampai usia lanjut sekarang ini saya selalu menghormati para Dokter atau juru pengobat lainnya. Pertimbangan utama saya dalam menghargai mereka adalah ketulusan dan kasih sayang mereka kepada kondisi hidup saya. Mungkin ada sejumlah items ilmu Kedokteran dan Pengobat lainnya yang saya tidak sependapat, tetapi itu tidak menghalangi penghormatan saya kepada atensi mereka terhadap hidup saya.
Sikap itu terus saya pertahankan meskipun cakrawala atau ujung sampai terjauh ke depan kehidupan saya adalah laku tawakkalatau mewakilkan atau memasrahkan kepada Maha Subjek Tunggal itu segala hal yang pengetahuan dan ilmu manusia tidak sanggup menjangkaunya.
Maka saya selalu pakai masker, ketika bangun dan tidur, duduk, berdiri dan berbaring, siang dan malam, di rumah atau di luar. Kenapa? Ada beberapa sebab. Pertama, karena ilmu sama sekali belum memadai informasinya tentang Covid-19. Di Google Map tidak ada peta di mana saja Covid-19 berada, padahal kita butuh sampai mikro dan detail. Tidak ada alat pemindai yang bisa dipakai setiap orang supaya tahu ketika dia melangkah ke suatu tempat ada virus atau tidak. Alat itu akan berbunyi alarmnya kalau beberapa meter atau lebih jauh dari itu terdapat virus Corona, baik yang menempel di dinding, pagar dan pintu, piring dan sendok, pakaian orang atau di kulit badan orang atau badan kita sendiri.
Kedua, saya butuh membiasakan bahwa masker adalah bagian yang alamiah dari jiwa raga saya. Hidup ini sedemikian kompleks dan dinamis, sehingga saya selalu membutuhkan masker untuk badan saya, akhlaq saya, intelektualitas dan nalar saya, iman dan akidah saya, keterlibatan dan integritas sosial saya serta apapun – supaya udara yang keluar masuk kehidupan saya adalah udara yang bersih dan sehat jasmani rohani.
Ketiga, dengan memakai masker saya ber-shadaqah dan ber-tasammuh. Saya bersedekah dan bertoleransi menjamin rasa aman orang lain terhadap kehadiran saya, karena kita sama-sama belum bisa ditolong oleh ilmu.
Untuk sedekah pengamanan sosial itu saya juga selalu jaga jarak dan semaksimal mungkin hanya tinggal di rumah, meskipun saya tidak perlu menyiapkan tang dan catut atau gunting agar sewaktu-waktu bisa dipakai untuk memutus mata rantai penyebaran virus.
Saya juga sudah sangat ingin dan berani Maiyahan seperti biasanya. Meskipun ilmu dan teknologi sangat terbatas, tetapi iman-taqwa-tawakkal tidak ada batas atau garis tepi dan ujungnya. Tetapi itu Protokol Pribadi saya, tidak boleh saya paksakan ke luar diri saya, sebab belum menjadi kesepakatan sosial, dan ilmu serta pengetahuan Pemerintah tidak boleh dan tidak rasional untuk menerjang itu.
Ilmu manusia tidak akan sanggup memahami dan menembus pengetahuan kenapa ada jutaan fakta dalam hidup manusia, bahwa “seharusnya sehat malah sakit, atau seharusnya sakit malah sehat”. Bahkan “tanpa penyakit apa-apa seseorang tiba-tiba meninggal, dan sakit sampai separah itu ia tidak mati”. Atau yang sukar dipastikan secara ilmu: “Sudah sehati-hati itu dia terpapar, lainnya semberono dan senekad itu perilakunya malah tidak terpapar”.
Sudah berabad-abad lamanya ummat manusia mencari, menggali, meneliti, menganalisis, menduga dan menyimpulkan segala hal yang menyangkut sehat dan sakitnya manusia. Sehingga lahir ilmu kesehatan, pertabiban, perdukunan dan kedokteran. Setiap zaman memiliki pengalaman dan kepercayaannya masing-masing, dan sebaiknya setiap pelaku zaman saling mengapresiasi satu sama lain, tidak saling meremehkan atau merendahkan.
Di luar perjuangan ilmu pengetahuan manusia itu, dari yang purba, hingga yang tradisional sampai yang modern — ada gelombang lain yang juga berlaku di dalam jiwa manusia. Terdapat juga dimensi-dimensi yang disuplai oleh Agama, misalnya kepercayaan, taqwa, tawakkal, yang intinya adalah kepasrahan terhadap suatu kekuatan dan ketentuan yang berasal dari luar jangkauan akal pikiran manusia.
Ketika tho’un atau virus yang bernama Covid-19 menyerbu ke setiap jengkal tanah di seantero bumi, semua Lembaga yang bertugas dan bertanggungjawab, umpamanya Negara-negara dan Pemerintahnya, tidak punya alternatif lain kecuali mendasarkan tindakannya pada ilmu pengetahuan. Salah satu sebabnya adalah karena tidak ada suatu Pemerintahan manusia yang punya akses langsung dengan sistem dan struktur kekuasaan Tuhan. Akan tetapi setiap warga negara punya hak untuk juga mengandalkan hal-hal yang dikontribusikan oleh Agama, atau justru faktor itu yang bagi mereka justru lebih memberikan ketenangan hidup pada mereka.
Tidak ada Nabi atau Rasul yang menjadi Presiden suatu Negara, juga tidak ada Presiden atau Kepala Negara manapun yang adalah juga Nabi atau Rasul. Garis hubungan antara manusia dengan Nabi dan Tuhan tidak bisa dimaintain oleh Negara, meskipun Negara berkewajiban memberi ruang kemerdekaan bagi warganya untuk sebagai manusia mengelola hidupnya berdasarkan hubungannya dengan Nabi dan Tuhan. Sebagaimana akan menimbulkan sangat banyak kesulitan dan benturan-benturan kalau warganegara sebagai manusia memaksakan konsep dan pola hubungannya dengan Nabi dan Tuhan terhadap formalisme atau konstitusi Negara.
Belum ada Presiden yang berkelengkapan ilmu. Yang berpikir dialektis komprehensif. Belum ada Kepala Negara yang isi akal dan jiwanya kaffah, sehingga yang sebenarnya komplementer dilihat sebagai polarisasi atau dikotomi. Belum ada Presiden yang yatafakkarun dan ya’qilun dalam kesatuan antara Dunia dengan Akhirat. Kita hanya punya Presiden yang berpikir linier, parsial, fragmental, fakultatif, sepetak, sempit, ciut dan dangkal. Padahal itu sumber atau landasan penyusunan Kabinet, penataan pola-pola pembangunan, jalan raya ke masa depan bangsanya. Akan tetapi seluruh fakta tentang Negara, Pemerintahan dan Presiden itu, seberapa jauh pun saya berbeda atau bahkan bertentangan, tidak pernah membuat saya berkeinginan untuk memberontak, untuk menjatuhkan mereka, untuk meletakkan diri saya sebagai penguasa. Sebab protokol hidup saya tidak terbatas pada ilmu dan pengetahuan di bumi, tetapi mencakrawala sampai ke iman-taqwa-tawakkal atas hakikat kehidupan di seluruh alam-alam semesta. Bukan sekedar alam semesta. Sebab Allah itu Rabbul’alamin, bukan sekedar Rabbul‘alam.
Sebagaimana saya juga tidak berambisi untuk menjadi Pemimpin Agama, meski kita semua belum pernah mengalami kepemimpinan keber-Agama-an yang menuntun disiplin publik di mana manusia yang beragama tidak bisa meninggalkan ilmu, karena perilaku dan syariat Agama sangat memerlukan identifikasi, perhitungan, pemilahan, pemisahan serta interkoneksi antara yang terpilah-pilah dan terpisah-pisah. Agama manusia yang hidup di dunia bukanlah Agama dengan sistem nilai Sorga.
Kita masih dikasih pengajian yang memaksakan Sorga untuk dunia. Menuntun kita untuk masuk sorga tapi dibekali dengan sistem hidup keduniaan yang sekularistik, bahkan dengan iming-iming kesejahteraan yang sangat bersifat duniawi. Para aktivis Ilmu maupun Agama belum menemukan fungsi komplementernya, belum menikmati keseimbangan dan harmoninya.
Agama ditransfer, diaplikasi dan diwujudkan sebagai suatu satuan yang bertentangan dengan apa yang berlangsung di dalam kehidupan manusia di dunia. Ummat beragama belum diantarkan untuk menjalani Agama yang di dalam praktiknya juga memerlukan sistem nilai dunia, memerlukan pemahaman dan penataan materi, hitungan peribadatan dan pahala, beda siang dengan malam, perumusan dan penyepakatan tentang benar salah, baik buruk serta indah dan tidak indah. Bukannya mencita-citakan sorga, tapi dengan pemahaman sistem nilai dunia.
Tetapi sebaliknya, karena ilmu di dunia tidak bisa menembus dinding relativitas dan dan tembok kesementaraan, makai ia memerlukan tawaran Agama: mutlaknya kebutuhan untuk tenteram, memerlukan daya hidup yang tenaganya bersumber dari harapan, sementara harapan hanya dikandung oleh jangkauan ke masa depan yang rentangnya adalah keabadian. Agamalah yang menawarkan itu, meskipun penerimaannya tidak dengan ilmu, melainkan keyakinan (dan harapan).
Pertanyaannya sekarang: bagaimana warganegara, sebagai makhluk yang berwujud insan atau manusia, sebagai ‘abdullah(hamba Tuhan) apalagi sebagai khalifatullah (duta atau wakil Tuhan) menentukan batas-batas keputusan hidupnya atau perilaku sehari-harinya, antara ekosistem Negara yang mengandalkan ilmu manusia, dengan fakta dialektika hubungan antara Tuhan dengan makhlukNya?
Jawabannya untuk saya adalah awal tulisan ini: Saya mempedomani Protokol Taqwa, dan berdasar itu saya mengapresiasi ilmu manusia, termasuk yang diterapkan oleh Pemerintah suatu Negara. Tetapi kepatuhan saya kepada Protokol Negara adalah bagian manthiqiyah atau konsistensi rasional dari Protokol Taqwa saya.
*Cendikiawan Muslim, Emha Ainun Nadjib