Jakarta (PARADE.ID)- Anggota Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun mengomentari alasan pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 12 persen. Menurut dia, alasan pemerintah tersebut hanya berlandaskan aspek kesehatan.
Ia pun menilai alasan tersebut boleh jadi menandakam keberpihakan pemerintah kepada para petani tembakau sangat kurang.
“Padahal selama ini banyak manfaat diambil pemerintah dari penarikan cukai tembakau, misalnya dalam 10 tahun terakhir pendapatan industri rokok bisa membayar utang negara sebesar Rp 15 Triliun,” kata dia, Jumat (17/12/2021).
Keinginan diversifikasi petani tembakau cukup mengagetkan, karena selama ini petani tembakau berjuang sendiri, bahkan Kementerian Pertanian tidak memberikan subsidi untuk petani tembakau.
Di antara jenis petani lain, lanjut politisi Golkar itu, mengatakan petani tembakau memiliki nilai tukar petani (NTP) tertinggi dibandingkan petani sawit atau yang lainnya.
Padahal semua itu dilakukan tanpa bantuan dari pemerintah, baik itu berupa bantuan benih, pupuk, pestisida hingga perlengkapan pertanian lainnya.
“Salah satunya, Pasuruan sebagai salah satu penerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) terbesar di Indonesia mengalami kesulitan dalam penggunaan dana tersebut,” tertulis di akun Twitter @MMisbakhun.
Hal ini, kata dia, disebabkan adanya batasan tertentu yang diatur pemerintah pusat sehingga membuat pemerintah daerah kesulitan, sekalipun hanya untuk membuat saluran irigasi untuk petani tembakau.
Pemerintah menurutnya harus tegas menegakkan komponen aturan FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) di Indonesia. Isu perokok anak-anak dan perokok ilegal harusnya dapat ditekan.
“Hal ini disebabkan aturan FCTC sudah jelas menegaskan bahwa Rokok tidak boleh diperdagangkan secara terbuka, iklan rokok tidak boleh ditampilkan langsung & harus dipromosikan dg jam ketat di televisi, serta tidak boleh dijual di dekat sekolah maupun dibeli oleh konsumen anak-anak.”
Artinya, kata dia, orang-orang memilih merokok itu adalah pilihan dan keputusan orang dewasa dengan segala risiko yang siap dia tanggung.
“Pemerintah juga harus berimbang saat menyebut harga rokok di Indonesia disebut lebih murah dibandingkan negara-negara lain karena juga harus diukur pendapatan per kapita Indonesia yang juga berbeda dengan negara-negara tersebut.”
Ke depan, ia seperti berharap pemerintah membuat kajian secara komprehensif dan meyusun regulasi yang berpihak pada kepentingan petani tembakau maupun pabrik-pabrik tembakau kecil sebagai pelaku UMKM yang menopang perekonomian nasional.
Apalagi, Penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) diestimasikan mencapai target APBN sebesar Rp 193,53 triliun yang mencerminkan semangat kegotongroyongan oleh semua komponen dan eksponen bangsa.
(Sur/PARADE.ID)