Jakarta (PARADE.ID)- Melakukan perjalanan, baik jauh maupun dekat, adalah salah satu kebutuhan manusia dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Sementara di sisi lain bagi seorang Muslim melakukan ibadah shalat, baik wajib maupun sunah, juga merupakan satu kebutuhan untuk mendekatkan diri kepada Allah subhânahû wa ta’âlâ. Yang menjadi permasalahan kemudian adalah ketika kebutuhan untuk menjalani ibadah shalat berbenturan dengan kondisi dirinya yang sedang berada di atas sebuah kendaraan dalam sebuah perjalanan, sementara untuk turun dari kendaraan terkadang juga mengalami kendala-kendala tertentu, sehingga mau tidak mau shalat dilakukan di atas kendaraan. Lalu bagaimana para ulama menentukan aturan main untuk melakukan shalat di atas kendaraan?
Abu Bakar Al-Hishni di dalam kitabnya Kifâyatul Akhyâr menuturkan: يجوز للْمُسَافِر التنقل رَاكِبًا وماشياً إِلَى جِهَة مقْصده فِي السّفر الطَّوِيل والقصير على الْمَذْهَب Artinya: “Diperbolehkan bagi seorang yang sedang melakukan perjalanan baik berkendara atau berjalan kaki untuk melakukan shalat sunah dengan menghadap ke arah tempat tujuannya, di dalam perjalanan yang panjang (yang diperbolehkan mengqashar shalat) dan di dalam perjalanan yang pendek (yang tidak diperbolehkan mengqashar shalat) menurut pendapat yang dipegangi madzhab (Syafi’i).” (Abu Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr [Damaskus: Darul Basyair], 2001, juz I, hal. 125) Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadits: عَنْ جَابِرٍ كَانَ رَسُول اللَّهِ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ Artinya: “Dari Jabir bin Abdillah radliyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW shalat di atas kendaraannya menghadap kemana pun kendaraannya itu menghadap. Namun bila beliau hendak shalat fardhu, maka beliau turun dan shalat menghadap kiblat.” (HR. Bukhari)
Dari penjelasan dan hadits di atas dapat diambil satu pelajaran bahwa pada dasarnya shalat yang dapat dilakukan di atas kendaraan adalah shalat sunah saja. Ini bisa dipahami dari hadits di atas bahwa ketika Rasulullah akan melakukan shalat fardlu maka beliau akan turun dari untanya. Itu artinya ketika beliau melakukan shalat di atas unta yang beliau lakukan adalah shalat sunah, bukan shalat fardlu. Juga dipahami bahwa ketika seseorang melakukan shalat sunah di atas kendaraan maka diperbolehkan baginya untuk tidak menghadap ke arah kiblat sebagaimana Rasulullah juga melakukannya. Beliau menghadap ke arah manapun unta yang ditumpanginya menghadap. Pun orang yang melakukan shalat sunah di atas kendaraan juga diperbolehkan melakukannya tidak dengan berdiri, bisa dengan duduk meskipun keadaan memungkinkan untuk melakukannya dengan berdiri. Mengapa demikian? Karena kewajiban shalat sambil berdiri itu hanya berlaku untuk shalat fardlu saja. Untuk shalat sunah orang yang tidak sedang sakit sekalipun diperbolehkan melakukannya dengan duduk. Lalu bagaimana dengan shalat wajib? Masih berdasarkan hadits di atas, bahwa shalat wajib tidak bisa dilakukan di atas kendaraan kecuali bila dilakukan secara sempurna sebagaimana mestinya shalat itu dilakukan. Ini bisa dipahami dari kalimat bahwa Rasulullah turun dari untanya ketika hendak melakukan shalat fardlu. Turunnya Rasulullah dari kendaraan yang ditungganginya itu dimaksudkan agar beliau dapat melakukan shalat fardlu sebagaimana mestinya, yakni dengan menghadap kiblat, berdiri, ruku’ dan sujud secara benar.
Rasulullah pernah memerintahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib untuk melakukan shalat di atas kapal laut ketika menuju ke negeri Habasyah dengan berdiri. أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يُصَلِّيَ فِي السَّفِينَةِ قَائِمًا مَا لَمْ يَخْشَ الْغَرَقَ Artinya: “Bahwa Nabi ﷺ memerintahkan Ja’far bin Abi Thalib untuk shalat di atas kapal laut dengan berdiri selama tidak takut tenggelam.” (HR. Al-Bazzar) Maka ketika seseorang dalam perjalanan dan hendak melakukan shalat fardlu sementara tidak mungkin dilakukan secara sempurna di atas kendaraan maka ia mesti turun dari kendaraannya. Ia mesti melakukan shalat fardlunya di atas tanah. Namun demikian melihat realita di lapangan sering kali terjadi beberapa kemungkinan yang menjadikan seseorang mungkin atau tidak mungkin melakukan shalat fardlu. Beberapa kemungkinan itu di antaranya adalah: Pertama, bila yang ditumpangi adalah kendaraan pribadi maka kiranya tidak ada alasan untuk tidak bisa turun dan melakukan shalat fardlu di atas tanah sebagaimana mestinya. Orang yang mengendarai kendaraan pribadi tentunya ia bisa sekehendaknya menghentikan kendaraannya. Kedua, bila yang ditumpangi adalah pesawat, kereta api, dan kapal laut maka masih ada kemungkinan untuk bisa melakukan shalat fardlu sebagaimana mestinya di atas kendaraan-kendaraan itu. Masalahnya kemudian tinggallah soal kemauan orang yang bersangkutan untuk shalat atau tidak. Ketiga, bila yang ditumpangi adalah kendaraan umum seperti bus antar kota maka kecil kemungkinan—untuk tidak mengatakan tidak bisa sama sekali—untuk melakukan shalat fardlu di atasnya. Kiranya sulit shalat di atas bus sambil berdiri, ruku’, dan sujud secara sempurna. Pun sulit pula melakukannya dengan menghadap ke arah kiblat. Harapan yang tersisa adalah bila bus berhenti di tempat peristirahatan—semisal rumah makan—tepat pada waktunya shalat. Bila terjadi kemungkinan yang ketiga, di mana penumpang benar-benar tidak bisa turun untuk shalat atau melakukan shalat secara sempurna di atas kendaraannya, maka satu-satunya yang mesti ia lakukan adalah shalât li hurmatil waqti, yakni melakukan shalat sekadar untuk menghormati datangnya waktu shalat, karena pada dasarnya seseorang tidak diperbolehkan meninggalkan shalat ketika ia menemui datangnya waktu shalat. Shalat li hurmatil waqti ini dilakukan bagi orang yang tidak bisa memenuhi ketentuan-ketentuan shalat secara sempurna, seperti tidak menemukan air dan debu untuk bersuci, dan tidak bisa menghadap kiblat, ruku’ dan sujud secara sempurna. Orang yang melakukan shalat li hurmatil waqti wajib mengulangi shalatnya ketika telah memungkinkan untuk melakukannya secara sempurna. Imam Nawawi dalam kitab Majmû’ menuturkan: قَالَ أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الْأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلَاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ Artinya: “Para sahabat kami berpendapat, bila telah datang waktu shalat fardlu sementara mereka dalam perjalanan, dan bila turun untuk shalat di atas tanah dengan menghadap kiblat khawatir akan tertinggal dari rombongannya atau mengkhawatirkan dirinya sendiri atau hartanya, maka tidak diperbolehkan baginya meninggalkan shalat dan mengeluarkan dari waktunya. Ia mesti shalat di atas kendaraannya untuk menghormati waktu shalat dan wajib mengulanginya (bila telah memungkinkan), karena hal itu merupakan uzur yang jarang terjadi.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab [Jedah: Maktabah Al-Irsyad], tt., juz III, hal. 222) Wallâhu a’lam.
(islam.nu.or.id/PARADE.ID)