Jakarta (parade.id)- Koalisi Masyarakat Peduli Pulau Sangihe kemarin, Senin, 26 November 2024, mengadakan konferensi pers terkait jejak perusahaan keluarga Presiden Prabowo Subianto atas kegiatan pertambangan di Sangihe. Mereka mengangkat tema konferensi pers “Pilkada 2024: Jejak Perusahaan Keluarga Prabowo di Tengah Pembangkangan Hukum PT TMS”.
Dalam konferensi pers itu, mereka menghadirkan empat orang yang dianggap kompeten menyoal tema di atas. Mereka adalah Juli Takaliuang (Yayasan Nurano Minahasa/Save Sangihe Island), Venetzia Andemora (Perwakilan Warga Pulau Sangihe), Dini Pramita (Jaringan Advokasi Tambang Nasional/JATAM), dan Afdillah Chudiel (Greenpeace). Konferensi pers dibuka moderator Andrie Yunus (KontraS).
Juli Takaliuang (Yayasan Nurano Minahasa/Save Sangihe Island) yang menjadi penyampai pertama menyinggung soal status operasi PT Tambang Mas Sangihe (TMS), yang menurutnya sampai hari ini (Senin/26 November 2024, red.) tidak memiliki izin. Izin TMS kata dia telah dicabut sejak September 2023.
Atas status itu, maka menurut dia, PT TMS tidak bisa melakukan operasi ataupun transaksi dengan mana pun. “Namun, belakangan, TMS malah menjalin kerja sama (kesepakatan) pada tanggal 19 November 2024 dengan PT Arsari Tambang, milik keluarga Prabowo Subianto, yakni Hashim Djojohadikusumo,” katanya.
Menurutnya, TMS telah melakukan pelanggaran hukum. TMS telah mencoreng penegakan hukum di Indonesia. TMS kata dia telah melakukan pembangkangan atas hukum. Ia pun mengecam adik Prabowo itu karena menjalin kerja sama dengan TMS.
“Hari ini kami sedih. Menyatakan kekecewaan dan kecaman keras kepada saudara dari Presiden Prabowo. Maka kamk akan terus memperjuangkan hak (kami). Kami akan melawan,” tegasnya.
“Sangihe bukan untuk dirusak, termasuk oleh Pak Hashim yang seperti menunjukkan kepongahan,” imbuhnya.
Soal status TMS, juga dipertegas Venetzia Andemora (Perwakilan Warga Pulau Sangihe). Ia mengungkapkan hal sama, bahwa izin (IUP) PT TMS sudah dicabut.
“Kami ini sedih sekaligus marah dengan kabar itu, karena IUP (TMS) itu sudah dicabut. Tidak ada lagi izin untuk TMS. Soal hadirnya PT Arsari Tambang, tentu itu di luar dugaan kami,” katanya.
“Kalaupun ada operasi lagi, itu tentu tidak ada izin. Itu kenyataan yang sulit kami terima, baik secara akal sehat dan pikiran kami sulit menerima,” imbuhnya.
Sebagai warga setempat, ia akan akan menggunakan kekuatan hukum untuk penghuni Sangihe. “Karena kami kesal, marah terhadap perlakuan dari UU negara ini. Seakan-akan manusia-manusia tidak berarti bagi hukum di negara ini,” tekannya.
“Kami akan menggunakan kekuatan (hukum) sebagai anak suku yang telah dizalimi,” imbuhnya.
Dini Pramita (Jaringan Advokasi Tambang Nasional/JATAM) juga menekankan soal status hukum PT TMS ini disebut-sebut telah membuat kesepakatan dengan PT Arsari Tambang, yang sudah tidak memiliki izin (apa pun).
Izin itu dipertegas olehnya yakni pada September 2023. Dicabutnya izin TMS itu karena perjuangan warga Sangihe—yang menang telak atas statua hukum PT TMS.
“TMS tidak memiliki legitimasi untuk operasi. Izin lingkungannya pun untuk TMS sudah dibatalkan. Maka izin operasi TMS dibatalkan,” tekannya.
Kata dia, kalau TMS beroperasi (kembali) maka akan banyak yang dikorbankan. Sebab TMS berdiri di tengah-tengah tujuh kecataman, 70 desa. Dimana ribuan kehidupan masyarakat dan adanya sejarah masyarakat setempat boleh jadi akan hilang.
“Otomatis TMS beroperasi maka mereka (warga) bisa saja angkat kaki dari tanahnya sendiri,” tegasnya.
Menurut dia, adanya kesepakatan PT TMS dengan PT Arsari Tambang, yang disebut-sebut ada peran Hashim, menunjukkan bahwa adik Prabowo itu sedang melakukan pembangkangan hukum di lingkungan Pemerintahan kakaknya. “Pasalnya, ini terjadi kurang dari tiga bulan rezim Prabowo berkuasa,” cetusnya.
“Kalau Hashim terus memaksakan PT TMS terus beroperasi maka akan akan tambang-tambang ilegal akan tumbuh subur—ada yang diduga dibekingi oknum aparat—maka kita sebut Hashim sebagai penambang ilegal,” kata dia.
Atas hal itu, dugaan Hashim melakukan penambangan ilegal karena status PT TMS, ia bisa terancam melanggar UU Minerba, dengan ancaman hukumannya 5 tahun penjara dan denda 100 miliar. Namun ia ragu Hashim akan dijerat UU Minerba.
“Sebab kekuatan politik Hashim sangat besar. Bisa saja ia tidak tersentuh hukum. Padahal apa yang ia perlihatkan seolah-olah menginjak hukum di Indonesia,” tukasnya.
Seolah ingin melanggengkan operasinya kembali, TMS kata Afdillah Chudiel (Greenpeace), menjadikan Hashim sebagai komisaris. Hasim dijadikan komisaris kata dia, karena telah mengakuisisi PT TMS sebesar 10 persen.
“Ini tentu mengejutkan kita. Kami mempertanyakan apa Hashim tidak tahu status TMS ini. Mestinya sudah tahu. Mestinya sebagai Delegasi COP Hashim tahu posisi Sangihe secara global—karena banyak hewan-hewan endemik di Sangihe,” kata dia.
“Kaji ulang dan batalkan kerja sama TMS. Menurut saya ini akal-akalan,” imbuhnya.
Kehadiran TMS kata dia adalah ancaman luar biasa. Ia menyebut langkah TMS sebagai penjajahan modern.
“Ini juga sebagai penjajahan modern yang mencoba mengadu masyarakat dengan pemeritah kemudian mereka yang dapat keuntungan. Ini kelakuan klasik beratus-ratus tahun lalu,” ujarnya.
“Kita akan tuntut pemerintah untuk membatalkan kerja sama dengan TMS. Kita harus usir TMS dari Sangihe. Apalagi kabarnya sudah ada blok-blok dari TMS di Sangihe,” tekannya.
Sangihe, Pulau Kecil yang Kaya Alamnya
Venetzia Andemora menyebut Pula Sangihe itu kecil. Tidak boleh ditambang. Kalau ditambang kata dia, warga akan kehilangan banyak pegangan.
Pulau Sangihe adalah ruang hidupnya warga setempat. Tidak bisa tergantikan oleh apa pun.
“Kami akan bertanya ke mana lagi dari perlindungan keadaan illegal meaning yang sudah merusak laut dan mangrove sehingga ikan-ikan yang ada di sini sudah sangat mengkhawatirkan dikonsumsi karena sendiman yang sangat dalam,” ungkapnya.
Kata Dini Pramita, Pulau Sangihe yang dikonsesi oleh PT TMS akan menyerebot hutan lindung yang memiliki fungsi besar untuk ribuan warga sangihe. Karena hutan lindung di sana kata dia, menjadi semacam pengatur mikro iklim.
Jika hutan digusur besar-besaran hanya untuk ditambang maka tidak ada lagi pengatur iklim di situ.
“Bayangkan di sana akan seperti terbakar. Area konsesi TMS menjarah banyak hal, yang tidak hanya rumah tetapi juga hutan—endemik lokal,” kata dia.
Afdillah Chudiel menyebut Pulau Sangihe sebagai tempat habitat langka yang terancam punah dan sangat rentan bencana alam gunung api dan tsunami. Kalau dirusak kata dia, maka akan sangat rentan terjadi bencana alam.
“Maka dalam konteks sosial, sampai hari ini, kita terus berjuang menentang prakik penambangan ilegal dan penambangan yang katanya ‘legal’ ini masih terus terjadi,” katanya.
(Rob/parade.id)