Cirebon (parade.id)- Kalimat-kalimatnya tampak normatif, tak ada ajakan terang-terangan untuk berjihad atau berperang. Namun jika dibaca lebih dalam, pesan-pesan samar itu menyusup lewat padanan kata yang ditambahkan, dikaburkan, bahkan dipelintir. Buku terjemahan bisa menjadi ladang subur lahirnya tafsir ekstrem jika tidak dikaji secara kritis.
“Inilah yang disebut dengan pembajakan makna,” kata Guru Besar UIN Siber Syekh Nurjati, Prof. Didin Nurul Rosidin, dalam Bedah Buku Seri Tercerahkan Dalam Kedamaian, beberapa waktu lalu di Universitas Islam Negeri Siber Syekh Nurjati Cirebon (UINSSC).
Buku yang dibedah bukan sekadar buku. Ia adalah hasil kajian terhadap barang bukti tindak pidana terorisme, terutama yang beredar dalam bentuk terjemahan. Ada yang berasal dari Timur Tengah, ditulis puluhan tahun silam, tapi masih aktif dikonsumsi kelompok tertentu di Indonesia. Dan di situlah masalah bermula: saat teks asing berpindah lidah tanpa pengawasan makna.
“Ketika kita membaca buku terjemahan, sebisa mungkin kita juga punya akses kepada buku aslinya. Karena kalau kita membaca buku ini, ada titik-titik di mana penerjemahan, tanda kutip, kemudian terjadi penyelewengan,” kata Didin.
Salah satu contohnya adalah buku Strategi Dua Lengan, yang dalam versi terjemahannya berkembang menjadi dua kali lipat lebih tebal dari aslinya. Penambahan itu bukan tanpa maksud, materi-materi baru yang disusupkan penuh dengan narasi kebencian, glorifikasi perang, dan glorifikasi konflik sektarian.
“Buku ini aslinya hanya setebal 100-an halaman tetapi setelah terbit dalam bahasa Indonesia menjadi 200 lebih. Itu bahan dari mana aja? Itu bahan suplemen pendukung termasuk kebencian-kebencian pada Yahudi, Syiah, kepada kelompok-kelompok lain,” kata Pengamat Timur Tengah, Hasibullah Satrawi.
Kontranarasi terhadap buku-buku seperti ini bukan sekadar soal membantah isinya, tapi menyibak jebakan tafsir di balik teks. Sebab pesan-pesan radikal tak selalu hadir dalam bentuk agitasi eksplisit.
“Kadang ia menyamar dalam narasi heroik, dalam ajakan kembali ke zaman khulafaur rasyidin, atau dalam glorifikasi konflik seperti di Suriah dan Yaman, yang oleh sebagian pembaca diposisikan sebagai ‘kiblat ketiga’,” katanya.
“Orang-orang yang membacanya saking pentingnya ke Suriah itu seperti terlahir kiblat ketiga. Kiblat pertama Masjidil Aqsa, kiblat kedua Masjidil Haram. Kiblat ketiga titiknya ke Suriah yang sekarang disebut sebagai negara Suriah itu,” imbuhnya.
Upaya BNPT dalam mendiseminasikan hasil kajian ini menegaskan peran penting literasi dalam pencegahan terorisme. Bukan hanya membendung distribusi buku-buku radikal, tetapi juga menanamkan kesadaran membaca yang kritis-agar masyarakat tidak terjebak pada teks yang tampak religius tapi sarat manipulasi makna.
“Yang penting adalah ketika membaca buku jangan sampai kita kemudian tersesat. Inilah hal penting yang harus kita pelajari bersama,” terang Didin.
Lewat program kajian semacam ini, BNPT tidak hanya hadir sebagai lembaga yang mengurusi ancaman keamanan, tetapi juga sebagai garda depan dalam membangun ketahanan narasi. Sebab pertarungan melawan radikalisme bukan lagi soal senjata, tapi soal makna.***