Jakarta (PARADE.ID)- Para buruh dan Dewan Pengupahan menyoal PP Nomor 36 Tahun 2021, atau turunan dari UU Ciptaker. Menyoal apakah PP tersebut bisa memberikan kehidupan yang layak, atau justru sebaliknya.
Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta, Dedi Hartono mengatakan, bahwa kebijakan pengupahan itu ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Prosesnya itu dimulai dari formula penetapan, syarat dan ketentuan penetapan telah ditetapkan melalui PP 36 tahun 2021.
“Peranan Gubernur/Wali Kota/Bupati melegitimasi dalam penetapan upah minimum yang mengikuti kebijakan Pusat yang didasari oleh PP 36 tahun 2021,” kata dia, di acara diskusi ‘PP 36 tentang ‘Pengupahan Rampung, Buruh Hidup Layak atau Terkoyak?‘, kemarin yang diadakan oleh ASPEK Indonesia.
Penyesuaian upah minimum yang ditetapkan pada rentang nilai tertentu di antara batas atas dan batas bawah upah minimum pada wilayah yang bersangkutan menurutnya adalah sesuatu yang baru dan cenderung merugikan buruh, karena membatasi kenaikan upah.
Hilangnya upah minimum sektoral, menghilangkan peran dan kontribusi perusahaan dan pekerja dalam meningkatkan produktivitas pembangunan di daerah-daerah tertentu.
“Adanya surat tertentu dalam penetapan UMK, menyebabkan beberapa kabupaten/kota tidak bisa lagi menetapkan UMK, karena persyaratannya tidak terpenuhi,” kata dia lagi.
Selain itu, pembayaran upah per jam merupakan sesuatu yang tidak diatur dalam PP sebelumnya. Di dalam penjelasannya, kata dia, hanya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ‘bekerja secara paruh waktu’ adalah bekerja kurang dari tujuh jam satu hari dan kurang dari 35 jam kurang satu minggu.
Dengan kata lain bisa saja dalam sehari buruh hanya dipekerjakan 2 atau 3 jam saja.
Kata dia tidak ada penjelasan, jenis pekerjaan apa saja yang diperbolehkan menerapkan upah per jam. Dampaknya, bisa saja jenis pekerjaan yang selama inipembayaran upahnya secara bulanan diubah menjadi per jam.
“Dalam pasal ini disebutkan, upah per jam dibayarkan berdasarkan kesepakatan , karena posisi buruh cenderung lemah di hadapan pengusaha, bisa jadi mereka akan terpaksa menyepakati jika pengusaha meminta upah dibayarkan per jam,” terangnya.
Lain dari lagi, Dedi menyebut bahwa pengaturan upah pada usaha mikro dan usaha kecil bertentangan dengan pengertian upah minimum sebagai jaring pengaman (upah terendah yang boleh dibayarkan di suatu daerah). Dan menurutnya di sini pentingnya peran Dewan Pengupah di tingkat provinsi, kabupaten dan kota untuk memberikan saran dan rumusan pengembangan sistem pengupahan.
Yakni diperlukN strategi perjuangan di tingkat wilayah/daerah untuk merumuskan formula hukum untuk pengupahan dan peningkatan kesejahteraan pekerja.
Sementara itu, di kesempatan yang sama, Mantan Direktur LBH ASPEK Indonesia, Ahmad Fauzi mengatakan, terkait UMSP di PP 36 tahun 2021 ini, menurut dia secara jelas itu telah dihapus.
“Itu kan capaian dalam konteks perbaikan kesejahteraan buruh. Itu harusnya dipertahankan. Tapi dalam PP ini menjadi salah satu yang dikurangi bahkan dihilangkan,” tanggapannya.
Kalau bicara perjalanan upah di Indonesia menurut dia sungguh luar biasa.
“Itu kemudian dalam PP ini secara tegas dihilangkan. Bagi saya hal yang secara kualitas kesejahteraan, yang seharusnya dipertahankan justru dihilangkan,” tegasnya.
Di luar itu, lanjut dia, dalam aturan teknis di PP 36 tahun 2021 bicara soal sanksi namun sifatnya hanya administratif.
Kalau kita baca di upah, PP ini masih seolah-olah menyisakan di PP 38 peralihan tetapi diakuinua kita sedikit bisa bernafas, karena masih mencantolkan PP 38 yang pada intinya kebijakan pengupahan dalam UU 13 masih bisa diberlakukan.
“Kita masih punya optimisme karena masih difasilitasi di pasal 84 meskipun saya sepakat dalam banyak hal, misalnya kualitas dikurangi bahkan dihilangkan,” jelasnya.
Namun demikian, secara kualitas kesejahteraan yang sebelumnya harus diterima oleh pekerja, dalam PP ini kata dia, kemudian dikurangi. Dan menurut dia secara teknis pun ini akan menyisakan PR lebih besar dari teman-teman serikat pekerja dan federasi, khususnya.
“Ketika pasal 4 sebagai kunci PP 36 ini, dalam makna mengarah kepada kebijakan strategis atau kebijakan pusat pengupahan itu tidak boleh—penetapan UMP melanggar pasal 4,” kata dia lagi.
Pembahasan UMP yang sebelumnya oleh Dewan pengupahan dan segala perangkatnya, juga kontribuisinya yang dilakukan oleh sayap-sayapnya mengajukan pertimbangan KHL ril di provinsi tertentu bisa dibuktikan, itu ada dalam PP 36 tidak. Tetapi munculnya PP ini, boleh jadi kinerja Dewan Pengupahan fungsinya akan diamputasi.
Ke depan pun kinerja Dewan Pengupahan kata dia hanya sekadar rekomendasi.
“Sebelum UU Ciptaker ini diundangkan, saya menemukan beberapa case, di antaranya banyak pekerja saat pandemi seperti ini upahnya dikurangi. Tidak hanya dikurangi tapi juga ada yang dirumahkan,” tandasnya.
(Rgs/PARADE.ID)