Jakarta (PARADE.ID)- Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Prof Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa peran ulama, intelektual, dan akademisi bisa menstabilkan kondisi negeri. Semuanya bisa secara kolektif memberi bimbingan intelektuil pada perjalanan bangsa ini untuk berpikir jauh ke depan, terutama kepada para partai politik.
“Jangan larut pada kepentingan jangka pendek. Biasanya peran-peran politik jangka pendek ini kan oleh partai. Partai-partai ini sekarang paling menentukan sebenarnya,” ujarnya, dalam perbincangan dengan Ketua MUI KH Cholil Nafis, di kanal YouTube TVMUI, belum lama ini.
Dengan peran ketiganya, Prof Jimly juga mengatakan bahwa hal itu jika dilakukan tidak hanya untuk 10 atau 20 tahun ke depan. Tetapi peran itu juga bisa membawa umat Islam ke arah cara pandang optimisme menuju masa depan.
Maka, katanya, ulama, cendikiawan itu harus tidak boleh jauh dari orang-orang partai, karena mereka perlu diberi masukan. Demi perspektif jangka panjang.
“Jadi semua data-data menunjukkan dunia Islam itu optimis. Cuma sementara sekarang ini kisruh. Kata Macron dunia Islam sedang krisis. Iya ada benarnya itu. Tapi dalam jangka panjang kita harus optimis. Tinggal bagaimana ilmu pengetahuan teknologi harus menjadi, dan juga iman takwa,” jelasnya.
Peran ketiganya pun menurut Prof Jimly bisa mengubah “tradisi” yang selama ini dilakukan oleh partai politik, seperti pragmatisme yang diperebutkan. Yaitu dengan cara memberi dengan semangatnya merangkul.
Kalau di ICMI itu, kata dia, selalu digambarkan “ideologi”. Gerakan intelektuil itu iman dan takwa, ilmu pengetahuan dan tenknologi.
“Jadi MUI, ICMI, dan semua ormas kalau bisa saling berangkulan. Mulailah dari MUI yang mempersatukan. Merangkul. Jangan sampai dipecah belah oleh kepentingan kelompok masing-masing,” jelasnya.
MUI bisa merangkulnya dan mengintegrasikan semuanya itu. Setidaknya, itulah niat kita mendirikan MUI di tahun 1975. Dimana Prof Jimly mengaku ikut sebagai tukang ketiknya atau panitia.
“Kelompok organisasi ini kan hanya alat dakwah, bukan tujuan. NU, Muhammadiyah, itu bukan tujuan. Pasti beda. Masak harus sama? Ada pembagian tugas,” kata dia.
(Sur/PARADE.ID)