Jakarta (PARADE.ID)- Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) kemarin, Kamis (25/11/2021) melakukan aksi massa di silang Monas/patung kuda, Jakarta. Aksi dilangsungkan sebagai wujud pengawalan sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengujian Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Dan sebagaimana yang diketahui, bahwa MK telah memutuskan dalam perkara yang bernomor 91/PUU-XVIII/2020 itu yakni bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan’.
Mengetahui keputusan itu, massa KSBSI tampak biasa saja. Tapi Sekjen Dedi Hardianto tampak tidak demikian.
Ia justru mengaku kecewa dengan keputusan MK itu. Dedi menilai keputusan MK itu abu-abu.
“Setelah mendengar putusan Hakim MK terdiri dari sembilan hakim hari ini, saya atau kita melihat, mendengar dan meyakini, para hakim dalam membuat keputusan telah melalui perdebatan hingga terjadi disenting opinion, voting atau pun melalui pertimbangan ketua majelis hakim, hari ini kita sudah mendapatkan hasilnya dan sama-sama kita ketahui, sangat mengecewakan buat kaum buruh dan rakyat Indonesia untuk menerima sesuatu yang abu-abu alias tidak jelas, yang jelas hanya merugikan kaum buruh Indonesia,” katanya, di akun Facebook pribadinya, Kamis malam.
Menurut Dedi, harusnya hakim dalam membuat keputusan (menentukan tiga putusan). Yakni pertama, Menerima (mengabulkan), kedua, Tidak menerima (tidak mengabulkan), atau ketiga hakim MK Menolak.
Atas dasar itu, sebagai langkah ke depan, KSBSI, kata Dedi, telah menyiapkan langkah-langkah perlawanan.
“Kita akan menyiapkan dan mengambil langkah untuk melakukan gugatan ataupun judicial review terhadap peraturan turunan UU No 11 tahun 2020 berupa empat PP yang dibuat oleh pemerintah dan tidak menutup kemungkinan akan melakukan kritisi atau pun perlawanan dengan melakukan aksi-aksi di jalanan kembali.”
Sementara itu massa yang berada di lapangan dan setelah mendengar keputusan itu, mereka melanjutkan aksi di Balai Kota Jakarta. Tempat Gubernur Anies Baswedan berkantor.
Di sana massa aksi KSBSI melakukan unjuk rasa. Meminta agar memperhatikan upah minimum Ibu Kota.
Hal itu, salah satunya disampaikan oleh M Hori, Korwil KSBSI DKI Jakarta, bahwa kedatangan massa KSBSI hari ini (kemarin, red.) untuk mengkritisi keputusan Gubernur DKI Jakarta terkait upah. Ia memminta kepada Gubernur untuk bertanggung jawab atas keputusannya.
“Buatlah buruh semakin sejahtera, wahai Gubernur DKI Jakarta,” imbaunya, di atas mobil sound.
Penetapan Gubernur Anies atas kenaikan upah yang ada saat ini dinilai oleh KSBSI telah menyakiti hati buruh. KSBSI pun kecewa. KSBSI kecewa dengan keputusan yang dibuat Gubernur Anies.
Menurut Ketua Kamiparho, Alson Naibaho perhitungan upah oleh DKI tidak mendasar. Ia pun berharap ada perubahan soal kenaikan upah di DKI.
“Harusnya Pak Anies tidak perlu takut mengambil keputusan yang berpihak kepada buruh. Harusnya Bapak Aniss lebih berpihak kepada buruh. Memprioritaskan kaum buruh,” kata dia tegas.
Apa yang dialami (baca: kesulitan) oleh buruh selama dua tahun belakangan ini, menurut Alson mestinya kenaikan upah menjadi obat penawar, bukan sebaliknya. Hal itu agar para buruh memiliki semangat kembali menjalankan hidupnya ke depan.
Gubernur Anies diminta harus berani keluar dari formula PP 36 dalam penetapan kenaikan upah buruh di DKI. Dengan begitu akan terhindar dari gagal paham dalam penetapan upah di DKI.
“Kalau berani keluar, maka kami akan dukung,” kata orator lainnya, Tri Pamungkas salah satu kuasa hukum KSBSI.
Dalam aksi, KSBSI setidaknya membawa beberapa isu/tuntutan. Di antaranya Keluarkan kluster ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja, Kembalikan kluster ketenagakerjaan ke ranah tripartite, Tolak upah murah, dan Tolak perluasan outsourching.
Adapun massa yang dibawa oleh KSBSI dalam kisaran ratusan orang. Selain dari Jakarta, ada dari daerah sekitarnya.
(Sur/PARADE.ID)