Jakarta (parade.id)- Serikat Pekerja Nasional (SPN), lewat Ketua Umum Djoko Heriyono memberikan responsnya terkait diterbitkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) oleh Presiden Jokowi.
Menurut Djoko, diterbitkannya Perppu itu oleh Presiden hanya untuk menyelamatkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) saja yang di mana telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi secara formil selama dua tahun sehingga 70 UU yang terdampak dari Omnibus Law–aturan pelaksanaannya di pusat-daerah jadi kacau. Itu secara umumnya.
“Secara khusus, ketenagakerjaan tidak ada mengalami perubahan apa-apa. Padahal kita menuntut sebuah kepastian–pesangon itu, jamsos itu, upah itu tidak hanya persoalan jumlah tetapi kepastian untuk mendapatkannya pada saat jatuh tempo,” ujar Djoko, Senin (2/1/2023), kepada parade.id.
“Jatuh tempo ini kan tiap bulan, akhir bulan, gajian, bagaimana yang gagal gajian? Pemerintah hadir, enggak? Enggak hadir. Mekanisme itu tidak diatur. Terus jamsos itu, kalau enggak terdaftar atau tidak mengiur, enggak dapat. Padahal dijanjikan konstitusi,” sambungnya.
Akhirnya kata dia statusnya kontigensi, bisa dapat bisa tidak, karena pengecualian. Pesangon pun demikian. Akhirnya pengusaha itu lari dari tanggung jawabnya, dengan memanfaatkan situasi itu, karena tidak ada kepastian.
“Maka mestinya dengan Perppu itu, pemerintah melembagakan tiga hal tadi, yang di dunia usaha, di dunia kerja, di industri, itu bagian dari mandatori,” terangnya.
Mandatori itu syarat kepatuhan perusahaan yang memiliki izin IMB, di mana harus patuh dalam laporan-laporan akuntan publiknya: triwulan, kwartal-an, maupun per tahun terhadap semua pihak, terutama komisaris, semua pajak, semua laporan konsumen, mitra-mitra, termasuk serikat pekerja dan pekerja itu.
“Bahwa dia patuh dan senantiasa melaksanakan tiga hal tadi, karena itu diancam oleh pidana empat tahun apabila gagal melaksanakan, gagal membayar. Dan pidana itu masuk kategori pidana kejahatan. Jadi perusahaan ini kriminal sampai 70 persen kepatuhannya. 30 persen akibat pemerintah tidak memberikan kepastian secara kelembagaan,” ungkapnya.
Ia mengaku sudah membaca poin-poin yang ada di dalam Perppu tentang Ciptaker itu. Dan menurutnya, isinya itu tidak jauh beda dengan yang Ciptaker.
“Itu hanya untuk menyelamatkan, karena putusan MK internasional kan tahu bahwa UU itu dinyatakan tidak konstitusional–menjadi konflik terus. Maka jalan yang paling mudah Perppu, yang kemudian akan melahirkan PP,” kata dia.
Perppu itu juga kata dia tidak ada keuntungan untuk karena buruh hanya butuh kepastian ketika sudah melaksanakan kewajibannya: masuk usia kerja 18 tahun, masuk usia pensiun itu 59 tahun (pada saat pensiun dapat dana pensiun), kecelakaan kerja dapat jaminan sosial, kematian dapat dana kematian, begitu.
“Pun dengan upah, mau dia dirumahkan, mau pabriknya bangkrut dan sebagainya, sepanjangan masih ada hubungan kerja maka perusahaan itu punya kewajiban. Sebab perusahaan itu korporasi. Buruh itu orang. Orang dihadapkan korporasi bayangkan, itu bagaimana? Tidak seimbang. Itulah tidak ada ketidakadilan,” katanya lagi.
SPN coba memberikan solusi yakni lewat solusi yang dimiliki oleh SPN lewat resolusi ‘Labour Law Reform’. Dimana itu isinya yang disebutkan di atas: pemerintah supaya hadir dengan menjamin melalui lembaga, angsuran, yang namanya BPJS, yang sudah dimiliki. Didanai oleh Buruh dan pemerintah.
“BPJS itu kan duitnya buruh dan duitnya pemerintah maka alangkah indahkan itu menjadi penjamin dari tiga hak pekerja tadi. Semacam orang simpan ada lembaga penjamim simpanan. Masak sudah kerja tidak terjamin, kabur saja dan bilangnya tidak ada uang, itu bagaimana?” tandasnya.
(Rob/parade.id)