Jakarta (parade.id)- Aksi Kamisan ke-834 tolak pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto disuarakan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (3/10/2024). Hadir puluhan orang menyuarakan penolakan pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto.
“Kami mengecam upaya yang dilakukan Negara untuk memanipulasi sejarah dan memutihkan dosa-dosa HAM masa lalu yang selama puluhan tahun telah dibiarkan tanpa penyelesaian yang berarti,” demikian keterangan tertulis atas nama Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) yang diterima media.
Realisasi agenda Reformasi 1998, yang seharusnya menjadi kompas untuk perbaikan praktik penegakan hukum serta reformasi institusi politik, ekonomi dan sosial, menurut JSKK kini semakin jauh dari panggang api.
“Negara semakin nyata terlihat mengabaikan kewajibannya untuk memastikan akuntabilitas atas kasus-kasus kejahatan kemanusiaan di masa lalu dan menghadirkan keadilan bagi korban dan keluarganya.”
Mereka, korban dan keluarga korban pelanggaran berat HAM, menolak keras wacana pemberian gelar tersebut. “Tidak hanya hal tersebut merupakan pengingkaran terhadap sejarah selama 32 tahun Orde Baru, namun juga merupakan bentuk penghinaan terhadap kemanusiaan dan keadilan yang diperjuangkan korban.”
Padahal dicatat JSKK, Pemerintahan Soeharto dipenuhi berbagai kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, serta pelanggaran berat HAM, termasuk diantaranya Tragedi 1965-1966, Talangsari 1989, Penghilangan Paksa 1997-1998, Trisakti-Semanggi I-Semanggi II, juga Peristiwa Mei 1998. Kasus- kasus tersebut tidak pernah diusut secara adil, tuntas dan transparan.
“Korban dan keluarga korban dibiarkan oleh Negara selama puluhan tahun tanpa mendapatkan hak-hak mereka atas kebenaran, keadilan, reparasi, dan jaminan ketidakberulangan peristiwa seperti yang seharusnya. Kasus-kasus yang melibatkan Soeharto dan kroni-kroninya pun tidak pernah diusut dan diadili secara tuntas.”
Pemberian gelar tersebut menurut mereka hanya akan memutihkan dosa-dosa Negara dan pelanggaran berat HAM di masa lalu, melanggengkan impunitas, serta menjadi peseden buruk bagi penegakan HAM di masa depan.
JSKK mengingatkan Presiden atas kasus-kasus pelanggaran HAM dan kekerasan aparat yang belum diusut secara tuntas. Salah satunya adalah tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 2022, di mana setidaknya 135 orang tewas dan lebih dari 500 orang luka-luka pasca penembakan gas air mata oleh aparat keamanan menyusul berakhimya pertandingan Persebaya dan Arema FC di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Proses hukum di pengadilan berakhir dengan vonis ringan dan hanya menyentuh pelaku lapangan, namun tidak menyeret aktor-aktor di jajaran komando. “Kami menekankan bahwa Negara bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak korban pelanggaran HAM atas keadilan.”
Sehubungan dengan hal tersebut, JSKK memohon kepada presidenu untuk pertama, tidak memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto karena hal tersebut adalah bentuk pengkhianatan terhadap sejarah dan keadilan bagi korban pelanggaran berat HAM masa lalu;
Kedua, memastikan bahwa semua pelaku yang bertanggung jawab dalam Tragedi Kanjuruhan diadili, termasuk aparat keamanan yang bertanggung jawab secara komando;
Ketiga, meminta agar segera mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran berat HAM secara hukum dengan memerintahkan Jaksa Agung menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM dan membentuk Tim Penyidik ad hoc sesuai mandat Pasal 21 ayat (3) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM;
Keempat menuntut untuk membuktikan komitmen
menghentikan praktik impunitas yang melindungi para pelaku kejahatan HAM.
Tanggal 25 September 2024, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memutuskan untuk menghapus nama Soeharto dari Pasal 4 Ketetapan (TAP) MPR No.11/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Sebelumnya, pasal 4 tersebut berbunyi “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia”.
MPR menyatakan penghapusan ini dilakukan karena Soeharto telah meninggal dunia. Paska penghapusan ini, wacana untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto kembali mengemuka.
Keterangan atas nama Presidium JSKK: Suciwati, Sumarsih, dan Bedjo Untung
(Rob/parade.id)