Jakarta (parade.id)- Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi melayangkan kecaman keras terhadap penanganan aksi demonstrasi 30 Agustus 2025 di Denpasar oleh aparat kepolisian. Koalisi ini mendokumentasikan sejumlah dugaan pelanggaran HAM berat, mulai dari penggunaan kekuatan berlebihan, penyiksaan, hingga proses hukum yang dianggap sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat.
Dalam siaran persnya yang keras, Koalisi menyatakan bahwa alih-alih melindungi hak berekspresi warga, aparat justru melakukan serangkaian tindakan represif yang mereka sebut sebagai “pengingkaran terhadap komitmen universal Indonesia terhadap HAM.”
Aksi yang berawal dari unjuk rasa damai menuntut reformasi kepolisian dan menyoroti ketimpangan ekonomi itu, berubah menjadi ricuh setelah aparat diklaim melakukan pembubaran paksa. Koalisi mendokumentasikan setidaknya 10 poin pelanggaran sistematis, termasuk:
- Penggunaan gas air mata dan peluru karet secara membabi buta yang mengenai massa, jurnalis, dan fasilitas umum.
- Penyisiran dan penangkapan sewenang-wenang di rumah dan tempat usaha tanpa surat resmi. Koalisi mencatat 170 orang ditangkap.
- Penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap para tahanan, termasuk pemukulan, penyetruman, pencukuran rambut paksa, dan dipaksa berpakaiaan minim.
- Pembatasan akses bantuan hukum bagi massa aksi yang ditahan, dimana pengacara koalisi bahkan diduga diusir dengan kekerasan.
- Penyedotan data pribadi dari gawai milik massa aksi secara melawan hukum.
Dari Massa Aksi ke Tersangka: Proses Hukum yang Dipertanyakan
Dari ratusan orang yang awalnya ditangkap, 14 orang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan akan segera menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Denpasar. Empat di antaranya masih berstatus anak di bawah umur.
Koalisi yang mendampingi lima tersangka dewasa mengungkapkan proses hukum yang jauh dari prinsip due process of law. Mereka melaporkan bahwa para tersangka ditangkap dan ditahan tanpa surat perintah resmi, diperiksa tanpa pendampingan pengacara, serta mengalami penyiksaan selama proses pemeriksaan hingga menyebabkan cedera fisik seperti luka di rahang dan pendarahan.
“Keluarga baru mengetahui status penahanan setelah beberapa hari, bahkan dalam kondisi anak mereka sudah mengalami luka dan kepala digundul,” tulis pernyataan Koalisi, menyoroti tidak transparannya proses tersebut, Rabu (12/11/2025).
Koalisi menegaskan bahwa jerat hukum terhadap 14 massa aksi ini adalah bentuk nyata tindakan anti-demokrasi. Mereka menilai negara telah gagal menjalankan fungsi konstitusionalnya sebagai pelindung warga negara.
Tuntutan Koalisi untuk Pemulihan Hak
Berdasarkan temuan tersebut, Koalisi Advokasi Bali untuk Demokrasi mengajukan lima tuntutan tegas:
- Pemerintah Indonesia diminta menjamin kebebasan berekspresi dan menghentikan praktik kekerasan terhadap warga.
- Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Denpasar untuk segera menghentikan proses hukum dan membebaskan ke-14 tersangka.
- Kapolda Bali untuk mengusut tegas anggota yang terlibat dalam penyiksaan dan pelanggaran prosedur.
- Komnas HAM dan Kompolnas untuk melakukan investigasi independen dan komprehensif terhadap dugaan pelanggaran HAM ini.
- Kementerian Pendidikan dan Pemda Balimemastikan pemulihan psikologis dan jaminan hak pendidikan bagi massa aksi yang masih pelajar.
“Massa aksi Solidaritas Bali bukanlah pelaku kerusuhan tetapi warga negara yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk bersuara terhadap ketidakadilan,” tegas Koalisi yang diwakili oleh Made “Ariel” Suardana dan Ignatius Rhadite.
Tuntutan ini menandai eskalasi dalam menuntut akuntabilitas aparat, sekaligus menyoroti semakin menyempitnya ruang demokrasi dan menguatnya watak militeristik dalam institusi Polri di Indonesia.*


![Sejarah Dijadikan “Permainan” Survei [KedaiKOPI] dalam Penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional](https://parade.id/wp-content/uploads/2025/11/19817312-898A-4430-861C-CCAF56E21581-120x86.jpeg)




