Jakarta (PARADE.ID)- Untuk mahasiswa ekonomi. Satu hal yang menarik untuk dipelajari dari COVID-19 adalah perilaku masyarakat. Ini berguna untuk memahami apa yang terjadi dan menjadi input dalam kebijakan. Jujur, begitu banyak yang kita tidak tahu dari pandemi ini.
Data memang amat terbatas, namun kita bisa bereksperimen dengan data dari Google, Apple, Facebook, Covid-19 dsb. Tentu ini hanya proxy dan tak mencerminkan presisi. Tapi ia membantu kita sebagai leading indicators Humdata.org.
Data google mobility menunjukkan bahwa setelah re-opening aktifitas mobilitas naik tajam, lalu flat dan melambat. Data menunjukkan bulan Juni-Augustus terjadi perlambatan. Ini juga konsisten dengan survei @saifulmujani bahwa persepsi orang ekonomi kembali menurun.
Mengapa? Ada beberapa kemungkinan penjelasan.
1. Daya beli yang lemah.
2. Perilaku kelas menengah atas yang berhati-hati karena kesehatan.
3. Perubahan perilaku (belanja online dsb).
4. Protokol kesehatan membuat ekonomi tak bisa beroperasi 100 persen, akibatnya skala ekonomis tak tercapai.
Jika ekonomi hanya beroperasi 50 persen, maka untuk banyak sektor break even point tak tercapai. Perusahaan bisa tetap survive selama msh bisa bayar biaya variable seperti gaji dsb, tapi tak untung. Perusahaan bisa jadi zoombie companies. Karena itu tak ada insentif untuk ekspansi dan meningkatkan investasi. Ekonomi akan stuck atau pemulihan lambat.
Coba buat hitungan sederhana. Jika, misalkan vaksin tersedia Jan 2021. Maka berapa orang yang harus mendapat vaksin lebih dahulu. Misal hanya org tua atau yang komorbit. Misal saja: jumlanya 25 juta orang (angka ini sangat konservatif).
Jika ada 25 juta dan setahun 365 hari. Maka setiap hari harus ada 68 ribu orang di vaksin selama setahun. Mampukah kita memvaksin 68 ribu orang per hari? Saya tidak tahu. Dan itu membutuhkan waktu 1 tahun. Padahal kabarnya dibutuhkan 2 kali vaksin.
Sebelum vaksin selesai, protokol kesehatan harus tetap dijalankan. Artinya ekonomi harus beroperasi dibawah 100 persen. Dengan kondisi ini, maka pemulihan akan berbentuk U, bukan V. Untuk Q3 thn ini mungkin masih terjadi perlambatan.
Hal lain yang menarik diperhatikan adalah hubungan antara perilaku tinggal di rumah (RES) dengan aktivitas grocery dan pharmacy. Perhitungan kuantitatif menunjukkan bahwa semakin banyak orang tinggal di rumah semakin tinggi aktifitas untuk ke grocery dan pharmacy.
Penjelasannya mungkin konsumsi makanan dan essential naik ketika orang tinggal di rumah. Selain itu aktifitas ke grocery mungkin jadi semacam rekreasi juga.
Hal lain: orang keluar rumah, terutama setelah re-opening dapat dijelaskan oleh aktifitas pergi ke retail dan recreation dan ke transit station dan transportasi, bukan ke tempat bekerja.
Hal lain yang menarik dilihat. Perhitungan kuantitatif menunjukkan bahwa keputusan orang tinggal di rumah juga dipengaruhi new death case (NDC) karena covid, yang dicoba dilihat apakah tambahan kasus kematian membuat orang tinggal di rumah?
Perhitungan kami. Kenaikan new death case akan membuat orang tinggal di rumah tetapi hanya untuk waktu yang pendek. Setelah itu orang kembali ke luar rumah.
Eksperimen ini tentu masih sangat awal, perlu study yang robust dan mendalam. Namun ini adalah sebuah ruang yang menarik dijelajahi. Tidak perlu khawator membuat kesalahan. Jujur masih banyak yang harus kita belajar dari pandemi ini.
Ilmu pengetahuan memang harus bisa dibuktikan salah. Bila tidak ia akan jadi dogma. Menarik bila kita menemukan jawaban yang di luar dugaan atau hipotesa kita. Itulah yang akan membuat pemikiran tidak berhenti, dimana semua kemungkinan pikiran dibuka. Eksplorasi bukan konklusi.
*Ekonom, Muhammad Chatib Basri